KABARBURSA.COM - Permintaan para hakim untuk menaikkan gaji dan tunjangan sebesar 142 persen mendapat kritik beragam dari masyarakat. Warga menilai langkah itu tidak tepat di saat kesejahteraan pekerja dan masyarakat umum masih belum tercapai.
"Jangan dinaikin dulu gaji hakim. Ngurusin yang kerja dulu aja, karyawan, masyarakat, baru ya hakim atau (pekerja) yang lain dinaikin kalau mau," ujar Andika (37), salah satu pengemudi ojek online (ojol) saat ditemui Kabarbursa.com di Jakarta Selatan, Kamis, 10 Oktober 2024.
Ia menambahkan, seharusnya pemerintah fokus memperbaiki kondisi pekerja di tingkat bawah sebelum memberikan kenaikan bagi profesi lainnya. "Kalau (masyarakat) yang bawahnya belum bener, masa yang di atas (seperti hakim) terus yang dibenerin? Bawah dulu lah, sekali-sekali," tegasnya.
Kritik ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap prioritas pemerintah dalam mengelola anggaran. Warga menilai, peningkatan gaji hakim hanya akan memperlebar kesenjangan, terutama jika kesejahteraan para pekerja belum diperbaiki.
"Banyak yang lebih penting diperhatikan, biar adil," sambung Andika, menuturkan.
Secara terpisah, Imam (28) salah satu pekerja swasta yang ditemui oleh Kabarbursa.com menilai bahwa kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan mendesak masyarakat di tengah situasi ekonomi yang masih sulit.
"Saya rasa, kenaikan gaji dan tunjangan hakim enggak terlalu mendesak. Yang lebih penting sekarang adalah pemerintah membuka lebih banyak lapangan kerja," ujar Imam.
Menurutnya, banyak industri yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah ketidakpastian ekonomi, dan hal tersebut seharusnya menjadi prioritas pemerintah. "PHK industri kan lagi marak-maraknya sekarang. Jadi lebih urgen kalau pemerintah fokus di situ," tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa rencana kenaikan gaji hakim muncul di waktu yang kurang tepat, berdekatan dengan pembahasan upah minimum provinsi (UMP) yang lebih relevan bagi banyak pekerja. "Apalagi wacana kenaikan ini pas di akhir tahun, yang harusnya fokus ke UMP. Kok malah ngurusin gaji dan tunjangan hakim?" ungkapnya dengan nada heran.
Bagi banyak pekerja, termasuk dirinya, UMP dan kesenjangan upah di berbagai daerah menjadi isu yang lebih mendesak untuk diperbaiki. "UMP buat saya lebih penting, apalagi upah enggak rata di semua daerah," jelasnya.
Ia juga membandingkan tunjangan yang diterima pekerja swasta dengan tunjangan yang diusulkan untuk hakim. "Karyawan swasta kayak saya cuma dapat tunjangan BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, itu pun kadang telat. Masa yang seperti ini bisa luput dari perhatian pemerintah?" tandasnya.
Menyelisik Kelayakan Gaji Hakim
Sementara itu, pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menilai wajar jika para hakim saat ini meminta kenaikan gaji pokok mereka. Kewajaran itu berdasar pada dua hal yaitu dari sisi hukum dan ekonomi.
Menurut Tadjuddin, para hakim perlu mendapat upah yang layak. Hal ini untuk memastikan independensi dan kualitas pengadil terhadap keputusan dari suatu produk hukum.
“Hakim harus dibayar dengan layak. Jika tidak, keputusan mereka bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Kesejahteraan mereka sangat penting untuk menjaga integritas dalam sistem peradilan,” jelasnya kepada Kabarbursa.com, Rabu, 9 Oktober 2024.
Meskipun saat ini tuntutan yang dilayangkan oleh Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) masih dikaji oleh pemerintah, Tadjuddin menyebut kenaikan gaji hakim masih logis guna menyesuaikan kondisi perekonomian dan inflasi saat ini. Pasalnya, daya beli hakim mengalami penurunan hingga 24 persen dengan gaji terkini.
“Kalau rata-rata inflasi mencapai 2 persen per tahun, maka selama 12 tahun, nilai gaji mereka sudah turun sebesar 24 persen. Dengan demikian, sangat wajar jika hakim menuntut kenaikan gaji,” kata Tadjuddin.
Hakim golongan tertinggi yaitu IV E dengan masa kerja 32 tahun menerima gaji pokok mencapai Rp4,9 juta. Namun, mereka juga menerima tunjangan bervariasi yang antara lain tergantung daerah tempat bekerja.
Sayangnya, Tadjuddin menyoroti bahwa tunjangan ini tidak merata. “Tunjangan itu sangat bergantung pada lokasi, padahal tanggung jawab mereka sama, yaitu memutuskan perkara penting,” ujarnya.
Terkait lokasi, seperti contoh para hakim di Jakarta dan Papua akan menerima gaji berbeda. Seharusnya, lanjut dia, hal ini tidak menjadi dasar utama dalam menentukan besaran tunjangan para pengadil.
“Mungkin kasus di Jakarta lebih banyak, tapi secara prinsip, tanggung jawab mereka sama. Idealnya, tunjangan hakim dihitung berdasarkan jumlah atau kompleksitas kasus yang ditangani, bukan berdasarkan daerah tempat mereka bertugas.” tambahnya.
Di samping itu, secara lebih luas, Tadjuddin menerangkan pentingnya pemerintah memiliki sistem pengupahan nasional yang adil bagi semua pekerja. Selain hakim, para pekerja sektor lain juga belum mendapatkan prioritas.
“Kita masih belum memiliki sistem penggajian nasional yang konsisten. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan penghasilan yang tidak selalu adil di berbagai sektor dan daerah,” jelasnya.
Oleh karena itu, kenaikan gaji hakim ini diharapkan dapat mencerminkan komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan seluruh pekerja, bukan hanya pada profesi tertentu, tetapi juga bagi profesi yang belum mendapat perhatian penuh dalam kebijakan penggajian nasional.
Berikut adalah perbandingan upah pekerja dari beberapa bidang.
Pekerja Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Berdasar pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Kabarbursa.com mengambil satu sampel mengenai upah buruh berdasarkan jenjang pendidikannya. Lebih rinci, data termutakhir Februari 2024 memperlihatkan ada kesenjangan antara pekerja yang memiliki latar belakang pendidikan berbeda.
Pekerja yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) memperoleh upah sebesar Rp1.970.141 per bulan. Sementara bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan upah sekitar Rp2.194.956. Pekerja dengan latar belakang pendidikan SMA mencatatkan pendapatan yang lebih tinggi, yaitu Rp2.891.948.
Sementara para pekerja yang mengenyam bangku pendidikan tinggi mampu memperoleh upah bulanan lebih banyak. Karyawan bergelar diploma akan mendapat bayaran mencapai Rp3.868.555, sedangkan mereka yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana diberi upah dengan Rp4.685.241.
Data ini menunjukkan bahwa setiap tingkat pendidikan tidak hanya berpengaruh pada kualitas pekerjaan yang dapat diakses, tetapi juga pada besaran upah yang diterima. Selisih yang signifikan antara pendapatan pekerja dengan pendidikan dasar dan mereka yang memiliki gelar universitas menjadi sorotan penting dalam pembahasan mengenai keadilan dalam sistem pengupahan di Indonesia.
2. PNS Kejaksaan Agung
Lebih jauh, Kabarbursa.com mengambil data gaji pegawai negeri sipil (PNS) di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan kepolisian. Tujuannya adalah sebagai komparasi terhadap gaji hakim dan sampel data pekerja di atas.
PNS diberikan upah berdasarkan golongan. Ada sebanyak tiga golongan dengan setiap golongan memiliki tingkatan lanjut mulai A sampai dengan D. Pengkategorian ini dibuat berdasar pada tingkat pendidikan setiap aparatur sipil negara (ASN) saat bergabung di instansinya.
Pada contoh ini, PNS Kejagung Golongan I menerima gaji antara Rp1.560.800 hingga Rp2.686.500. Golongan ini umumnya diisi oleh pegawai dengan pendidikan terendah, seperti lulusan SD atau SMP.
Bagi mereka yang berada di Golongan II, gaji yang diterima mulai dari Rp2.022.200 hingga Rp3.820.000. Golongan ini biasanya diisi oleh mereka yang memiliki pendidikan setingkat SMA atau D-III.
Sementara itu, untuk Golongan III, gaji berkisar antara Rp2.579.400 hingga Rp4.797.000. Golongan ini umumnya terdiri dari PNS dengan gelar S1 hingga S3.
3. Kepolisian
Sementara dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), setiap anggota mendapat upah berdasarkan golongannya pula. Selain itu, pembayaran gaji juga bervariasi tergantung pada pangkatnya.
Golongan atau pangkat terendah, yaitu Tamtama, terdiri atas beberapa tingkatan. Misalnya, untuk Bhayangkara Dua (Bharada), gaji berkisar antara Rp1.643.500 hingga Rp2.538.100. Sedangkan Bhayangkara Satu (Bharatu) menerima gaji antara Rp1.694.900 hingga Rp2.699.400.
Gaji untuk Bhayangkara Kepala (Bharaka) juga tidak jauh berbeda, yakni Rp1.747.900 hingga Rp2.699.400. Ajun Brigadir Polisi Dua (Abripda) memiliki gaji mulai dari Rp1.802.600 hingga Rp2.783.900, sementara Ajun Brigadir Polisi Satu (Abriptu) menerima gaji antara Rp1.858.900 hingga Rp2.870.900.
Golongan kedua dalam struktur kepangkatan kepolisian, yaitu Bintara, juga memiliki struktur gaji yang berbeda. Misalnya, untuk Brigadir Polisi Dua (Bripda), gaji berkisar antara Rp2.103.700 hingga Rp3.457.100. Brigadir Polisi Satu (Briptu) menerima gaji dari Rp2.169.500 hingga Rp3.565.200, dan Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda)mendapatkan gaji mulai dari Rp2.379.500 hingga Rp3.910.300. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.