KABARBURSA.COM - Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Investasi Rosan Roeslani membahas hilirisasi nikel.
Erick mengatakan, pihaknya akan terus mendorong hilirisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dia menyebutkan, hilirisasi nikel merupakan investasi terbesar di tahun 2023.
“Setelah menjadi pembicara di acara Mandiri Leadership Forum (MLF) di Batam, saya langsung kembali ke Jakarta untuk rapat dengan Pak Menteri Investasi dan Kepala BKPM Pak @rosanroeslani,” tulis Erick Thohir di akun Instagramnya yang dikutip, Jumat, 30 Agustus 2024.
Erick memberitahukan, cadangan bijih nikel Indonesia diperkirakan mampu bertahan hingga 30 tahun ke depan.
“Kami membahas tentang investasi nikel di Indonesia. Kami terus mendorong program hilirisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hilirisasi nikel merupakan realisasi investasi terbesar di Indonesia pada tahun 2023, dengan cadangan bijih nikel Indonesia diperkirakan mampu bertahan hingga 30 tahun ke depan,” tuturnya.
Untuk diketahui, pasokan nikel Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 132.K/GL.01/MEM.G/2024 tentang Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batu Bara Nasional Pada Tahun 2023. Data pasokan nikel itu tertuang dalam lampiran Kepmen ini.
Pasokan nikel berada dalam tabel Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam Termasuk Mineral Radioaktif. Dalam tabel itu disebutkan, total sumber daya nikel yakni 18.550.358.128 ton untuk bijih dan 184.606.736 ton untuk logam.
Sementara, total cadangan nikel Indonesia tercatat sebanyak 5.325.790.841 ton bijih dan 56.117.187 ton logam.
Untuk cadangan terkira sebanyak 3.423.289.094 ton bijih dan 35.910.615 ton logam. Kemudian, cadangan terbukti sebanyak 1.902.501.747 ton untuk bijih dan 20.206.573 ton untuk logam.
Bisnis Smelter Nikel bikin Negara Rugi
Sementara itu, ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa smelter di tambang nikel tidak menguntungkan Indonesia tapi justru membuat minus atau merugikan negara.
“Boro-boro menguntungkan, justru membuntungkan Indonesia,” kata Faisal Basri dalam diskusi publik Jejak Bahlil dan Kepentingan Istana dalam Pusaran Korupsi Tambang Nikel AGK, Rabu, 21 Agustus 2024.
Terkait dengan klaim pemerintah yang menyatakan ada pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara, kata Faisal, adalah penyesatan publik yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia mengaku jika dirinya pernah salah karena menyatakan bahwa Indonesia diuntungkan kurang dari 10 persen berkat adanya smelter di pertambangan nikel. Oleh karena itu, ia ingin mengklarifikasi jika Indonesia justru merugi karena ada smelter.
“Saya belum menghitung subsidi yang diberikan pemerintah atas nama DMO atau domestic market obligation yang harganya ditentukan,” ujarnya.
Faisal Basri mengungkapkan bahwa perusahaan pengelola smelter semuanya berasal dari dalam negeri, namun perusahaan tersebut sebenarnya dimiliki China. Ia mencoba meluruskan klaim pemerintah yang menyatakan berkat adanya smelter, ada nilai tambah dari nikel.
Ia mengakui memang ada nilai tambah yang terjadi. Ia mencontohkan jika harga nikel itu 10, maka setelah ada smelter harga feronikel menjadi 25 sehingga nilai tambahnya menjadi 15.
“Betul itu terjadi, tapi pertanyaannya adalah nilai tambah tersebut tidak dinikmati Indonesia,” tegasnya.
Terkait dengan pihak pengelola perusahaan smelter, kata dia, 100 persen berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, 100 persen keuntungannya bukan untuk Indonesia tapi justru dibawa ke China.
Jika perusahaan umumnya membayar corporate income tax, perusahaan-perusahaan smelter China yang beroperasi di Indonesia mendapat tax holiday. Sementara Indonesia tidak mendapat apa-apa karena perusahaan tersebut ternyata tidak membayar BPN dan pajak ekspor.
Ia juga membantah klaim pemerintah jika adanya smelter nikel dapat menguntungkan dari sisi tenaga kerja. Menurutnya, perusahaan-perusahaan ini bisa mendatangkan tenaga kerja murah asal Tiongkok. Tenaga kerja tersebut, kata Faisal, tidak memiliki visa kerja dan segala kebutuhan para pekerja ini didatangkan dari China.
“Kebutuhan mereka (tenaga kerja) bisa diimpor dari China tanpa bea masuk. Jadi kita dapat nol,” tegasnya.
Indonesia juga kembali dirugikan karena teknologi yang digunakan di smelter tersebut semuanya milik China. Sehingga fee dari paten juga kembali ke China, bukan Indonesia.
Bahkan perusahaan pembiayaan yang mengongkosi produksi smelter di tambang nikel pun berasal dari sejumlah bank di China. Sehingga bunga yang dibebankan dari pinjaman itu dinikmati oleh bank di China.
“Perusahaan smelter itu dibiayai oleh bank dari China dan tidak satu pun dari Indonesia, jadi bayar bunganya di China. Sementara Indonesia dapat kerusakan lingkungan. Itu tidak terperikan kerugiannya bagi bangsa Indonesia,” pungkas Faisal Basri. (*)