KABARBURSA.COM – Sebanyak 1.652 lowongan baru untuk petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) dibuka oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada April 2025. Perekrutan ini sontak menyedot perhatian ribuan warga, terlihat dari antrean panjang di berbagai titik layanan pendaftaran dan ramainya percakapan grup WhatsApp warga Jakarta. Tak sedikit dari mereka yang datang hanya berbekal kabar dari tetangga, berharap dapat kesempatan bekerja di bawah program yang selama ini identik dengan seragam oranye dan kerja lapangan.
Namun, di balik semaraknya proses perekrutan ini, ada satu realita yang lebih besar dan mendesak. yakni angka pengangguran di Jakarta. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa per Agustus 2024, jumlah penganggur terbuka di DKI Jakarta mencapai sekitar 338 ribu orang, atau 6,21 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 5,44 juta. Angka ini memang lebih rendah dibanding masa pandemi, tapi belum berhasil kembali ke tingkat sebelum Covid-19 melanda.
Jika dibandingkan dengan total lowongan PPSU yang dibuka, perbandingannya cukup mencolok. Hanya sekitar 0,48 persen dari jumlah penganggur yang bisa terserap oleh program ini. Ini berarti satu posisi PPSU diperebutkan oleh lebih dari 200 pencari kerja—belum termasuk pelamar dari luar kelompok penganggur aktif yang ingin mencari kerja baru atau berpindah jalur.
PPSU bukan pekerjaan elite. Namun bagi banyak warga Jakarta, terutama yang tidak memiliki pendidikan tinggi atau pengalaman formal, ini adalah salah satu dari sedikit pekerjaan yang masih bisa diakses tanpa hambatan administratif atau biaya pelatihan. Syaratnya pun relatif longgar, minimal lulusan SD, berusia antara 18 hingga 58 tahun, mampu membaca dan menulis, dan memiliki KTP DKI Jakarta (dengan toleransi untuk pelamar dari luar daerah). Pemerintah bahkan sedang mengkaji perpanjangan usia maksimal hingga 60 tahun, mengingat banyak petugas PPSU lama yang masih aktif meski sudah berusia lanjut.
Secara resmi, gaji PPSU disesuaikan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, yakni sebesar Rp5.396.761 per bulan. Petugas juga mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan melalui BPJS, serta Tunjangan Hari Raya (THR) seperti pekerja formal lainnya. Bagi sebagian besar pencari kerja di segmen bawah, ini adalah bentuk pekerjaan yang dianggap layak, stabil, dan aman. Bahkan untuk posisi dengan risiko kerja lebih tinggi, seperti operator alat berat di TPA Bantar Gebang, tersedia tambahan penghasilan sekitar Rp1,2 juta per bulan.
Namun, angka tetaplah angka. Saat 1.652 posisi dibuka dan yang mengantre ribuan, kita sedang berhadapan dengan cerminan dari tekanan sosial-ekonomi perkotaan yang tidak ringan. Terutama ketika menyadari bahwa dari seluruh penganggur di Jakarta, lebih dari 70 persen berasal dari kelompok usia muda (15–29 tahun). Dalam angka, itu berarti sekitar 249 ribu penganggur muda dengan tingkat pengangguran di kelompok usia ini mencapai 17,59 persen. Artinya, dari setiap 100 anak muda yang masuk angkatan kerja, 17 di antaranya belum bekerja.
Sebagian besar dari mereka adalah lulusan SMA, berdasarkan proporsi yang mencapai lebih dari 33 persen dari penganggur muda. Banyak di antara mereka yang kesulitan masuk ke dunia kerja formal karena keterbatasan pengalaman, keterampilan yang belum sesuai dengan kebutuhan industri, atau sekadar karena tak ada cukup lowongan. Maka ketika posisi PPSU diumumkan, tak heran jika antusiasme melonjak tajam.
PPSU dan Jalan Keluar Sementara
PPSU pada dasarnya adalah solusi jangka pendek dari problem struktural yang tak kunjung selesai. Dalam logika fiskal pemerintah daerah, mereka adalah penyedia jasa perorangan yang dibutuhkan untuk menjaga kelurahan tetap bersih, infrastruktur lingkungan tetap fungsional, dan ruang terbuka hijau tetap terpelihara. Namun dalam kacamata publik, PPSU juga adalah jalan keluar dari pengangguran, bahkan bila itu bersifat sementara.
Jumlah petugas PPSU aktif di Jakarta saat ini berada di rentang 10.687 hingga 18.960 orang, tersebar di 267 kelurahan. Dengan rasio sekitar 40–70 petugas per kelurahan, perekrutan tambahan memang diperlukan untuk menutup kekosongan akibat pensiun, pengunduran diri, atau kontrak yang tak diperpanjang. Tetapi dalam konteks ketenagakerjaan Jakarta, angka rekrutmen ini masih belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap total pengangguran.
Sementara itu, Pemprov DKI menjanjikan proses seleksi yang transparan dan berbasis sistem elektronik. Pendaftaran bisa dilakukan secara daring melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan seluruh informasi disampaikan terbuka melalui situs resmi pemerintah. Meski demikian, kekhawatiran publik terhadap praktik titipan, pungutan liar, atau intervensi pihak tertentu masih menjadi catatan tersendiri—sebuah isu lama yang terus membayangi setiap kali rekrutmen tenaga lapangan dibuka.
Di satu sisi, langkah pemerintah membuka rekrutmen ini patut diapresiasi sebagai bentuk konkret pembukaan lapangan kerja baru. Namun di sisi lain, fenomena ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya struktur penyerapan tenaga kerja di kota metropolitan seperti Jakarta. Ketika pekerjaan lapangan berbasis tenaga kasar menjadi rebutan, itu menandakan bahwa pekerjaan berjenjang lainnya belum tersedia dalam jumlah memadai atau belum dapat diakses oleh kalangan yang seharusnya produktif secara optimal.
Pengangguran di kota besar bukan sekadar angka statistik. Ia adalah wajah dari ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan akses terhadap hasilnya. PPSU mungkin hanya sebuah pintu kecil yang terbuka, tetapi banyak orang terpaksa berdesakan di depannya, karena pintu-pintu lain masih tertutup rapat atau terlalu mahal untuk dimasuki.
Maka, selama daya serap pasar kerja tak berimbang dengan laju pertumbuhan angkatan kerja, kita akan terus melihat antrean panjang di tiap lowongan yang dibuka. Bukan karena orang malas bekerja, tapi karena mereka benar-benar membutuhkan pekerjaan yang bisa mereka jangkau—apa pun bentuknya, selama masih ada upah dan kepastian di ujungnya.
Siapa yang Paling Berpeluang Jadi PPSU?
Peluang bekerja sebagai petugas PPSU memang terbuka lebar, tetapi tidak merata bagi semua kelompok usia. Dalam syarat resmi yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, pelamar harus berusia minimal 18 tahun dan maksimal 58 tahun. Rentang ini memang mencakup hampir seluruh angkatan kerja, tapi tetap menyisakan nuansa seleksi alami—tanpa harus tertulis—yang membuat sebagian pelamar lebih berpeluang dibanding yang lain.
Jika melihat data Badan Pusat Statistik yang diperbarui lembaga tersebut hingga Agustus 2024, kelompok usia 15 hingga 29 tahun menyumbang sekitar 70,37 persen dari total penganggur di Jakarta, atau sekitar 249 ribu jiwa. Kelompok inilah yang sering disebut sebagai angkatan kerja muda, mayoritas merupakan lulusan SMA dan SMK, dan sebagian besar belum pernah bekerja secara tetap. Tapi dari kelompok ini, hanya mereka yang sudah berusia 18 tahun ke atas yang bisa mendaftar sebagai PPSU. Artinya, sebagian kecil dari populasi penganggur muda otomatis tersaring sejak awal.
Sementara itu, kelompok usia 30 hingga 59 tahun menyumbang sekitar 28 persen dari total pengangguran. Ini adalah kelompok yang secara faktual paling sesuai dengan realitas rekrutmen PPSU. Mereka cenderung memiliki pengalaman kerja, terbiasa dengan pekerjaan fisik, dan secara psikologis lebih siap bekerja di lapangan. Di sisi lain, data dari salah satu kelurahan di Jakarta Barat juga menunjukkan bahwa mayoritas PPSU aktif berada di rentang usia 31 hingga 40 tahun. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa skema rekrutmen PPSU—meskipun terbuka bagi semua usia di antara 18 sampai 58 tahun—lebih memberi peluang realistis kepada kelompok usia yang lebih matang secara kerja.
Sisanya, kelompok usia 60 tahun ke atas, yang hanya mencakup sekitar 1,25 persen dari total penganggur, secara formal sudah tak bisa lagi ikut serta. Kalaupun ada wacana memperpanjang usia maksimal menjadi 60 tahun, kebijakan itu lebih bersifat mempertahankan petugas aktif daripada memperluas kesempatan baru bagi lansia.
Maka dari itu, dari seluruh populasi penganggur Jakarta, sekitar 98 persen sebenarnya tercakup dalam rentang usia yang memenuhi syarat PPSU. Tapi jika ditanya siapa yang paling terbantu? Jawabannya lebih condong ke kelompok usia 30-an hingga 50-an. Kelompok muda, meskipun jumlahnya mendominasi statistik pengangguran, justru harus bersaing lebih ketat dan tidak memiliki keunggulan pengalaman yang sama. Dalam banyak kasus, mereka justru kalah cepat oleh mereka yang lebih dulu pernah bekerja, bahkan jika hanya di sektor informal.
Inilah ironi pasar kerja kita hari ini: anak muda paling banyak menganggur, tetapi lowongan yang tersedia tidak dirancang khusus untuk mereka. PPSU adalah salah satu contohnya. Ia menjadi jaring pengaman sosial yang efektif, tetapi belum tentu menjadi ruang yang ramah bagi pemula. Jadi meskipun seragam oranye itu terlihat menyala, bagi sebagian besar anak muda, jalur untuk mengenakannya tetap sempit.(*)