KABARBURSA.COM – Pasar modal Amerika Serikat memberi peringatan tegas kemarin bahwa independensi bank sentral bukan sekadar simbol. Ia adalah fondasi stabilitas pasar. Kabar bahwa Presiden Donald Trump kembali mempertimbangkan untuk memecat Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, langsung mengguncang pasar.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor panjang melonjak, sementara nilai tukar dolar melemah. Investor mencium potensi memburuknya inflasi jika rezim baru di bank sentral menuruti keinginan Trump untuk memangkas suku bunga lebih dalam.
Di hadapan wartawan di Gedung Putih, Trump memang mengaku “sangat kecil kemungkinan” akan memecat Powell. Tapi ia menyelipkan sinyal keras, “Kecuali dia harus mundur karena penipuan.” Presiden juga menyinggung dugaan pemborosan dalam renovasi kantor-kantor milik The Fed, yang disebutnya terlalu mahal.
Ketegangan itu perlahan mereda sepanjang hari, namun pasar telah menyampaikan pesannya: jangan ganggu The Fed.
Sejarah mencatat, gesekan antara pemimpin negara dan gubernur bank sentral bukan hal baru. Pola umumnya serupa, yakni politisi ingin suku bunga rendah demi meringankan beban kredit rumah tangga dan dunia usaha, sementara bank sentral mengemban tugas menjaga stabilitas harga.
“Tekanan politik, apalagi dari seorang presiden, meningkatkan risiko terjadinya lonjakan inflasi yang tidak terkendali,” kata Mark Spindel, manajer investasi sekaligus penulis buku sejarah independensi The Fed, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, 17 Juli 2025.
Gagasan modern soal independensi The Fed berakar pada perjanjian tahun 1951 dengan Departemen Keuangan AS. Dalam kesepakatan itu, bank sentral diberi ruang lebih bebas untuk menentukan arah kebijakan moneter tanpa campur tangan pemerintah. Namun kenyataannya, tekanan politik tak pernah benar-benar absen.
Contohnya terjadi di era Presiden Lyndon B. Johnson pada 1960-an. Ia ngotot meminta Ketua The Fed saat itu, William McChesney Martin Jr., agar menahan suku bunga tetap rendah demi mendukung agenda belanja sosialnya.
Dalam satu pertemuan pada Oktober 1965, Johnson bahkan mengepalkan tangannya di hadapan Martin sambil berkata bahwa menaikkan suku bunga sama saja dengan “memeras darah buruh Amerika demi kepentingan Wall Street.” Kisah itu dicatat dalam memoar Paul Volcker, yang saat itu menjabat sebagai pejabat Kementerian Keuangan AS.
Ketika Martin tetap bersikeras menaikkan bunga dua bulan kemudian, ia tahu risikonya besar. Benar saja, beberapa hari setelah voting tersebut, ia dipanggil ke peternakan pribadi Johnson di Texas, dan di sana, sang presiden dilaporkan memarahinya habis-habisan.
Cerita yang tak kalah dramatis datang dari masa pemerintahan Richard Nixon. Ia menunjuk Arthur Burns sebagai Ketua The Fed pada 1970. Burns dikenal sebagai ekonom ulung dan pengendali inflasi. Tapi seiring waktu, menurut para sejarawan, ia justru terlalu berupaya menyenangkan Nixon.
Dalam makalah tahun 2006 di Journal of Economic Perspectives, para peneliti mengungkapkan bahwa rekaman percakapan Gedung Putih (“Nixon tapes”) membuktikan Presiden Nixon menekan Burns—baik secara langsung maupun melalui saluran lain—agar menjalankan kebijakan moneter ekspansif menjelang Pemilu 1972.
Akibatnya, inflasi melaju tak terkendali di akhir dekade 1970-an. Salah satu penyebabnya, menurut para ekonom, adalah kegagalan Burns menaikkan bunga sejak awal.
Kisah itu menjadi pelajaran mahal. Presiden berikutnya, Ronald Reagan, dan beberapa penerusnya, memilih menahan diri. Mereka enggan mengkritik The Fed secara terbuka.
Karena mereka tahu, terlalu dekat dengan bank sentral bukan hanya menciptakan masalah ekonomi. Tapi juga menciptakan ketidakpastian yang berbahaya bagi dunia usaha dan investor di seluruh dunia.(*)
 
      