Logo
>

Mardigu: Pemerintah tidak Fokus Perhatikan UKM

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Mardigu: Pemerintah tidak Fokus Perhatikan UKM

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pengusaha nasional, Mardigu Wowiek Prasantyo, menyoroti masalah pelik yang dihadapi pengusaha di Indonesia, terutama di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

    “Pemerintah tidak fokus memperhatikan UKM. Itu sudah terbukti,” kata Mardigu kepada Kabar Bursa, Minggu, 14 Oktober 2024.

    Padahal, masalah utama UKM hanya dua saja, yaitu bagaimana menjual produk dan mendapatkan modal.

    “Sayangnya, dua aspek ini seolah tidak menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah,” ujarnya.

    “Karena syarat untuk mendapatkan pinjaman modal harus punya jaminan. Itu kan hukumnya bank di Indonesia,” sambung Mardigu.

    Lalu, dia menyinggung soal Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini menjadi andalan pemerintah. Menurutnya, plafon KUR yang maksimal hanya Rp500 juta justru hanya bermanfaat bagi pengusaha mikro. Padahal, pengusaha yang benar-benar bisa mendongkrak perekonomian Indonesia adalah yang berada di level menengah, yang membutuhkan pinjaman lebih besar.

    “Padahal pengusaha yang bagus itu pengusaha yang tengah. Butuhnya bukan Rp500 juta, butuhnya itu Rp5 miliar sampai Rp15 miliar. Nah untuk di level itu mereka pakai jaminan, jaminannya tidak punya,” jelas Founder Asian Tiger ini.

    Lebih jauh, Mardigu menekankan, bahwa UKM kelas menengah adalah penggerak utama tenaga kerja di Indonesia. UKM menengah ini membutuhkan banyak pegawai, berbeda dengan UKM kecil yang hanya mempekerjakan dua atau tiga orang.

    UKM menengah bisa mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang. Sayangnya, merekalah yang justru kesulitan mendapatkan akses pendanaan.

    “Kalau kelas kecil, dia self-employee, paling dua pegawai. Yang sampai ratusan, ribuan pegawai yang kelas menengah,” kata Mardigu.

    Dia pun menyarankan pemerintah agar segera fokus pada UKM menengah jika ingin menyelamatkan ekonomi Indonesia.

    “Itu yang terkadang kita kritik atau kita berteriak, bukan sekedar mengkritik, tapi berteriak,” ungkapnya.

    Dia menegaskan fokus pada penguatan kelas menengah merupakan hal yang penting, karena melalui pengembangan sektor ini, penataan tenaga kerja dapat berjalan lebih optimal.

    “Kalau mau menyelamatkan ekonomi Indonesia, gemukkan kelas menengah. Ini yang bisa membuat tenaga kerja kita tertata dengan baik,” serunya.

    Ia juga mengingatkan bahwa 97 persen tenaga kerja di Indonesia bergantung pada UKM, bukan pada perusahaan-perusahaan besar yang dikuasai oleh oligarki.

    “Jadi, apa solusi pemerintah untuk UKM menengah ini?” pungkas Mardigu.

    Program CEO Bootcamp Siapkan Pengusaha Tangguh

    Di kesempatan yang sama, Mardigu Wowiek Prasantyo menjelaskan soal program ‘CEO Bootcamp’ di mana dirinya merupakan sebagai inisiator.

    Katanya, program CEO Bootcamp bertujuan membentuk pengusaha Indonesia yang tangguh. Menurut Mardigu, CEO Bootcamp lahir dari kebutuhan untuk mempersiapkan generasi pengusaha yang mampu beradaptasi dan berkembang di tengah tantangan bisnis yang semakin kompleks.

    “Kita saat ini self sufficient saja, dari kita buat kita. Itulah alasan kenapa kelas ini diadakan,” jelas Mardigu.

    Dia beritahu, bahwa saat ini program CEO Bootcamp merupakan angkatan ke-15, namun sebelumnya program ini dikenal dengan nama Sadar Kaya Bootcamp (SKBC).

    “Ini kelas ke-15. Kita berubah dulu namanya SKBC menjadi CEO Bootcamp, SKBC itu Sadar Kaya Bootcamp,” ungkapnya.

    Mardigu menceritakan, awalnya, konsep bootcamp ini terinspirasi dari metode pembelajaran di Harvard Business School. Yang mana para peserta peserta diberikan kasus-kasus bisnis dan diwajibkan membaca tiga buku dan membuat rangkumannya. Kemudian, kasus-kasus bisnis itu diselesaikan dengan menggunakan referensi dari buku-buku tersebut.

    “Kita meng-copy plek-plek ilmu dari Harvard Business School. Pengajar-pengajarnya semua Harvard graduate. Sebelum masuk kelas, kita minta tiga buku dibaca dan dibuat rangkumannya. Kemudian di kelas kita akan kasih kasus yang diselesaikan pakai buku itu,” jelas dia.

    Namun, setelah lima angkatan berjalan, Mardigu menyadari bahwa rendahnya tingkat literasi dan minat baca orang Indonesia menjadi penghalang besar.

    “Lima angkatan kita adakan, ternyata orang Indonesia enggak suka baca. Rendahnya literasi. Kalau kita baca 300 halaman kan ya rata-rata 5 jam harusnya kelar. Ini 300 halaman seminggu enggak kelar. Jadi memang rendah sekali kemampuan baca orang Indonesia,” ungkap dia.

    Menyadri kenyataan itu, Mardigu dan timnya memutuskan untuk mengubah pendekatan. Mereka mengganti fokus program menjadi tentang pitching, sebuah kemampuan vital dalam bisnis.

    “Akhirnya kita buat 10 angkatan itu tentang pitching. Karena pitching itu kan tidak harus ke bank. Bisa ke rakyat investor, bisa ke venture capital, bisa ke macam-macam,” jelas dia.

    Dia menilai, kemampuan pitching orang Indonesia sudah cukup baik, namun masih banyak yang belum memahami strategi pra-pitching.

    Menurutnya, banyak yang cenderung langsung menawarkan produk tanpa proses yang tepat, sehingga penting untuk mengajarkan cara membuat produk terlihat menarik.

    “Cara mereka mem-pitching itu rata-rata cukup bagus. Kalau itu cukup bagus, tapi belum tahu ilmu-ilmu pra-pitching. Jangan ujuk-ujuk Ini barang gue cantik, lu mau beli enggak? Membuat ini cantik itulah yang harus kita ajarin. Dengan begitu, barang sampah saja bisa jadi indah,” imbuhnya.

    Baginya, kunci kesuksesan adalah mampu memoles ide bisnis menjadi menarik sebelum menyempurnakannya dengan baik. Seperti yang sering dilakukan oleh pengusaha dari Singapura, India, atau Amerika Serikat (AS).

    Bahkan, lanjutnya, mereka bisa membuat suatu barang yang biasa-biasa saja terlihat bagus. “Produk yang kurang berkualitas saja mereka bisa mempresentasikan dengan cara yang menarik. Begitu investasi masuk, mereka perbaiki jadi lebih baik lagi,” paparnya.

    Mardigu mengatakan, peserta CEO Bootcamp bukan sembarang pengusaha. Beberapa di antaranya memiliki omzet sebesar Rp15 miliar per bulan.

    “Mereka bayar lebih dari Rp8 juta untuk ikut kelas ini. Di sini, gurunya juga punya omzet 12 digit, bukan cuma omong kosong,” kata Mardigu.

    Terlebih, program CEO Bootcamp juga dirancang tidak hanya sebagai tempat belajar, tapi juga tempat berjejaring dan membangun hubungan lebih dalam.

    “Kita ngobrol sampai jam 3 pagi, enggak tidur. Itu sebenarnya bootcamp itu. Jadi kita duduk ngobrol seperti ini, karena bisnis itu bukan work, bukan apa, tapi siapa. Nah siapa itu kan mau kita kenal lebih lanjut,” jelasnya.

    Selain membahas kemampuan pitching, CEO Bootcamp juga mengajarkan pentingnya mengenali dan mengomunikasikan risiko dalam bisnis kepada para investor.

    Dia menjelaskan, penting bagi pengusaha untuk tidak hanya fokus pada potensi keuntungan, tetapi juga memperkenalkan profil risiko.

    Menurutnya, mencoba menutupi risiko justru akan merugikan, karena investor biasanya sudah berpengalaman menghadapi berbagai tantangan.

    “Investor itu bukan anti-resiko. Investor itu malah hidupnya pernah mengalami itu semua. Jadi pengalaman kita berdasarkan sama investor adalah selalu what’s in it for him. Jadi lebih baik bilang, Pak kendala kita di sini. Jangan coba-coba menutupi resiko,” terangnya.

    Oleh karena itu, transparansi mengenai kendala yang ada sangat diperlukan agar investor tahu di mana mereka bisa membantu.

    Dia juga menekankan pentingnya memahami kebutuhan investor dengan baik sebelum menawarkan bisnis, karena kesalahan dalam mengenali minat mereka bisa menyebabkan penawaran yang tidak relevan.

    “Kita tuh suka lupa mereka itu horny-nya di apa. Misalnya bisnis daging, ternyata dia vegetarian. Kan enggak nyambung, enggak survei dulu,” pungkas Mardigu. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.