KABARBURSA.COM - Pemerintah resmi menyalurkan dana negara sebesar Rp200 triliun yang selama ini ditempatkan di Bank Indonesia (BI) ke lima bank milik negara atau Himbara. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, menyebut langkah ini bertujuan memperkuat likuiditas perbankan agar bisa lebih maksimal menyalurkan pembiayaan ke sektor riil.
Adapun rincian pembagian dana tersebut sebagai berikut: Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing mendapat alokasi Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, sementara BSI memperoleh Rp10 triliun.
Skema dana ini berbentuk Deposito On Call (DOC), yaitu deposito jangka pendek yang fleksibel karena dapat ditarik sewaktu-waktu dengan pemberitahuan satu hari sebelumnya, tetap aman, dan menawarkan bunga yang menarik.
Purbaya menegaskan, besaran yang berbeda disesuaikan dengan nilai kapitalisasi pasar dan kapasitas masing-masing bank. Ia juga menyebut adanya alasan strategis dalam penempatan dana, seperti BSI yang mendapat Rp10 triliun karena menjadi satu-satunya bank dengan akses penuh ke Aceh.
Harapannya, bank-bank Himbara bisa mengoptimalkan likuiditas tambahan ini untuk memperluas pembiayaan, menjaga pertumbuhan ekonomi, sekaligus memastikan distribusi dana lebih merata.
Celios Ingatkan Risiko Stranded Asset
Namun, rencana besar ini mendapat catatan kritis dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, menilai ada dua risiko yang harus diwaspadai jika penyaluran dana ini tidak dikawal secara ketat.
Risiko tersebut yakni potensi terbentuknya aset terlantar (stranded asset) dan meningkatnya risiko kredit macet.
Ia menyoroti kecenderungan dana perbankan lebih banyak dialirkan untuk proyek energi fosil ketimbang ke sektor hijau. Jika hal ini berlanjut, langkah pemerintah justru bisa menjadi batu sandungan transisi energi nasional.
Dalam hal ini Bhima menekankan pentingnya kebijakan lanjutan, misalnya melalui peraturan menteri keuangan, agar dana tersebut digunakan sejalan dengan misi Presiden Prabowo Subianto mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
Dirinya juga mengingatkan bahwa selama ini, porsi pembiayaan Himbara ke sektor energi terbarukan masih di bawah satu persen, jauh dari ideal. Padahal, sektor energi bersih punya potensi besar mendorong penciptaan lapangan kerja baru yang diperkirakan hingga 19,4 juta green jobs dalam satu dekade mendatang.
Dengan demikian, CELIOS melihat penyaluran Rp200 triliun dari BI ke Himbara bukan sekadar tambahan likuiditas untuk pertumbuhan kredit, melainkan momentum penting untuk mengarahkan perbankan menjadi motor transisi energi.
Jika diarahkan dengan tepat, dana ini bisa mempercepat transformasi ekonomi Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang berisiko menimbulkan beban ekonomi di masa depan.
Kesimpulannya, keputusan pemerintah menyalurkan Rp200 triliun ke bank Himbara menegaskan peran strategis perbankan dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Namun, kritik dari CELIOS menegaskan perlunya tata kelola yang ketat agar likuiditas besar ini benar-benar tepat sasaran, tidak hanya menopang kredit konsumtif dan sektor lama, tetapi juga memperkuat fondasi bagi ekonomi hijau yang lebih prospektif.(*)