KABARBURSA.COM - Kalau bicara bantuan luar negeri, orang sering kali membayangkan program kemanusiaan seperti pengiriman makanan ke daerah konflik atau pembangunan rumah sakit lapangan. Tapi, dalam praktiknya, duit bantuan dari Amerika Serikat (AS) juga banyak dialirkan buat memperkuat militer negara sekutu, membantu transisi energi bersih, sampai menekan produksi opioid yang bisa nyasar ke pasar AS.
Namun, Presiden Donald Trump punya kebijakan sendiri. Dia menginstruksikan pembekuan sebagian besar anggaran bantuan luar negeri selama 90 hari. Baru pada 28 Januari, Menteri Luar Negeri Marco Rubio meneken pengecualian buat bantuan kemanusiaan darurat, biar proyek seperti rumah sakit lapangan di zona perang bisa tetap jalan. Pejabat pemerintah menyatakan mereka bakal meninjau ulang apakah bantuan AS masih sejalan dengan visi America First alias kepentingan dalam negeri harus diutamakan.
[caption id="attachment_119150" align="alignnone" width="1179"] Grafik menunjukkan bagaimana dana bantuan luar negeri Amerika Serikat (USAID) dialokasikan berdasarkan sektor pada tahun 2023. Pengembangan ekonomi menjadi sektor yang paling banyak menerima pendanaan, yakni USD20,06 miliar, diikuti oleh bantuan kemanusiaan sebesar USD14,43 miliar. Sektor keamanan dan perdamaian mendapatkan alokasi USD10,74 miliar, sementara bidang kesehatan menerima USD9,85 miliar. Selain itu, ada juga dana untuk program dukungan, lingkungan, pendidikan, serta demokrasi dan hak asasi manusia, meski dengan nominal yang jauh lebih kecil. Sumber: U.S. Government via Wall Street Journal.[/caption]
AS Paling Royal, tapi Tidak Paling Dermawan
Pada 2023, AS menghabiskan hampir USD65 miliar (sekitar Rp1.040 triliun) untuk bantuan luar negeri. Secara nominal, angka itu paling besar dibanding negara-negara kaya lain dalam kelompok Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tapi, kalau dilihat dari porsi terhadap ukuran ekonomi, AS malah kalah dari Jepang, Inggris, dan Prancis.
[caption id="attachment_119154" align="alignnone" width="1179"] Grafik menunjukkan daftar negara dengan alokasi dana bantuan luar negeri terbesar pada 2023 serta persentasenya terhadap pendapatan nasional masing-masing. Amerika Serikat menjadi donor terbesar dengan total USD64,69 miliar, namun kontribusinya hanya 0,24 persen dari pendapatan nasional. Di sisi lain, Jerman menyalurkan USD37,90 miliar, tetapi dengan komitmen yang jauh lebih besar, yakni 0,82 persen dari pendapatan nasionalnya. Negara-negara lain seperti Jepang (USD19,60 miliar), Inggris (USD19,07 miliar), dan Prancis (USD15,05 miliar) juga menjadi penyumbang utama. Meski dalam nominal lebih kecil, negara-negara Skandinavia seperti Swedia (0,93 persen) dan Norwegia (1,09 persen). Sumber: Organization for Economic Cooperation and Development/One Campaign/Wall Street Journal.[/caption]
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Senin, 10 Februari 2024, sebagian besar bantuan ini dikelola oleh U.S. Agency for International Development (USAID), badan yang sudah berdiri sejak era Presiden John F. Kennedy tahun 1961. Tapi, keputusan pemerintahan Trump buat menyetop USAID bikin banyak pertanyaan muncul: siapa yang bakal mengawasi program-program yang boleh lanjut setelah masa pembekuan 90 hari ini selesai?
Di luar USAID, sebagian bantuan juga datang dari Departemen Luar Negeri yang menyalurkan dana untuk sanitasi, klinik pengungsi, dan bantuan militer. Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat AS (HHS) bertugas buat memonitor dan menekan penyebaran penyakit berbahaya seperti Ebola di luar negeri. Sementara Departemen Keuangan AS mengucurkan dana ke lembaga keuangan global seperti Bank Dunia serta memberikan bantuan teknis ke kementerian keuangan negara berkembang buat mencegah krisis utang.
[caption id="attachment_119157" align="alignnone" width="1179"] Grafik menunjukkan lembaga-lembaga pemerintah AA yang menyalurkan bantuan luar negeri sepanjang 2023. USAID menjadi lembaga dengan alokasi terbesar, yakni USD42,45 miliar, disusul oleh Departemen Luar Negeri (State Department) dengan USD18,89 miliar. Selain itu, beberapa instansi lain juga ikut berkontribusi dalam pendistribusian dana bantuan, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil. Departemen Keuangan (Treasury Department) mengalokasikan USD2,18 miliar, sementara Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (Health and Human Services Department) menyalurkan USD1,9 miliar. Lembaga-lembaga lain seperti Millennium Challenge Corporation (USD0,77 miliar), Peace Corps (USD0,46 miliar), dan Departemen Pertanian (USD0,45 miliar). Sumber: U.S. Government via Wall Street Journal.[/caption]
Ke Mana Saja Bantuan AS Mengalir?
Sebagian besar bantuan AS didistribusikan lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga multilateral, serta organisasi nonprofit seperti Mercy Corps, CARE, atau International Rescue Committee yang kemudian menyalurkan dana ke organisasi lokal di berbagai negara.
Tapi, jumlah bantuan yang diterima suatu negara bukan cuma soal kebutuhan. Faktor kepentingan strategis juga berperan besar. Negara-negara miskin yang tengah dilanda krisis kemanusiaan akibat konflik, seperti Sudan, Ethiopia, atau Republik Demokratik Kongo, memang jadi sasaran utama. Tapi, realitasnya, alokasi dana juga ditentukan oleh seberapa besar kepentingan nasional AS di negara tersebut—entah itu terkait keamanan nasional, geopolitik, atau kepentingan ekonomi.
[caption id="attachment_119159" align="alignnone" width="1179"] Grafik menunjukkan distribusi bantuan luar negeri AS pada 2023. Sebanyak 46 persen dana dialokasikan ke lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Program Pangan Dunia (World Food Program). Sekitar 31 persen disalurkan melalui perusahaan dan lembaga nonprofit Amerika, sementara 11 persen diberikan langsung kepada pemerintah dan organisasi asing. Sisanya digunakan untuk biaya administratif pemerintah AS dan program khusus lainnya. Sumber: Center for Global Development via Wall Street Journal.[/caption]
Bantuan AS Paling Deras ke Ukraina, Israel Tetap Prioritas
Sampai sebelum Rusia menginvasi Ukraina secara besar-besaran, Israel—negara berpendapatan tinggi—selalu menjadi penerima bantuan terbesar dari AS selama bertahun-tahun. Namun, setelah Ukraina terseret perang, Israel turun ke posisi kedua dalam anggaran AS tahun fiskal 2024. Yordania dan Mesir, dua sekutu utama AS di Timur Tengah, juga masuk lima besar penerima bantuan terbanyak.
Sejak 2022, Ukraina mendapat kucuran dana jauh lebih besar dibanding negara mana pun, bahkan jika bantuan militer dikeluarkan dari hitungan. Sementara itu, alokasi bantuan ke negara-negara Afrika dan proporsi dana yang diberikan ke negara berpenghasilan rendah justru menurun dalam satu dekade terakhir.
[caption id="attachment_119162" align="alignnone" width="1179"] Peta ini menggambarkan distribusi bantuan luar negeri AS pada 2023. Ukraina menjadi penerima terbesar dengan total USD17,2 miliar, diikuti oleh Israel yang menerima USD3,3 miliar. Warna biru pada peta menunjukkan besaran bantuan yang diterima masing-masing negara dengan intensitas warna semakin gelap mencerminkan jumlah yang lebih besar. Sumber: U.S. Government via WSJ.[/caption]
Dampak Bantuan AS di Dunia Nyata
Salah satu contoh paling nyata bagaimana bantuan AS menyelamatkan nyawa adalah President’s Emergency Plan for AIDS Relief (Pepfar). Program yang diluncurkan Presiden George W. Bush pada 2003 ini diklaim telah menyelamatkan sekitar 26 juta jiwa, mayoritas di negara-negara Afrika. Berkat ketersediaan obat antiretroviral yang didanai AS, HIV bukan lagi vonis mati, melainkan penyakit kronis yang bisa dikelola.
Menurut perkiraan UNAIDS (Program PBB untuk HIV/AIDS), jika terus berjalan hingga akhir dekade ini, Pepfar akan mencegah 5,2 juta kematian perihal AIDS dan 6,4 juta infeksi baru. Sebaliknya, jika program ini dihentikan, sekitar 460 ribu anak akan meninggal akibat HIV hingga 2030, sementara 2,8 juta anak lainnya akan kehilangan orang tua karena AIDS.
[caption id="attachment_119167" align="alignnone" width="954"] Grafik ini menunjukkan penurunan signifikan jumlah anak yang menjadi yatim akibat AIDS serta angka kematian anak akibat penyakit tersebut sejak program President’s Emergency Plan for AIDS Relief (Pepfar) mulai diterapkan pada 2003. Setelah mencapai puncaknya di awal 2000-an, kasus baru dan kematian akibat AIDS terus menurun secara drastis hingga 2020-an. Sumber: Joint United Nations Program on HIV/AIDS, Oxford University/WSJ.[/caption]
Di sektor kesehatan lain, bantuan AS juga membawa perubahan signifikan. Pendanaan untuk vaksin, nutrisi, dan pencegahan malaria terbukti menurunkan angka kematian anak di bawah lima tahun di negara berkembang. Studi tahun 2022 yang dipublikasikan di Population Health Metrics menemukan di negara-negara yang menerima pendanaan USAID di atas rata-rata, angka kematian bayi turun 29 kasus per 1.000 kelahiran hidup.
Gagal di Tempat Lain
Namun, tidak semua program bantuan AS berjalan mulus. Dalam beberapa tahun terakhir, USAID dan Departemen Luar Negeri menghabiskan puluhan juta dolar buat melatih militer lokal dan mendukung pemerintahan yang baik di Niger, Mali, dan Burkina Faso—tiga negara di kawasan Sahel, Afrika. Hasilnya? Kudeta menggulingkan pemimpin-pemimpin terpilih dan para junta militer yang baru mengusir pasukan AS untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Rusia.
Di satu sisi, bantuan luar negeri AS memang bisa menyelamatkan nyawa, tapi di sisi lain, ada tempat-tempat di mana uang miliaran dolar itu gagal menciptakan stabilitas yang diharapkan.
Bantuan USAID ke Indonesia
Sejak awal 2000-an, USAID telah menjadi salah satu penyokong utama program pembangunan di Indonesia. Mereka mengalirkan dana untuk berbagai sektor, mulai dari kesehatan hingga bantuan bencana. Berdasarkan data Goodstats, dukungan finansial dari lembaga ini tidak pernah kurang dari USD100 juta (sekitar Rp1,6 triliun) per tahun. Ini menandakan hubungan erat antara Jakarta dan Washington dalam kerja sama pembangunan.
[caption id="attachment_119171" align="alignnone" width="1179"] Perkembangan bantuan dana USAID ke Indonesia 2001-2024. Sumber: ForeignAssistance.gov via GoodStats.[/caption]
Pada 2024, Indonesia menerima USD153,5 juta (sekitar Rp2,45 triliun) dari USAID, sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai USD151,6 juta. Rekor tertinggi terjadi pada 2011, ketika dana bantuan USAID mencapai USD279,4 juta (sekitar Rp4,47 triliun)—melonjak 45,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka-angka ini menunjukkan pentingnya peran USAID dalam mendukung berbagai program di Indonesia, terutama di bidang kesehatan.
Salah satu sektor yang paling terdampak dari adanya bantuan ini adalah penanganan HIV dan TBC, dua penyakit yang masih menjadi ancaman kesehatan serius di Indonesia setelah pandemi Covid-19 mereda. Program-program yang didanai USAID membantu deteksi dini, pengobatan, dan penyuluhan kesehatan untuk menekan angka kematian akibat penyakit menular ini.
Jika dibandingkan dengan negara penerima bantuan USAID lainnya, Indonesia masih berada di posisi yang jauh lebih rendah. Pada 2023, penerima bantuan terbesar dari USAID adalah Ukraina, yang mendapat USD16 triliun (sekitar Rp256 triliun), disusul oleh Ethiopia (USD1,7 triliun atau sekitar Rp27 triliun) dan Yordania (USD1,2 triliun atau sekitar Rp19,2 triliun). Indonesia tidak masuk dalam daftar penerima prioritas utama karena USAID cenderung mengalokasikan dana lebih besar untuk negara yang sedang menghadapi konflik berskala besar.
[caption id="attachment_119172" align="alignnone" width="1179"] Bantuan USAID untuk Indonesia dibagi ke dalam 2 kategori, yakni biaya bantuan dan biaya operasional. Sumber: ForeignAssistance.gov via GoodStats[/caption]
Namun, meskipun nilai bantuannya lebih kecil, dana dari USAID tetap menjadi andalan bagi banyak program di dalam negeri. Pada 2024, dari total USD153,3 juta yang digelontorkan, sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan (development assistance), yakni sebesar USD66,7 juta (sekitar Rp1,07 triliun). Selebihnya, USD10,3 juta (sekitar Rp165 miliar) digunakan untuk mendukung sektor ekonomi, sementara USD6,9 juta (sekitar Rp110 miliar) dialokasikan untuk bantuan bencana internasional.
Selain dana bantuan langsung, USAID juga mengeluarkan USD11,8 juta (sekitar Rp189 miliar) untuk biaya operasional, termasuk gaji pekerja USAID di Indonesia yang bukan warga negara Amerika Serikat.
Meski bantuan USAID untuk Indonesia tidak sebesar yang diterima negara-negara lain, perannya tetap krusial dalam mendukung berbagai program sosial dan pembangunan. Jika ke depan terjadi pemangkasan atau bahkan pembekuan dana, dampaknya bisa langsung terasa, khususnya di sektor kesehatan dan pembangunan ekonomi masyarakat miskin.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.