Logo
>

Menelisik Rencana Setop Insentif EV: Sinyal Industrialisasi atau Rem Mendadak?

Berdasarkan perkiraan, emisi sektor transportasi Indonesia mencapai sekitar 150 MtCO2

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Menelisik Rencana Setop Insentif EV: Sinyal Industrialisasi atau Rem Mendadak?
Ilustrasi Kendaraan Listrik di Jalan. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai rencana pemerintah menghentikan insentif mobil listrik pada 2026 perlu dibaca dalam konteks industrialisasi, namun pelaksanaannya harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menghambat penurunan emisi sektor transportasi.

    Ia menegaskan bahwa sektor transportasi merupakan penyumbang emisi yang signifikan. Berdasarkan perkiraan, emisi sektor transportasi Indonesia mencapai sekitar 150 MtCO2, dengan sekitar 90 persen berasal dari transportasi jalan.

    “Artinya, jalan raya adalah ‘cerobong’ bergerak, dan kebijakan fiskal hari ini ikut menentukan seberapa cepat kita menutup cerobong itu besok,” ujar Achmad dalam keterangannya, Selasa 23 Desember 2025

    Menurutnya, insentif mobil listrik selama ini berperan penting dalam memperkecil selisih harga antara kendaraan listrik dan kendaraan konvensional, sekaligus menjadi sinyal bagi merek global untuk menanamkan investasi di Indonesia. Namun, pemerintah juga memiliki kepentingan untuk memastikan Indonesia tidak berhenti hanya sebagai pasar impor.

    “Oleh karena itu, penghentian insentif mobil listrik pada 2026 dapat dibaca sebagai pesan: lokalisasi harus dipercepat, bukan ditunda,” katanya.

    Achmad mengingatkan bahwa kebijakan ini menyentuh tiga isu utama sekaligus, yakni tujuan industrialisasi, risiko penurunan minat beli kendaraan listrik, serta dampaknya terhadap target penurunan emisi.

    “Menghentikan insentif mobil listrik bisa tepat sebagai sinyal industrialisasi, tetapi cara menghentikannya menentukan apakah kita menang dua tujuan sekaligus atau justru kehilangan keduanya,” ujarnya.

    Ia menilai pasar kendaraan listrik di Indonesia saat ini sedang tumbuh, namun masih berada pada fase yang rentan. Data GAIKINDO menunjukkan penjualan wholesales kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) pada Januari–April 2025 mencapai 23,9 ribu unit, naik 211 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

    Meski demikian, ia menilai kepercayaan pasar belum sepenuhnya kokoh. Menurutnya, pencabutan insentif secara mendadak berisiko mengguncang konsumen sekaligus rantai pasok industri.

    “Jika roda bantu dicopot mendadak, bukan hanya konsumen yang goyah. Rantai pasok ikut ragu,” ujarnya.

    Achmad juga menilai penghentian insentif berpotensi menekan minat beli, terutama pada segmen yang sensitif terhadap harga dan masih bergantung pada kendaraan impor.

    “Begitu fasilitas yang meringankan biaya berakhir, harga bisa naik dan pilihan kendaraan dapat menyempit, setidaknya pada fase awal 2026,” katanya.

    Menurutnya, dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan konsumen, tetapi juga industri dan agenda lingkungan. Penurunan adopsi kendaraan listrik berisiko memperlambat penurunan emisi, mengingat dominasi emisi berasal dari transportasi jalan.

    Di sisi lain, Achmad mengingatkan bahwa insentif pembelian mobil juga kerap lebih banyak dinikmati kelompok berdaya beli tinggi.

    “Di sinilah negara harus hati hati agar agenda iklim tidak terlihat sebagai subsidi untuk kelompok tertentu,” ujarnya.

    Terkait wacana pengalihan insentif ke program mobil nasional, Achmad menilai arah kebijakan tersebut masuk akal jika benar-benar berbasis kapasitas industri.

    “Mobil nasional tidak boleh berhenti pada label. Ia harus berbicara tentang platform, skala produksi, standar keselamatan, dan kemampuan bersaing tanpa proteksi permanen,” tegasnya.

    Ia menilai opsi paling rasional adalah tidak menghentikan insentif secara total dan serentak, melainkan melakukan penyesuaian bertahap.

    “Yang lebih rasional adalah mengakhiri karpet merah untuk impor, tetapi tetap mempertahankan insentif yang mendorong produksi lokal dan memperkuat ekosistem,” ujarnya.

    Achmad menekankan bahwa insentif seharusnya berbasis kinerja, bukan janji.

    “Insentif harus menjadi kontrak kinerja: makin tinggi kandungan lokal dan kontribusi investasi, makin kuat dukungan,” katanya.

    Ia menutup dengan menegaskan bahwa tanpa transisi yang selektif dan terukur, penghentian insentif justru berisiko menahan laju industri dan target lingkungan.

    “Tanpa transisi yang selektif dan terukur, risikonya adalah harga naik, minat beli melemah, ekosistem melambat, dan target emisi ikut tertahan,” pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.