Logo
>

Mati Suri Industri Tekstil RI: Akankah IEU-CEPA Menyelamatkan?

Ditulis oleh Yunila Wati
Mati Suri Industri Tekstil RI: Akankah IEU-CEPA Menyelamatkan?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia tengah menghadapi tantangan berat yang semakin memperburuk kondisi pabrik-pabrik lokal. Di tengah maraknya produk impor ilegal, banyak pabrik TPT yang terpaksa tutup dan menyebabkan lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini.

    Baru-baru ini, PT Pandanarum Kenanga Textile (Panamtex) asal Pekalongan, Jawa Tengah, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, 12 September 2024. Permohonan pailit ini diajukan oleh mantan pekerja Panamtex yang belum menerima hak-hak mereka.

    Sebelumnya, PT Sampangan Duta Panca Sakti Tekstil (Dupantex) juga menghentikan operasinya sejak 6 Juni 2024 dan masih berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara.

    Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat bahwa sebanyak 46.240 pekerja terkena PHK antara Januari hingga Agustus 2024, dengan mayoritas berasal dari sektor TPT. Angka ini berpotensi bertambah, mengingat banyak perusahaan yang tidak melaporkan PHK, terutama di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    Keterpurukan yang Berkelanjutan

    Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menegaskan bahwa tren penutupan pabrik akan terus terjadi jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas untuk menutup celah impor TPT ilegal. Ia mengungkapkan bahwa utilisasi industri TPT secara nasional saat ini hanya tinggal 40 persen.

    Kinerja Satgas Anti Impor Ilegal juga mendapat sorotan tajam. APSyFI menyatakan bahwa Satgas tersebut dinilai tidak efektif karena hanya memiliki kewenangan dalam penindakan di pasar. Sementara itu, pintu masuk impor ilegal berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Redma mengkritik bahwa hingga saat ini, tidak ada upaya dari Bea Cukai untuk memperbaiki situasi ini.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, juga menyoroti kekhawatiran terhadap Satgas yang terkesan hanya bersifat seremonial tanpa adanya tindakan nyata terhadap pelaku impor ilegal. Ia mengungkapkan bahwa meskipun ada sikap wait and see dari importir ilegal, mereka masih melanjutkan praktiknya karena kurangnya penegakan hukum yang serius.

    Prospek yang Suram

    Dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil dan daya beli masyarakat yang melemah, prospek industri TPT diperkirakan masih akan suram hingga akhir tahun. Redma menambahkan bahwa meskipun terdapat momentum libur Natal dan Tahun Baru, permintaan tidak akan signifikan, dan produk lokal kemungkinan akan tergerus oleh barang-barang impor.

    Dalam konteks ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) untuk meningkatkan permintaan pasar dan mengatasi masalah PHK massal di sektor TPT. Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani, mengungkapkan bahwa IEU-CEPA diperlukan untuk memperbaiki posisi kompetitif produk TPT Indonesia di pasar global.

    Tanpa langkah tegas dari pemerintah dan penegakan hukum yang efektif terhadap impor ilegal, masa depan industri tekstil Indonesia akan semakin gelap, dan dampaknya akan dirasakan oleh ribuan pekerja serta ekonomi nasional secara keseluruhan.

    "Demand pasar itu menurun, dan ini di luar isu impor ilegal di dalam negeri yang juga harus diperhatikan. IEU-CEPA diharapkan dapat meningkatkan permintaan pasar yang ada di UE," jelas Shinta di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat, 27 September 2024.

    Kelemahan Kompetitif Indonesia

    Indonesia menghadapi tantangan berat dalam bersaing dengan negara-negara lain yang sudah memiliki perjanjian dagang dengan UE. Vietnam, misalnya, yang telah memanfaatkan EU-Vietnam Free Trade Agreement (EU-VTA) sejak 1 Agustus 2020, berhasil meningkatkan ekspornya sebesar 14,17 persen pada tahun 2022. Sementara itu, Indonesia, tanpa perjanjian serupa, berpotensi kehilangan pangsa pasar yang signifikan.

    Shinta mengungkapkan, "Perjanjian dagang itu berhasil meningkatkan demand pasar yang ada. Sementara industri TPT Indonesia bersaing dengan banyak negara, seperti Vietnam, Bangladesh, dan Ethiopia, yang juga tengah mengupayakan perjanjian dagang dengan Uni Eropa."

    Tanpa IEU-CEPA, Indonesia berisiko kehilangan surplus perdagangan dengan UE. Shinta memperkirakan, nilai ekspor Indonesia bisa tergerus hingga USD1,6 miliar per tahun, yang setara dengan 12 persen dari total nilai ekspor ke UE.

    "Kita perlu menyelesaikan perjanjian ini untuk mencegah kerugian yang lebih besar," tegasnya.

    Tantangan dalam Proses Perundingan

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengakui bahwa proses penyelesaian IEU-CEPA menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah perubahan jajaran pejabat di lingkup UE yang mengakibatkan perubahan persyaratan bagi Indonesia. Tiga isu utama yang masih menjadi perdebatan adalah pelonggaran kebijakan impor produk UE, pembatasan ekspor melalui pengenaan bea keluar, dan perpajakan digital.

    Airlangga menambahkan, "Kita minta menunggu WTO untuk isu perpajakan digital, tetapi UE tidak mau."

    Proses perundingan yang alot ini menjadi penghalang bagi Indonesia untuk segera meraih manfaat dari perjanjian dagang ini.

    Dengan penurunan permintaan pasar yang signifikan dan meningkatnya persaingan dari negara lain, penyelesaian IEU-CEPA menjadi sangat krusial bagi industri tekstil Indonesia. Perjanjian ini tidak hanya diharapkan dapat meningkatkan permintaan produk TPT Indonesia di pasar Uni Eropa, tetapi juga untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan menjaga keberlanjutan industri dalam negeri.

    Sebagai salah satu sektor yang memiliki potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi, dukungan pemerintah dalam menyelesaikan IEU-CEPA menjadi langkah penting untuk meraih peluang pasar yang lebih luas dan berkelanjutan.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79