KABARBURSA.COM - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menanggapi soal isu yang belakangan ramai diperbincangkan publik, yaitu hangusnya sisa kuota internet dan pulsa prabayar.
Bahkan soal keluhan membandingkan sistem di Indonesia dengan negara lain yang telah menerapkan skema rollover, yakni memungkinkan sisa kuota digunakan pada bulan berikutnya. Di Indonesia, sisa kuota umumnya langsung kedaluwarsa begitu masa aktif berakhir.
Data dari Indonesia Audit Watch (IAW) menunjukkan bahwa sekitar Rp63 triliun kuota internet prabayar hangus setiap tahunnya karena tidak terpakai, dengan total pengeluaran konsumen untuk internet mencapai Rp253 triliun per tahun. Angka ini mencerminkan potensi kerugian ekonomi yang besar dan beban pengeluaran yang makin berat bagi masyarakat.
Praktik hangusnya kuota tanpa opsi pemanfaatan lanjutan dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak konsumen, khususnya hak atas informasi yang benar, hak atas kenyamanan, serta hak untuk mendapatkan layanan secara wajar dan bertanggung jawab.
Sektor Telekomunikasi Banyak Dikeluhkan
Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo dalam laporannya membeberkan perlindungan konsumen sepanjang 2024 masih menghadapi berbagai tantangan serius, khususnya di sektor telekomunikasi yang kembali menjadi salah satu bidang paling banyak dikeluhkan masyarakat.
Minimnya alokasi anggaran, lambannya pembaruan regulasi, hingga rendahnya tanggapan terhadap pengaduan konsumen, menjadi sorotan utama dalam Catatan Akhir Tahun Perlindungan Konsumen 2024 yang dirilis lembaga tersebut.
Alokasi anggaran untuk isu konsumen masih sangat terbatas. Bahkan sampai berakhirnya masa pemerintahan Presiden Jokowi, revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum juga tuntas. “Komitmen negara terhadap isu konsumen masih sangat lemah. Padahal, perlindungan konsumen harusnya jadi bagian dari arsitektur kebijakan publik," ujarnya dalam catatan tahuan temuan YLKI dikutip Kamis, 3 Juli 2025.
YLKI juga menilai bahwa konsumen belum memiliki wadah penyelesaian sengketa yang efektif dan berdaya guna. Tingkat responsivitas pelaku usaha maupun pemerintah dalam menyelesaikan pengaduan konsumen dinilai rendah, terutama untuk kasus-kasus yang terjadi pada tahap pramenunjukkan produk, saat konsumen masih dalam posisi kritis untuk menentukan keputusan pembelian.
Selain itu, YLKI menyoroti belum adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang kuat dan mudah diakses konsumen. Respons pelaku usaha dan pemerintah dinilai masih minim, terutama ketika sengketa terjadi pada tahap awal sebelum konsumen memutuskan pembelian. Sayangnya, ketika konsumen mengalami masalah dan mengadu, tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapat perlindungan yang layak.
"Sepanjang 2024, sektor telekomunikasi mendominasi laporan aduan yang diterima YLKI. Dari total 125 laporan, sebanyak 36 persen berkaitan dengan layanan jaringan dan internet," ujar Rio.
Keluhan yang muncul antara lain kualitas jaringan yang tidak stabil, ketidaksesuaian paket data dengan informasi yang disampaikan, serta penghentian layanan secara sepihak oleh operator.
Masalah yang dominan meliputi kualitas jaringan internet, ketidaksesuaian paket data, layanan yang tidak sesuai, hingga penghentian sepihak layanan langganan oleh operator.
Masalah lain yang turut dikeluhkan meskipun dalam persentase kecil, termasuk kegagalan refund pulsa sebesar 5,6 persen, tarif yang tidak transparan sebesar 4,8 persen, serta kasus pulsa habis meski tidak digunakan. Masalah pengiriman barang yang tidak sampai, kebocoran data pribadi, hingga kategori lain-lain masing-masing menyumbang 0,8 persen dari total aduan.
Beberapa pelaku usaha yang disebut dalam laporan termasuk operator besar seperti Telkomsel, XL, serta penyedia layanan internet seperti Indihome, MyRepublic, Indosat HIFI, dan lainnya. Selain itu, 7 persen aduan tercatat berasal dari perusahaan yang disebut sebagai integrated service provider.
YLKI mendorong agar pemerintah tidak hanya mengeluarkan regulasi yang ramah pengusaha, tetapi juga wajib memastikan adanya mekanisme pengawasan dan penegakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran hak konsumen. Pemerintah diminta tidak segan mencabut izin usaha jika terbukti ada pelanggaran yang merugikan konsumen.
Saat ini, konsumen memang memiliki hak untuk mengajukan pengaduan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau gugatan perdata, namun prosesnya dinilai belum cukup efisien dan masih memerlukan banyak perbaikan agar dapat diakses lebih luas oleh masyarakat.
YLKI juga menggarisbawahi pentingnya penguatan kelembagaan perlindungan konsumen di kementerian teknis, termasuk dalam sektor perumahan, energi, dan komunikasi. Kehadiran fungsi khusus perlindungan konsumen dalam struktur birokrasi diharapkan dapat mendorong pengawasan yang lebih efektif.
Tanpa regulasi dan kelembagaan yang kuat, konsumen akan terus berada dalam posisi rentan, terutama dalam menghadapi model bisnis yang semakin kompleks.
Selain menjadi isu dominan dalam Catatan Tahunan YLKI 2024, sejumlah akademisi juga menyoroti pola bisnis yang dinilai tidak adil terhadap konsumen. Kuota yang hangus, pembagian yang kompleks berdasarkan waktu atau aplikasi tertentu, serta minimnya informasi transparan membuat konsumen berada dalam posisi yang lemah.
Operator Seluler Mengandung Ketimpangan Informasi
Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai praktik pembagian kuota internet oleh operator seluler mengandung ketimpangan informasi yang serius. Konsumen kerap tergiur kuota besar, misalnya 50 GB, namun realisasinya sangat terbatas karena dibagi-bagi menjadi kuota malam, kuota aplikasi tertentu, atau jaringan tertentu, tanpa penjelasan yang terbuka.
Menurutnya, pola ini mencerminkan gejala yang dalam literatur ekonomi digital disebut sebagai shrouded attributes, yaitu fitur penting disembunyikan secara sistematis untuk menciptakan ilusi nilai yang lebih tinggi dari kenyataan.
“Operator membingkai kuota besar, tapi distribusinya penuh batasan tersembunyi. Konsumen tak punya kendali penuh atas hak pemakaian kuotanya,” ujar Syafruddin kepada KabarBursa.com.
Kondisi ini menjadi semakin kompleks dengan sistem hangusnya kuota yang belum digunakan dalam satu periode masa aktif. Dalam sistem ini, konsumen tetap dikenakan biaya penuh meski sebagian kuota tidak pernah digunakan. Syafruddin menilai, situasi ini secara ekonomi menguntungkan operator seluler yang bisa mengakumulasi pendapatan tanpa kewajiban untuk mengembalikan nilai kuota yang belum terpakai. Hal ini menciptakan keuntungan sepihak yang disebut sebagai rente informasi—yakni laba yang diperoleh dari ketimpangan struktur informasi, bukan dari efisiensi atau layanan.
“Yang paling diuntungkan jelas operator. Sementara konsumen kehilangan nilai yang sudah mereka bayar, dan regulator belum cukup aktif menetapkan standar teknis untuk melindungi mereka,” katanya.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa praktik semacam ini berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap industri telekomunikasi secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, ketidaktransparanan dan kuota yang mudah hangus dapat memperlemah loyalitas pelanggan, menimbulkan sentimen negatif terhadap layanan digital, dan menghambat perluasan inklusi digital, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
“Trust adalah fondasi ekosistem digital. Kalau konsumen merasa tidak diperlakukan adil, mereka bisa kehilangan kepercayaan terhadap layanan digital secara keseluruhan,” ucapnya.
Syafruddin mendesak agar regulator seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta BRTI menetapkan standar minimum transparansi dalam penjualan paket data. Ia menyebut perlunya penjelasan yang lugas dan tidak ambigu terkait struktur pembagian kuota, disertai kewajiban rollover atau skema kompensasi untuk kuota yang tidak terpakai. Ia juga menyarankan agar praktik pembatasan kuota berdasarkan waktu atau aplikasi ditinjau ulang.
“Regulator seharusnya tidak netral terhadap asimetri informasi. Tugas mereka adalah menyeimbangkan kekuatan pasar dan memperkuat hak konsumen digital,” jelasnya.
Penerapan Rollover Data
Dalam skala global, Syafruddin menyebut sejumlah model praktik terbaik yang bisa diadopsi di Indonesia. Di Amerika Serikat, AT\&T menerapkan sistem rollover data yang memungkinkan sisa kuota bulan ini digunakan bulan berikutnya. Google Fi bahkan menggunakan model pay-per-use, di mana pelanggan hanya membayar sesuai data yang digunakan. Di kawasan Asia Tenggara, Gomo di Singapura dan Filipina menyediakan paket data no expiry yang tetap aktif sampai benar-benar digunakan, tanpa batas waktu.
Menurutnya, model-model ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia, terutama oleh operator digital-native seperti by.U atau Live.On yang punya fleksibilitas struktur layanan. Tantangan utamanya adalah resistensi dari operator besar yang terbiasa memperoleh keuntungan dari kuota hangus. Namun dengan tekanan publik dan komitmen regulasi yang kuat, sistem yang lebih adil dan transparan dinilai bisa diterapkan secara bertahap.
“Model seperti itu realistis diterapkan. Konsumen akan merasa lebih dihargai dan industri juga bisa tumbuh dengan cara yang lebih berkelanjutan,” kata dia.(*)