KABARBURSA.COM - Guru Besar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rahma Gafmi, menegaskan bahwa bencana alam skala besar bukan sekadar urusan kebencanaan, melainkan sudah masuk kategori macroeconomic shocks yang wajib ditangani dengan kebijakan ekonomi tingkat makro.
Rahma menyebut dampak bencana dapat mengguncang fondasi ekonomi daerah dan nasional secara sistemik.
“Hemat saya, bencana besar seperti gempa, tsunami, banjir bandang, letusan gunung sampai badai siklon jelas berdampak sistemik, sehingga termasuk dalam macroeconomic shocks,” tegasnya, Senin 8 Desember 2025.
Pernyataan tersebut disampaikan sebagai respons atas bencana banjir dan longsor yang menerjang berbagai wilayah di tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Lebih lanjut, Rahma merinci, gangguan pertama muncul dari sisi produksi, ketika sawah, ladang, atau pabrik rusak sehingga output turun.
Di saat yang sama, korban jiwa dan pengungsian membuat konsumsi serta pasokan tenaga kerja melemah. Gangguan pada infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, dan air memperburuk situasi.
Ia menambahkan bahwa lonjakan biaya rekonstruksi juga menciptakan tekanan fiskal yang signifikan.
“Kerugian infrastruktur dan lonjakan belanja rekonstruksi membuat tekanan fiskal tidak terhindarkan,” kata Rahma.
Menurutnya, dampak tersebut termasuk dalam tiga jenis guncangan utama: supply shock ketika produksi menurun, demand shock ketika konsumsi rumah tangga jatuh, serta fiscal shock ketika anggaran negara tersedot habis untuk pemulihan. Selain itu, dunia keuangan juga ikut terdampak melalui risiko kredit macet dan tekanan likuiditas perbankan.
Rahma memerinci bahwa respons kebijakan harus dilakukan secara terkoordinasi oleh BI, Kemenkeu, OJK, hingga LPS.
“Instrumen moneter seperti penurunan suku bunga, likuiditas darurat atau relaksasi kewajiban bank menjadi penting untuk daerah terdampak," kata dia.
Di sisi fiskal, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran darurat, bantuan sosial, subsidi bunga untuk UMKM terdampak, hingga penundaan pajak di wilayah bencana. Rekonstruksi infrastruktur, menurutnya, menjadi elemen kunci pemulihan ekonomi daerah.
Rahma menilai, koordinasi lintas lembaga juga menentukan stabilitas sistem keuangan. “LPS harus memastikan tidak terjadi bank run, sementara OJK memberi relaksasi rasio perbankan di zona bencana,” tamabahnya..
Ia turut mendorong pemerintah menerbitkan instrumen pendanaan khusus pemulihan bencana.
“Solusinya, BI dan Kemenkeu bisa menerbitkan surat berharga khusus seperti disaster bond untuk pembiayaan rekonstruksi,” kata Rahma.
Menurutnya, pemerintah juga tidak boleh menutup diri dari dukungan internasional. “Jangan alergi terhadap bantuan internasional. Pembiayaan multilateral dan hibah infrastruktur tahan bencana sangat membantu percepatan pemulihan," ujar dia
Rahma mencontohkan penanganan di masa lalu, termasuk bencana Lombok yang menyebabkan produksi pertanian turun 15 persen dan kerusakan infrastruktur di Jabodetabek yang mencapai sekitar Rp30 triliun. BI saat itu menurunkan suku bunga 0,25 persen dan memperpanjang tenor kredit sektor pertanian, sementara Kemenkeu menambah alokasi belanja pemulihan.(*)