Logo
>

Menkeu Baru Fokus Konsumsi, Ahli Bilang Salah Arah

Pakar ekonomi kritik fokus Menkeu baru pada permintaan, sebut revolusi sisi produksi sebagai kunci pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Menkeu Baru Fokus Konsumsi, Ahli Bilang Salah Arah
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Foto Ist.

KABARBURSA.COM - Pergantian Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa memantik diskusi publik soal arah kebijakan ekonomi nasional. Dalam rapat Komisi XI DPR pada 10 September 2025 lalu, Purbaya menyatakan target pertumbuhan 6 hingga7 persen dan fokus menambah likuiditas ke bank-bank pemerintah sebagai instrumen utamanya. 

Namun, akademisi dan mantan pejabat publik menilai pendekatan tersebut belum menyentuh akar masalah perekonomian Indonesia.

Ekonom sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas), Muhammad Syarkawi Rauf menilai pergeseran fokus dari supply side view ke demand side view berisiko mengulang kesalahan kebijakan pada masa lalu. 

“Masalah utama perekonomian kita (Indonesia) bukan di sisi permintaan, tapi di sisi suplai,” ujar mantan Ketua KPPU RI periode 2015–2018 itu dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat, 12 September 2025, 

Syarkawi mengingatkan kembali laporan Bank Dunia lebih dari satu dekade lalu berjudul Indonesia: Avoiding the Trap, yang menekankan pentingnya revolusi sisi produksi. Laporan tersebut membedah ketimpangan pendapatan antarwilayah serta fenomena jumping transformation Indonesia, yakni lompat langsung dari sektor primer ke sektor jasa tanpa melalui industrialisasi yang matang.

“Selama 10 tahun terakhir kita hanya tumbuh sekitar 5 persen. Tapi, gini ratio tinggi, indeks Williamson tinggi. Itu cermin ketimpangan pendapatan antarwilayah,” kata Syarkawi.

Ia menilai fenomena ini terjadi karena kebijakan makro lebih banyak memacu permintaan melalui suku bunga rendah, kemudahan kredit, dan likuiditas tinggi, sementara sisi produksi tidak berkembang optimal.

Menurut Syarkawi, pengalaman banyak negara menunjukkan kelebihan likuiditas di sektor perbankan justru bisa menjadi bumerang. Kredit lebih banyak mengalir untuk konsumsi dan perdagangan dibanding investasi sektor produktif. 

Ia menyinggung riset ekonom Lan Chu Khanh dan Hung Chu Viet berjudul Is Too Much Liquidity Harmful to Economic Growth? yang menggunakan data 136 negara dan menyimpulkan bahwa ketika proporsi kredit swasta terhadap GDP melebihi 104 persen, efeknya justru negatif bagi pertumbuhan.

“Menambah likuiditas tanpa revolusi produksi hanya akan menimbulkan kredit macet dan moral hazard,” tegasnya.

Fenomena Premature Deindustrialization

Syarkawi juga menyoroti fenomena premature deindustrialization. Bangsa Indonesia, katanya, belum sempat menjadi negara industri mapan tetapi sudah berpindah ke sektor perdagangan dan jasa. Ia menyarankan agar pemerintah mengarahkan kembali insentif fiskal dan kebijakan makro untuk menggerakkan sisi suplai ekonomi.

“Solusinya bukan di demand side, tetapi revolusi sisi produksi,” ujarnya.

Dalam pandangannya, kerangka kebijakan makro nasional perlu dijaga agar tetap berimbang antara demand side view dan supply side view. Menurut Syarkawi, kebijakan fiskal harus memberi insentif sisi produksi dan bukan semata mendorong konsumsi.

Ia juga menekankan pentingnya menciptakan aglomerasi ekonomi baru dengan membenahi kekurangan infrastruktur, khususnya di Kawasan Timur Indonesia, agar belanja infrastruktur bisa setara dengan Tiongkok yang mengalokasikan lebih dari 10 persen PDB untuk pembangunan infrastruktur.

Syarkawi menambahkan bahwa kualitas angkatan kerja nasional yang masih didominasi lulusan SD hingga SMP juga harus ditingkatkan. Ia mencontohkan pengalaman China yang pertumbuhan industrinya diikuti oleh peningkatan permintaan tenaga kerja lulusan pendidikan teknik dan kimia. 

Selain itu, semua kebijakan yang menyebabkan inefisiensi industri serta menghambat kompetisi perlu dikaji ulang. Kebijakan kuota impor, tarif, maupun batas bawah dan atas harga di sejumlah sektor ekonomi justru menghambat peningkatan efisiensi dan pertumbuhan produktivitas industri nasional.

Ia menyebut pengalaman negara maju membuktikan pertumbuhan jangka panjang hanya bisa tercapai melalui peningkatan Total Factor Productivity (TFP Growth). 

“Produktivitas adalah kunci. Bukan sekadar uang beredar,” ujarnya.

Syarkawi menilai langkah Menkeu baru yang fokus pada sisi permintaan memang bisa mendorong pertumbuhan jangka pendek, namun tidak cukup untuk menopang pertumbuhan jangka menengah dan panjang.

“Yang penting sekarang adalah insentif fiskal untuk menggerakkan supply side revolution,” ujarnya.

Strategi ekonomi nasional perlu kembali fokus pada sisi produksi berupa memperkuat industri, meningkatkan daya saing tenaga kerja, dan menciptakan pusat pertumbuhan baru. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi 6 hingga 7 persen bukan sekadar target angka, melainkan transformasi struktural yang nyata.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".