Logo
>

Lonjakan Utang Jokowi tak Seimbang dengan Pertumbuhan Ekonomi RI

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Lonjakan Utang Jokowi tak Seimbang dengan Pertumbuhan Ekonomi RI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom yang juga peneliti Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti lonjakan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pertambahan utang dalam satu dekade terakhir tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Pemerintah sering kali berargumen bahwa utang digunakan untuk keperluan produktif, namun data menunjukkan hal sebaliknya.

    Awalil menyebut ada empat indikasi utama yang menunjukkan bahwa peningkatan utang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertama, kenaikan pendapatan negara tidak signifikan dibandingkan dengan peningkatan utang.

    Menurut Awalil, rasio utang pemerintah atas pendapatan negara pada 2024 mencapai 315,81 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan saat Jokowi pertama kali menjabat pada 2014, yakni sebesar 168,27 persen.

    Indikasi kedua adalah nilai aset tetap pemerintah yang tidak sebanding dengan jumlah utang yang terus meningkat. Pada 2023, utang pemerintah pusat tercatat sekitar Rp8.144 triliun, sementara nilai aset tetap pemerintah hanya hampir mencapai Rp7.000 triliun. Awalil menjelaskan lonjakan nilai aset ini terjadi karena revaluasi aset tetap pemerintah pada 2017-2018, bukan karena pembangunan baru yang signifikan.

    "Misalnya jalan tol yang bertambah, sedangkan pertambahan jalan nasional lebih sedikit dibandingkan era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," kata Awalil dalam diskusi Forum Insan Cita secara virtual, dikutip Selasa, 17 September 2024.

    Ketiga, investasi pemerintah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak sebanding dengan posisi utang pemerintah pusat. Awalil menyoroti pemerintah sering menyatakan utang digunakan untuk mendukung BUMN menjalankan proyek strategis nasional. Namun, data menunjukkan penyertaan modal pemerintah pada BUMN tidak sampai Rp3.000 triliun, sementara utang pemerintah pusat mencapai Rp8.144 triliun pada 2023.

    Terakhir, Awalil menegaskan laju pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan peningkatan utang. Kenaikan utang tidak membuat pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan saat utang lebih sedikit.

    Senada dengan Awalil, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, juga mengkritisi penumpukan utang selama era Presiden Jokowi.

    Meskipun rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 40 persen, Didik menyoroti beban bunga yang harus ditanggung oleh Indonesia begitu besar. Berbeda halnya, kata Didik, dengan Jepang yang meskipun rasio utangnya mencapai 100 persen, namun bunga yang dibayar lebih rendah.

    Negeri Sakura itu memiliki bunga utang sekitar 0,7 persen - 0,9 persen. Jika berutang Rp500 triliun, mereka hanya membayar bunganya 30 triliun. “(Indonesia) Utang Rp8.500 triliun harus membayar bunga Rp500 triliun," kata Didik.

    APBN yang Terpenggal

    Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia, Salamudin Daeng, sebelumnya menggambarkan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2025 dengan perumpamaan yang tajam. Menurutnya, APBN saat ini seperti dipenggal oleh beban utang yang semakin menumpuk.

    “APBN Indonesia bukan APBN yang hidup, dia telah dipenggal kepalanya,” kata Salamudin dalam keterangan tertulis, Kamis, 12 September 2024.

    Dia menjelaskan, pembayaran bunga utang, baik dalam maupun luar negeri, telah menguras sebagian besar anggaran negara. “Bayangkan bagaimana utang menyandera APBN,” ujarnya.

    Berdasarkan Rancangan APBN (RAPBN) 2025, pembayaran bunga utang diproyeksikan mencapai Rp552,9 triliun, naik 10,8 persen dari 2024. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp497,6 triliun dialokasikan untuk utang dalam negeri, sementara Rp55,2 triliun untuk utang luar negeri.

    Pembayaran bunga utang telah mengalami peningkatan signifikan. Pada 2020, angkanya mencapai Rp314,1 triliun dan kini diproyeksikan mencapai Rp552,9 triliun pada 2025—sebuah lonjakan 75,8 persen dalam lima tahun terakhir. “Kecepatan meningkatnya bunga utang jauh dibandingkan dengan kecepatan naiknya penerimaan dalam APBN Indonesia,” tegas Salamudin.

    Lebih jauh, ia juga memperingatkan jatuh tempo utang akan menjadi masalah serius di tahun-tahun mendatang. Tahun 2023, utang jatuh tempo mencapai Rp539,9 triliun, sementara pada 2024 jumlahnya diproyeksikan mencapai Rp335,2 triliun. Jika tren ini terus berlanjut, pada 2025 utang jatuh tempo dan bunga utang bisa menembus angka Rp1.000 triliun.

    Utang Naik Terus

    Sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014, utang pemerintah pusat terus mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Di tahun akhir pemerintahannya ini, Indonesia harus mengeluarkan Rp69 triliun untuk membayar bunga utang selama dua bulan pertama 2024. Angka ini naik 37 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp50,3 triliun. Kenaikan ini mencatatkan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.

    Peningkatan pembayaran bunga utang terjadi karena utang pemerintah terus membengkak. Per Desember 2023, total utang pemerintah mencapai Rp8.145 triliun, dan per Februari 2024 naik menjadi Rp8.319,22 triliun. Selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi (2015-2022), rata-rata rasio beban bunga utang dan cicilan pokok mencapai 47,4 persen dari penerimaan pajak setiap tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2014) yang rata-ratanya hanya 32,9 persen.

    Ekonom mendiang Faisal Basri mengatakan bunga utang yang harus ditanggung pemerintahan Prabowo Subianto mendatang naik sebesar 274 persen. “Selama 10 tahun terakhir pembayaran bunga utang naik sebesar 274 persen,” kata Faisal Basri dalam diskusi dengan media yang digelar Bright Institute bertema “Reviu RAPBN 2025 Ngegas Utang!” di Jakarta Selatan, Rabu, 21 Agustus 2024, lalu.

    Faisal membeberkan data utang pemerintah sejak pertama kali Jokowi menjabat. Pada 2014, utang pemerintah tercatat Rp2.610 triliun dengan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 24,7 persen. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan dan pemulihan ekonomi, utang terus bertambah.

    Pada 2015, utang naik menjadi Rp3.170 triliun dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 27,5 persen. Angka ini terus naik pada 2016 menjadi Rp3.520 triliun, dan rasio utang meningkat ke 28,3 persen. Pada 2017, jumlah utang pemerintah pusat tercatat Rp3.990 triliun dengan rasio 29,4 persen.

    Tren kenaikan berlanjut hingga 2018, di mana utang mencapai Rp4.470 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,8 persen. Sementara pada 2019, utang bertambah menjadi Rp4.780 triliun dengan rasio 30,2 persen. Lonjakan terbesar terjadi pada 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda. Utang melonjak drastis menjadi Rp6.080 triliun dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 39,4 persen.

    Kenaikan utang berlanjut pada 2021, di mana jumlah utang mencapai Rp6.910 triliun dengan rasio utang sebesar 40,7 persen. Pada 2022, utang pemerintah kembali meningkat menjadi Rp7.730 triliun, meskipun rasio terhadap PDB sedikit menurun menjadi 39,5 persen.

    Memasuki 2023, utang pemerintah mencapai Rp8.140 triliun dengan rasio 39,1 persen. Proyeksi untuk 2024 menunjukkan bahwa utang akan terus naik hingga mencapai Rp8.700 triliun dengan rasio 38,5 persen.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).