KABARBURSA.COM - Perang dagang yang kembali digencarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di periode keduanya jadi tantangan besar buat negara-negara Asia. Padahal kawasan paling padat penduduk di dunia ini diharapkan jadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi global.
Sudah jadi rahasia umum kalau manufaktur ekspor dan perdagangan bebas selama puluhan tahun telah mentransformasi China dan negara-negara Asia lainnya jadi kekuatan ekonomi baru. Tapi serangan tarif bertubi-tubi dari Trump, yang katanya demi memaksa perusahaan tetap buka pabrik di AS, mulai merobek perjanjian dagang yang sudah dirintis susah payah.
Gedung Putih menyebut kenaikan tarif tak cuma didasarkan pada defisit dagang AS, tapi juga menyangkut pajak, kurs, subsidi pemerintah, hingga hambatan dagang non-tarif. Selain tarif baru yang diumumkan di momen yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan” (Liberation Day), AS juga bakal menerapkan tarif 25 persen untuk impor mobil dan suku cadangnya mulai Kamis ini.
Trump juga sudah menjatuhkan bea masuk ke China, Kanada, dan Meksiko; memperluas tarif baja dan aluminium; bahkan mengenakan tarif untuk negara-negara yang mengimpor minyak dari Venezuela. Target selanjutnya adalah obat-obatan, kayu, tembaga, dan chip komputer.
Kondisi ini bikin banyak pabrik mulai melirik negara lain di Asia Selatan dan Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin sebagai alternatif dari China. Tapi karena arah tarif Trump yang disebut-sebut “resiprokal” itu masih misterius, kebanyakan pengusaha memilih wait and see.
“Belum ada rumus pasti buat menghitung tarif resiprokal, jadi satu-satunya yang pasti sekarang cuma ketidakpastian,” kata Stephen Innes dari SPI Asset Management, dikutip dari AP di Jakarta, Minggu, 6 April 2025.
China
Meski perang dagang sudah dimulai sejak periode pertama Trump, defisit dagang AS terhadap China malah terus membengkak, mencapai USD295,4 miliar tahun lalu. China, sebagai ekonomi nomor dua dunia, mengandalkan ekspor buat nutup lemahnya permintaan domestik.
Ekspor mobil—terutama kendaraan listrik—dan baterai jadi andalan utama. Tapi tarif 27,5 persen untuk ekspor mobil dan bea masuk 102,5 persen untuk kendaraan listrik bikin pasar AS nyaris tertutup buat pabrikan China. Negeri Tirai Bambu ini adalah pemasok suku cadang otomotif terbesar kedua untuk AS setelah Meksiko.
Saat Trump pertama kali menaikkan tarif, Presiden Xi Jinping mendorong peralihan ke produksi teknologi tinggi. Strategi ini kemungkinan besar akan berlanjut seiring tekanan AS yang makin intens. Imbasnya? Banyak pabrik yang terpaksa efisiensi, dan pemutusan hubungan kerja pun tak terhindarkan.
Sebagai respons atas putaran baru tarif Trump—yang total menambah beban sekitar 20 persen—Beijing juga menaikkan tarif impor produk-produk pertanian asal AS, memperluas pengendalian ekspor, terutama untuk mineral strategis bagi industri teknologi tinggi. Impor gas alam cair (LNG) dari AS ke China juga sudah anjlok dan bakal turun lagi setelah China mengenakan tarif 15 persen untuk komoditas tersebut.
China sendiri telah memberi membalas tanpa ampun. Pemerintah Xi Jinping memberlakukan tarif 34 persen untuk semua barang dari AS mulai 10 April 2025. Tak cukup sampai di situ, lebih dari dua lusin perusahaan AS dibatasi aktivitas ekspornya oleh Beijing. Perusahaan-perusahaan seperti Skydio, Insitu (anak usaha Boeing), hingga DuPont jadi target investigasi dan larangan beroperasi.
Jepang
Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, mengaku masih berupaya keras agar AS tidak memasukkan negaranya ke dalam daftar tarif otomotif. Pasalnya, sekitar 20 persen ekspor Jepang mengalir ke AS, termasuk 1,5 juta unit mobil penumpang per tahun.
Meski pabrikan seperti Toyota, Honda, dan Nissan sudah banyak bangun pabrik di AS dan Meksiko, sektor otomotif masih krusial di Jepang. Ada sekitar 5,6 juta orang yang menggantungkan hidup dari industri otomotif menurut data Asosiasi Produsen Mobil Jepang.
Ekspor elektronik, mesin, bahan kimia, dan baja Jepang juga bisa jadi sasaran berikutnya. Survei bank sentral Jepang yang dirilis Senin lalu menunjukkan sentimen bisnis produsen besar memburuk untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir. Indeks Nikkei 225 juga ambles lebih dari 10 persen dalam tiga bulan terakhir, sementara saham Toyota turun sampai 27 persen.
Taiwan
Lebih dari enam puluh persen perekonomian Taiwan—wilayah dengan pemerintahan sendiri—ditopang oleh ekspor. Tahun lalu saja, Taiwan mencatatkan surplus perdagangan hampir USD74 miliar terhadap Amerika Serikat. Salah satu penopangnya adalah industri semikonduktor, khususnya pengapalan chip komputer, disusul ekspor perangkat komputer, mesin kantor, dan produk-produk konsumen lainnya.
Raksasa teknologi Taiwan, TSMC, bahkan memperluas jejak industrinya di Amerika. Perusahaan ini tengah membangun fasilitas baru di Arizona, tergiur oleh insentif pemerintah AS dan kepentingan strategis untuk mendekatkan produksi ke pasar utama. CEO TSMC, CC Wei, pada awal Maret 2025, menjanjikan komitmen investasi baru senilai USD100 miliar di Amerika Serikat.
Korea Selatan
Negeri Ginseng juga punya surplus perdagangan besar dengan Amerika, mencapai USD66 miliar tahun lalu. Komoditas andalannya tak jauh dari otomotif, elektronik, hingga chip komputer. Untuk menghindari ketegangan dagang, pemerintah Korea Selatan berupaya membuka jalan baru, termasuk kemungkinan meningkatkan investasi sektor mobil, baja, dan semikonduktor langsung di dalam negeri AS.
Patrick Cronin dari Hudson Institute menyebut, Korea Selatan juga tengah mempertimbangkan revisi Perjanjian Perdagangan Bebas Korea-AS agar lebih seimbang. Tak cuma itu, sejumlah analis di RaboBank melihat peluang bagi Korea untuk meningkatkan impor LNG dari AS sebagai cara lain menyeimbangkan neraca dagang. Pasalnya, Korea Selatan termasuk salah satu importir gas alam cair terbesar di kawasan Asia.
Vietnam
Seperti sebagian besar tetangganya di Asia Tenggara, Vietnam meniru langkah Jepang, China, dan negara eksportir besar lainnya dalam menggantungkan pembangunan ekonominya pada perdagangan dan investasi asing. Tahun lalu, Vietnam mencatatkan surplus perdagangan terbesar ketiga terhadap Amerika Serikat—hanya kalah dari Meksiko dan China—dengan nilai mencapai USD123,5 miliar. Komoditas andalan mereka meliputi mesin, tekstil, dan alas kaki.
Lonjakan ekspor sebesar 14 persen berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Vietnam ke level yang mengesankan, yakni 7,1 persen secara tahunan pada 2024. Demi meredam tekanan dari Presiden Trump dan menurunkan surplus dagangnya, pemerintah Vietnam baru-baru ini mengumumkan pemangkasan tarif atas sejumlah komoditas asal AS seperti gas alam cair (LNG), mobil, etanol, dan produk pertanian tertentu.
Selain itu, Vietnam juga membuka pintu bagi Elon Musk. Pemerintah setempat sepakat memberi izin peluncuran layanan internet satelit Starlink untuk masa uji coba selama lima tahun. Langkah ini diyakini sebagai bagian dari strategi diplomatik Vietnam untuk menjaga hubungan dagang tetap adem dengan Washington.
India
Sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia, India mencatat surplus perdagangan hampir USD46 miliar terhadap Amerika Serikat sepanjang 2024, menurut data dari Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Produk ekspor utama Negeri Bollywood itu meliputi obat-obatan dan bahan kimia pembuatnya, serta mutiara, berlian, dan berbagai jenis batu mulia lainnya.
Ekspor menyumbang hampir seperempat dari Produk Domestik Bruto (PDB) India dan menjadi tumpuan mata pencaharian bagi jutaan penduduknya. Dari seluruh pasar luar negeri yang mereka jangkau, Amerika Serikat masih jadi pasar ekspor terbesar bagi India hingga hari ini.(*)
Menghitung Potensi Dampak Tarif Trump terhadap Ekonomi Asia
Negara-negara Asia mulai menyiapkan siasat menghadapi tarif Trump, dari ekspansi pabrik hingga pemangkasan tarif barang AS.
