Logo
>

Menanti Keberuntungan Pengetatan Kebijakan Moneter, Akankah Tokyo Bangkit?

Ditulis oleh Yunila Wati
Menanti Keberuntungan Pengetatan Kebijakan Moneter, Akankah Tokyo Bangkit?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Minggu lalu, pasar saham Tokyo mengalami gejolak yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dialog antara Bank Jepang dan pasar keuangan memicu turbulensi yang menyisakan banyak pertanyaan.

    Pada 5 Agustus kemarin, Indeks acuan Nikkei 225 anjlok sebesar 4.451 poin, ditutup di level 31.458. Penurunan ini bahkan melampaui kejatuhan pasar saham pada Black Monday, 20 Oktober 1987. Namun, keesokan harinya, Nikkei mencatatkan kenaikan besar, naik 3.217 poin dan ditutup di level 34.675, menjadikannya rekor kenaikan tertinggi dari satu penutupan ke penutupan berikutnya.

    Sejak awal tahun, Nikkei menunjukkan tanda-tanda overheating dan diperkirakan akan memasuki fase penyesuaian. Pada musim semi 2023, Bursa Efek Tokyo menyoroti pentingnya rasio harga terhadap nilai buku sebagai indikator apakah suatu saham dinilai terlalu tinggi atau rendah. Kebijakan ini mengharuskan perusahaan untuk membuat rencana perbaikan, guna meningkatkan vitalitas pasar.

    Selain itu, pada 2024, perluasan program Rekening Tabungan Perorangan Nippon (NISA) yang membebaskan pajak dari pendapatan investasi kecil, menarik banyak investor individu baru, memberikan dampak positif pada pasar saham Jepang.

    Nikkei memulai tahun ini di kisaran 33.000 poin dan terus naik. Pada 22 Februari, indeks mencapai titik tertinggi sepanjang masa di 39.098, melampaui rekor sebelumnya dari era gelembung pada 29 Desember 1989. Indeks ini terus mencatatkan rekor baru hingga mencapai puncaknya di 42.224 pada 11 Juli 2024.

    Pasar Saham New York Overheating

    Pasar saham New York juga menunjukkan tanda-tanda overheating. Pada 17 Juli, Dow Jones Industrial Average mencatatkan penutupan tertinggi sepanjang masa di level 41.198.

    Beberapa faktor berkontribusi terhadap overheating pasar saham. Federal Reserve menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5,25 persen - 5,50 persen, namun ekonomi AS tetap kuat tanpa tanda-tanda pelambatan yang signifikan. Investor optimis bahwa pasar saham akan terus naik, didorong oleh perkembangan pesat AI generatif dan semikonduktor.

    Bagi investor asing, pelemahan yen membuat saham Jepang terlihat menguntungkan, sehingga arus dana mengalir deras ke pasar saham Jepang.

    Namun, kondisi yang terlihat terlalu menguntungkan ini akhirnya menimbulkan skeptisisme, yang memicu penurunan harga saham secara besar-besaran. Laporan ketenagakerjaan AS yang dirilis pada 2 Agustus 2024 jauh di bawah ekspektasi pasar, memunculkan kekhawatiran akan resesi. Selain itu, ekspektasi pertumbuhan AI mulai dianggap berlebihan.

    Kebijakan moneter Bank Jepang juga memainkan peran penting dalam penurunan pasar saham global. Pada 31 Juli 2024, Bank Jepang menaikkan suku bunga kebijakannya dari kisaran 0,0 persen - 0,1 persen menjadi 0,25 persen. Gubernur Kazuo Ueda menjelaskan pendekatan agresifnya terhadap pengetatan kebijakan moneter pada konferensi pers, menyebabkan yen yang sempat melemah di bawah 160 Yen terhadap dolar AS melonjak ke level 141 Yen.

    Orientasi Ekspor jadi Biang Kerok

    Melemahnya yen selama ini telah memberikan dorongan signifikan bagi perusahaan-perusahaan Jepang yang berorientasi ekspor, karena yen yang lemah membuat produk Jepang lebih kompetitif di pasar internasional. Namun, dengan yen yang kini berbalik menguat, ada kekhawatiran di kalangan investor bahwa kinerja perusahaan-perusahaan ini akan memburuk, terutama karena penguatan yen dapat mengurangi pendapatan yang dihasilkan dari luar negeri ketika dikonversi ke dalam mata uang domestik.

    Ekonomi Jepang saat ini berada pada titik krusial, mencoba melepaskan diri dari mentalitas deflasi dan kebijakan pemotongan biaya yang telah mendominasi selama tiga dekade terakhir. Salah satu tantangan utama adalah transisi dari "ekonomi pemotongan biaya" ke "ekonomi pertumbuhan."

    Dalam ekonomi pemotongan biaya, perusahaan berfokus pada efisiensi dan penghematan, menjaga biaya tenaga kerja tetap rendah, dan menghindari kenaikan harga. Namun, untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, Jepang perlu mengadopsi strategi yang meningkatkan nilai tambah produk dan mendorong investasi pada tenaga kerja serta teknologi.

    Bank of Japan (BOJ) memainkan peran penting dalam mengarahkan kebijakan moneter menuju normalisasi, yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi Jepang saat ini. BOJ telah memulai proses ini dengan mencabut kebijakan suku bunga negatif pada bulan Maret, dan menaikkan suku bunga menjadi 0,25 persen pada Juli. Langkah ini, meskipun mengejutkan pasar keuangan, mencerminkan niat BOJ untuk memasuki era "dunia dengan suku bunga" setelah bertahun-tahun beroperasi dalam lingkungan suku bunga nol atau negatif.

    Keputusan BOJ untuk mempercepat kenaikan suku bunga dari ekspektasi pasar keuangan pada Juli diambil dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk jadwal politik dan keadaan ekonomi. Namun, sikap agresif BOJ dalam pengetatan kebijakan ini telah memicu kepanikan di pasar keuangan, berbeda dengan reaksi yang lebih tenang saat kebijakan suku bunga negatif diakhiri pada Maret.

    Kritik terhadap yen yang terlalu lemah, yang dianggap sebagai penyebab inflasi dan harga tinggi, mungkin menjadi salah satu alasan mengapa BOJ menghindari pendekatan dovish dalam keputusan terakhirnya. Namun, keputusan ini menjadi bumerang, menciptakan ketidakstabilan di pasar.

    Wakil Gubernur BOJ, Shinichi Uchida, mencoba meredakan kekhawatiran ini dalam pidatonya pada 7 Agustus, dengan menyatakan bahwa BOJ tidak akan menaikkan suku bunga di tengah ketidakstabilan pasar, dan bahwa mereka akan melanjutkan pelonggaran moneter untuk sementara waktu.

    Ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat untuk menormalisasi kebijakan moneter, BOJ tetap berhati-hati dalam pelaksanaannya, menghindari tindakan yang dapat memperburuk kondisi pasar.

    Akankah Kali Ketiga Menjadi Keberuntungan?

    Di pasar keuangan, spekulasi berkembang tentang apakah Bank of Japan (BOJ) akan menaikkan suku bunga lebih lanjut sebelum akhir tahun ini. Dialog yang hati-hati antara BOJ dan pasar keuangan menjadi kunci dalam upaya untuk sepenuhnya keluar dari deflasi, mencapai target stabilitas harga sebesar 2 persen, dan membuka era baru bagi ekonomi Jepang.

    Jika BOJ memutuskan untuk melakukan kenaikan suku bunga tambahan, timing yang tepat akan sangat penting. Keputusan tersebut harus didasarkan pada analisis mendalam terhadap tren harga saat ini serta pelajaran dari pengalaman masa lalu. Ini termasuk mempertimbangkan dampak kebijakan moneter terhadap ekonomi domestik dan global, serta memantau reaksi pasar untuk memastikan bahwa perubahan kebijakan tidak menimbulkan volatilitas yang tidak diinginkan.

    Dengan pendekatan yang cermat dan berbasis data, BOJ dapat meningkatkan peluang untuk mencapai stabilitas harga dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79