KABARBURSA.COM - Susu sapi segar menjadi salah satu komoditas penting yang masuk ke dalam komponen program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Akan tetapi, produksi susu sapi segar dalam negeri saat ini tidak mencukupi kebutuhan program MBG.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), neraca susu nasional mencatat kebutuhan susu sapi segar sebesar 8,7 juta ton per tahun. Secara rinci, kebutuhan susu sapi segar dibagi menjadi dua, yakni kebutuhan reguler sebesar 4,6 juta ton dan program minum susu sebesar 4,1 juta ton.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi susu sapi dalam negeri mengalami penurunan. Pada 2021, BPS mencatat produksi susu sapi segar sebanyak 946.388 ton, kemudian menurun pada tahun 2022 sebesar 824.273 ton, dan tahun 2023 kembali meningkat kendati tidak signifikan, yakni 837.223.
Untuk menopang kebutuhan susu sapi segar, Kementan merencanakan impor sapi perah dari beberapa negara, Secara rinci, Kementan berencana mengimpor sapi perah dari Australia sebanyak 100 ribu ekor, New Zealand sebanyak 50 ribu ekor, Brazil 1,5 juta ekor, dan Amerika Serikat 500 ribu ekor.
Adapun untuk kebutuhan susu sapi segar reguler dibutuhkan sebanyak 0,9 juta ekor sapi perah laktasi. Sementara untuk kebutuhan program minum susu pra Sekolah Dasar (SD), SD dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), santri, dan ibu hamil membutuhkan 1,1 juta ekor sapi perah. Untuk siswa SD sendiri membutuhkan sekitar 300.000 ekor sapi. Adapun total anggaran yang dibutuhkan dalam rencana penambahan sapi perah impor sebesar Rp90 triliun.
Beberapa waktu lalu, Kementan menginisiasi MoU kerja sama investasi pengembangan 100 ribu ekor ternak sapi perah asal Brazil. Adapun ratusan ribu ekor sapi asal Brazil itu akan diproyeksikan untuk mendorong peningkatan produksi susu dalam negeri dengan nilai investasi yang diperkirakan sebesar Rp4,5 triliun.
Selain itu, Kementan juga sempat mengajak investor di sektor peternakan asal Vietnam di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Adapun investor asal Vietnam itu diproyeksikan untuk mendukung pengolahan industri susu di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus program minum susu gratis Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun, investasi perusahaan asal Vietnam itu ditargetkan memproduksi susu sapi segar sebesar 1,8 juta ton.
Kendati begitu, rencana mendatangkan sapi perah dari beberapa negara disambut skeptis oleh Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). Pasalnya, impor sapi perah dinilai terlalu besar secara populasi maupun dana.
“Kalau mendatangi 100 ribu untuk memenuhi kebutuhan sekian juta liter, kayaknya mustahil dalam tempo setahun-dua tahun, apalagi kan niatnya mendatangkan 1 juta ekor,” kata Dewan Pakar PPSKI, Rochadi Tawaf, kepada KabarBursa.com, Jumat, 27 September 2024.
Rochadi menuturkan, banyak yang perlu diperhatikan dalam mendorong investasi di sektor peternakan. Pasalnya, peternakan sapi membutuhkan high tech dengan mempertimbangkan aspek bisnis yang memuat lahan ternak, visible, acceptable, dan profitable.
Sementara peternakan dalam negeri sendiri, kata Rochadi, sejak bertahun-tahun lalu tidak menemukan titik terang pengembangan. Bahkan saat ini, lanjutnya, mengalami penyusutan. Dia menuturkan, pada zaman order baru kontribusi peternakan sapi perah bisa mencapai 50 persen terhadap kebutuhan nasional. Sementara saat ini, kontribusinya menyusut drastis hingga 18 persen.
Rochadi menuturkan, pemenuhan kebutuhan susu sapi segar nasional akan semakin terbebani dengan adanya program minum susu gratis. Sementara sektor yang mengandung unsur budaya di Indonesia hanya agrikultur.
“Jadi kalau misalnya sekarang gak ada lahan, lahan di mana? Budayanya gimana? Bisa dipelihara gak? Tapi kan sapi itu high tech, cepat rusak, pakannya nggak bisa sembarangan, perlu udara dingin, dan seterusnya banyak sekali kendala yang harus dihadapi,” jelasnya.
Sementara saat ini, Rochadi menyebut harga jual peternak sapi perah masih menjadi hal yang menghambat produksi. Padahal, harga susu sapi segara yang ideal secara otomatis bisa memacu para peternak menambah populasi ternaknya. Berdasarkan hasil risetnya harga susu yang sesuai dengan perhitungan untung dan rugi peternak menjadi salah satu penentu populasi sapi dalam negeri.
"Hasil riset saya, harga itu paling menentukan untuk meningkatkan populasi. Jadi kalau harga bagus, kondisinya ideal, kan peternak otomatis pelihara sapi," jelasnya.
Rochadi menilai, pemerintah perlu memperbaiki harga susu sapi segar saat ini. Diketahui, harga susu sapi di peternak saat ini sebesar Rp6.000 per liter. Dia menilai, ketetapan harga susu tersebut tidak membawa keuntungan bagi peternak.
Rochadi menilai, idealnya harga susu sapi segar sebesar Rp10.000 per liter. Dengan kondisi harga yang ideal tersebut, Rochadi menilai tidak hanya otomatis menambah populasi sapi perah, tetapi juga menekan harga impor susu lantaran peternak menambah jumlah ternaknya.
"(Harga) Pasaran pun sekarang di atas Rp10.000 per liter. Di peternak kan harga Rp6.000-Rp5.000 per liter. Nah ini rantai nilainya diperbaiki, rantai pasoknya diperbaiki," ungkapnya.
Rochadi juga menegaskan perlu kembali dikaji nilai filosofi dari program MBG yang memuat susu sapi segar. Jika hanya sebatas memberikan protein, dia menilai ada banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah ketimbang menambah populasi sapi perah. PPSKI sendiri menyarankan pemenuhan kebutuhan protein dari komoditas lainnya.
Dia menuturkan, kerbau juga bisa menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein dalam paket MBG. Selain memiliki kandungan protein yang tinggi, susu kerbau juga memiliki nilai budaya sebagaimana di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan.
Selain kerbau, Rochadi juga menyebut susu kambing juga memiliki kandungan protein yang sama tingginya dengan susu sapi segar. Begitu juga dengan susu ikan yang belakangan ramai menjadi diskursus. Dia menilai, difortifikasi protein dari kandungan hewani lain.
“Jadi menurut saya, kalau gak bisa disediakan oleh sapi yang begitu membutuhkan proses high-tech, jangka panjang, perlu lahan yang spesifik, teknologinya, pabrik susunya sendiri sudah rusak, ini perlu kita kembangkan,” ungkapnya.
Sementara untuk mendatangkan sapi perah dalam jumlah besar, Rochadi sendiri mengaku skeptis lantaran lahan pengembangan ternak terbatas disamping membutuhkan teknologi tingkat tinggi. “Jadi kalau pemerintah sekarang mengandalkan hanya susu sapi perah, impossible lah bisa dilakukan dalam tempo yang dekat,” tutupnya.
Pemerintah Diminta Realistis
Sementara Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, meminta pemerintah untuk lebih realistis dalam menetapkan target. Jika melihat data populasi sapi perah dalam negeri tahun 2022, peternakan didominasi oleh para industri kecil milik rakyat yang memiliki keterbatasan modal.
Terlebih, kata Eliza, Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki tantangan tersendiri bagi pengembangan peternakan sapi perah. Pasalnya, suhu di Indonesia relatif hangat jika dibandingkan dengan negara penyuplai susu sapi segar lainnya. Di musim kemarau, tutur Eliza, sistem metabolisme sapi banyak menghambat produksi susu.
“Apalagi jika sapi yang didatangkan itu dari negara subtropis, yang memiliki tingkat adaptasi yang kurang baik. belum lagi menyoal pakannya yang mana ini variasi pakannya belum banyak, masih banyak yang menggunakan rumput gajah dan konsentrat,” kata Eliza kepada KabarBursa.com, Jumat, 27 September 2024.
Eliza menuturkan, mestinya pemerintah Indonesia belajar dari negara tropis lainnya. Brazil misalnya, tutur dia, sebagai penyumbang 5 persen supply susu dunia. Proses Brazil membangun peternakan sapi tidak instan dengan langsung mengimpor sapi dari negara lain untuk dibudidayakan, tetapi melakukan rekayasa genetika, mengimplementasikan teknologi, dan dukungan manajemen peternakan yang baik.
“Misalnya saja Sapi Girolando yang dari Brazil itu merupakan persilangan dari sapi Zebu (Gyr) asal India dengan sapi Holstein asal Belanda. Jenis ini telah dikembangkan sejak tahun 1940-an dan berkontribusi terhadap 80 persen dari total produksi susu di Brasil,” jelasnya.
Di sisi lain, Eliza juga mengingatkan tantangan penyakit mulut dan kuku (PMK) yang turut menurunkan jumlah populasi sapi perah di Indonesia. Dia menilai, diperlukan manajemen yang baik dalam mengembangkan peternakan sapi perah, mulai dari desain kandang, pemilihan teknologi pemerahan, kondisi lahan untuk peternakan, uji kualitas susu sapi, manajemen kebersihan kandang, pakan, monitoring penyakit hewan, dan skema mitigasi risiko ketika ada penyakit.
“Apa jadinya jika pemerintah sudah mengimpor begitu besar sapi perah, namun ketika sudah tiba di Indonesia sapi tersebut tidak produktif dan sakit akibat kesalahan manajemen? Ini kan akan menjadi kerugian besar,” tegasnya.
Eliza juga menekankan, kerja sama perusahaan susu sebetulnya sudah menjadi amanah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 33/PERMENTAN/PK.450/7/2018E7 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Dalam aturan tersebut, tutu dia, tertuang bahwa pelaku usaha yang memiliki pengolahan susu atau yang bekerja sama dengan pelaku usaha yang memiliki pengolahan susu bermitra dengan peternak lokal.
Akan tetapi, Eliza menyebut fakta lapangan menunjukan bahwa perusahaan yang menjalin kemitraan dengan peternak lokal tidak sampai 20 persen dari total jumlah pelaku usaha pengolahan susu.
“Artinya pemerintah tidak betul-betul mengawasi kemitraan ini. Semestinya ada skema reward and punishment bagi pelaku usaha pengolahan susu yang tidak bermitra dengan peternak lokal,” ungkapnya.
Jika hal ini berlanjut, tutur Eliza, besar kemungkinan peternak lokal kalah saing dengan perusahaan besar yang memiliki capital dan market yang lebih baik. Dia menilai, niat mulia swasembada susu mestinya mengutamakan kesejahteraan dan keberlanjutan usaha peternak lokal, bukan hanya sekadar peningkatan produksi susu.
Eliza menuturkan, Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) harus menjadi captive market bagi produsen lokal dan meningkatkan kesejahteraan peternak lokal dalam mencapai swasembada, apalagi dengan adanya program MBG. Dia juga menekankan, pemerintah perlu memastikan MBG bukan sekadar kebijakan populis, melainkan juga strategi jangka panjang pembangunan sumber daya manusia.
“Melalui pendekatan yang holistik, berkelanjutan dan berpihak kepada produsen lokal, MBG dapat menjadi legacy transformatif pemerintahan untuk menciptakan pondasi kokoh bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan” katanya.
Tantangan Jalan Pintas Swasembada
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai bahwa langkah impor sapi menjadi hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan susu sapi segar mengingat kebutuhan yang bertambah pesat seiring dengan program MBG yang menargetkan 82 juta jiwa masyarakat Indonesia.
“Yang paling penting kalau betul ini dilakukan, ya, langkah-langkah untuk melakukan pengadaan betina sapi perah itu untuk bagus, karena sampai hari ini kemampuan produksi susu sapi itu hanya 1 juta ton itu kira-kira 21 persen dari kebutuhan kita setahun itu 4,7 juta ton (kebutuhan reguler),” kata Khudori kepada KabarBursa.com, Jumat, 27 September 2024.
Meski begitu, Khudori menyebut bahwa pengembangan sapi perah tidak lantas menutup keran impor susu. Dia menyebut, impor susu akan tetap dilakukan dengan jumlah yang tidak sebesar saat ini. Di sisi lain, Khudori penambahan sapi perah juga dilakukan secara bertahap hingga tahun 2029.
“Ya kita masih akan impor tapi tidak sebesar sekarang,” jelasnya.
Di samping itu, Khudori juga menyebut ada tantangan yang perlu diperhatikan pemerintah Indonesia. Pasalnya, impor sapi perah dapat menggerus pasar susu sapi bagi negara-negara eksportir.
“Itu kan pasti buat pemerintah negara-negara eksportir susu itu ini kan peluangnya tertutup kalau di tahun 2029 betul kita sudah, mungkin 90 sekian persen kebutuhan susu itu bisa dipenuhi,” ungkapnya.
“Artinya impornya kan kecil di pasar, mereka tertutup artinya secara ekonomi mereka rugi sebetulnya pasar Indonesia yang sangat besar yang setiap tahun bisa mereka pemasok itu berkurang,” tambahnya.
Lebih jauh, Khudori juga mempertanyakan lahan pengembangan sapi perah yang didatangkan pemerintah. Pasalnya, pengembangan sapi perah juga memerlukan tenaga kerja yang sama besarnya. Dalam hal ini, dia menilai perlu adanya keterlibatan peternak lokal dalam langkah pengembangan sapi perah.
“Makanya penting memastikan bahwa ada keterlibatan kalau ini diimpor oleh investor ada keterlibatan peternak, bagaimana formulasinya supaya antara peternak dan investor ini sama-sama menguntungkan sebagai bagian untuk memastikan bahwa produksi mereka ini nanti diserap oleh pemerintah untuk program makan bergizi gratis,” kata Khudori.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.