KABARBURSA.COM - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot mengungkapkan, pemerintah mulai menimbang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai pilar baru dalam perjalanan panjang transisi energi menuju target nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada 2060.
Menurut Yuliot, keputusan ini lahir dari kajian komprehensif yang menempatkan PLTN bukan lagi sekadar opsi alternatif, melainkan strategi utama memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menekan jejak emisi karbon.
“Arah kebijakan ini sejalan dengan Astacita butir kedua, yang menekankan pentingnya kemandirian bangsa melalui penguatan pertahanan, ketahanan energi, pangan, dan air, serta pengembangan ekonomi hijau dan biru,” ujarnya di Jakarta, Selasa 28 Oktober 2025.
Yuliot menegaskan, PLTN kini menjadi bagian integral dalam peta jalan transisi energi nasional menuju NZE 2060. “PLTN tidak lagi dianggap pilihan terakhir, tetapi fondasi penting dalam perencanaan energi masa depan,” tuturnya saat menjadi pembicara kunci dalam Bapeten Executive Meeting dan Penganugerahan Bapeten Award 2025.
Ia mengingatkan, Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah panjang dalam riset nuklir. Sejak 1960-an, pemerintah telah mengoperasikan tiga reaktor penelitian: reaktor Triga di Bandung berkapasitas 2 MW, reaktor Kartini di Yogyakarta berkapasitas 100 kW, dan reaktor Serpong di Banten dengan kapasitas 30 MW.
Landasan hukum pengembangan nuklir pun kokoh. Mulai dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, arah pembangunan PLTN dalam RPJPN 2025–2045, hingga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional. “Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN resmi menjadi bagian perencanaan energi nasional, bukan opsi cadangan,” ujar Yuliot.
Berdasarkan peta kebijakan itu, Indonesia menargetkan pengoperasian PLTN pertama pada 2032, dengan kapasitas total 44 gigawatt (GW) pada 2060. Sekitar 35 GW diarahkan untuk pasokan listrik umum, sementara 9 GW disiapkan bagi produksi hidrogen nasional. Porsi energi nuklir dalam bauran nasional diproyeksikan mencapai 5 persen pada 2030 dan naik dua kali lipat menjadi 11 persen di 2060.
Namun Yuliot tidak menutup mata terhadap tantangan besar di depan. Pendanaan dan waktu konstruksi menjadi isu krusial. “Satu unit PLTN membutuhkan investasi sekitar 3,8 miliar dolar AS, dengan masa pembangunan empat hingga lima tahun,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah turut mengakomodasi kekhawatiran publik atas potensi risiko bencana. Aspek keselamatan, menurut Yuliot, akan dijaga ketat melalui mitigasi menyeluruh, pengawasan berlapis, dan kolaborasi erat bersama Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) sebagai otoritas utama dalam pengawasan operasi nuklir nasional.(*)