Logo
>

Meta Kembangkan Chip AI, Apa Peluang Buat Industri RI?

Meta kembangkan chip AI sendiri untuk kurangi ketergantungan pada Nvidia. Langkah ini bisa jadi peluang bagi industri semikonduktor Indonesia atau justru memperkuat dominasi teknologi global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Meta Kembangkan Chip AI, Apa Peluang Buat Industri RI?
lustrasi META. Foto: Dok. Digital Watch Observatory.

KABARBURSA.COM - Meta lagi ngetes chip buatannya sendiri buat melatih sistem kecerdasan buatan (AI). Langkah ini jadi tonggak penting dalam strategi mereka buat mengurangi ketergantungan ke Nvidia dan perusahaan luar lainnya. Menurut dua sumber yang dikutip Reuters, chip ini baru dipakai dalam skala kecil, tapi kalau tesnya mulus, Meta siap ‘ngegas’ produksi buat penggunaan lebih luas.

Langkah ini bagian dari strategi jangka panjang buat menurunkan biaya infrastruktur Meta yang makin membengkak karena investasi besar-besaran di teknologi AI. Total belanja Meta tahun 2025 diperkirakan mencapai USD114 miliar sampai USD119 miliar (Rp1.881 triliun – Rp1.963 triliun), termasuk belanja modal hingga USD65 miliar (Rp1.072 triliun) yang sebagian besar dipakai buat AI.

Salah satu sumber menyebut, chip baru Meta ini bukan sekadar GPU biasa, tapi akselerator khusus yang cuma ditugasin buat menangani tugas AI. Desain ini bikin konsumsi dayanya lebih efisien dibanding GPU konvensional yang biasanya dipakai buat beban kerja AI.

Buat produksi chip ini, Meta kerja sama dengan TSMC, raksasa semikonduktor asal Taiwan. Tes awal baru dimulai setelah Meta menyelesaikan tahap “tape-out” pertama, yang berarti desain awal chip sudah dikirim ke pabrik buat diproduksi.

Ini langkah krusial dalam pengembangan chip, tapi risikonya tinggi—proses tape-out bisa makan biaya puluhan juta dolar dan butuh waktu tiga sampai enam bulan, tanpa jaminan sukses. Kalau gagal, Meta harus balik ke tahap awal buat diagnosis masalah dan coba lagi. Meta dan TSMC sejauh ini masih bungkam soal proyek ini.

Chip baru ini bakal masuk ke dalam lini Meta Training and Inference Accelerator (MTIA). Sejauh ini, perjalanan program MTIA tak selalu mulus—Meta bahkan sempat nyetop pengembangan salah satu chipnya di fase serupa. Tapi, tahun lalu, Meta akhirnya mulai pakai salah satu chip MTIA buat menangani inference—proses di mana AI beroperasi saat pengguna berinteraksi dengan sistem. Chip ini dipakai buat menyempurnakan sistem rekomendasi di Facebook dan Instagram yang menentukan konten apa aja yang muncul di feed pengguna.

Meta Ingin Pakai Chip Sendiri di 2026

Seorang insinyur Meta sedang meneliti komponen chip menggunakan mikroskop di laboratorium riset perusahaan META. Foto: Meta.com.

Meta memang serius buat lepas dari ketergantungan pada Nvidia. Para eksekutifnya menargetkan mulai pakai chip buatan sendiri pada 2026 untuk melatih AI, proses komputasi berat yang melibatkan pengolahan data dalam jumlah besar supaya AI bisa “belajar” memahami pola dan melakukan tugasnya.

Seperti chip inference yang udah mereka kembangkan, chip pelatihan ini awalnya bakal dipakai buat sistem rekomendasi. Kalau berjalan mulus, Meta bakal memperluas penggunaannya ke AI generatif seperti chatbot Meta AI.

“Kami sedang mencari cara bagaimana melatih sistem rekomendasi, lalu ke depannya, bagaimana kami bisa menggunakan chip untuk pelatihan dan inference di AI generatif,” kata Chief Product Officer Meta, Chris Cox, dikutip dari Reuters di Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025.

Cox menggambarkan perjalanan pengembangan chip ini sebagai “jalan, merangkak, lalu lari”—masih tahap awal, tapi ia menilai chip inference generasi pertama buat rekomendasi sudah cukup sukses.

Meta Pernah Gagal, Tapi Tetap Gencar Kembangkan Chip AI


Sebenarnya, Meta pernah mencoba bikin chip inference kustom sebelumnya. Tapi, proyek itu gagal setelah uji coba skala kecil, mirip seperti yang mereka lakukan sekarang dengan chip pelatihan ini. Akhirnya, Meta balik haluan dan memesan miliaran dolar GPU dari Nvidia pada 2022.

Sejak saat itu, Meta jadi salah satu pelanggan terbesar Nvidia. Mereka menimbun GPU buat melatih model AI mereka. GPU itu dipakai buat mengoperasikan sistem rekomendasi, periklanan, dan Llama, model AI dasar Meta. Selain itu, unit GPU ini juga menjalankan proses inference buat lebih dari 3 miliar pengguna harian aplikasi Meta seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp.

Tapi, belakangan, muncul keraguan soal seberapa jauh AI bisa berkembang hanya dengan menambah lebih banyak data dan daya komputasi. Beberapa peneliti AI mulai mempertanyakan apakah pendekatan scale-up masih efektif atau justru makin boros sumber daya tanpa hasil signifikan.

Keraguan itu makin kuat setelah DeepSeek, startup AI asal China, meluncurkan model AI murah yang lebih efisien secara komputasi pada akhir Januari. DeepSeek lebih banyak mengandalkan inference, bukan sekadar memproses data besar-besaran seperti kebanyakan model AI saat ini.

Keberhasilan DeepSeek bikin pasar saham AI global terguncang. Saham Nvidia sempat anjlok hingga 20 persen, sebelum akhirnya pulih kembali. Investor masih bertaruh Nvidia bakal tetap jadi standar industri untuk chip AI, baik buat pelatihan maupun inference. Meski begitu, sahamnya kembali turun baru-baru ini akibat ketidakpastian di pasar perdagangan global.

Dampak Strategi Chip Meta Terhadap Indonesia

Para pekerja di fasilitas produksi PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN) sedang mengoperasikan mesin perakitan semikonduktor di Batam. Foto: Dok. PTSN.

Meta yang semakin agresif mengembangkan chip AI sendiri bukan sekadar berita teknologi global, tetapi juga sinyal besar bagi industri semikonduktor Indonesia. Jika Meta benar-benar mengurangi ketergantungannya pada Nvidia, pertanyaannya adalah, apakah Indonesia bisa ikut bermain dalam rantai pasok chip global atau justru makin tertinggal?

Untuk melihat dampak peristiwa ini terhadap Indonesia, Teori Ketergantungan (Dependency Theory) bisa digunakan. Mengutip jurnal Lemhannas berjudul Analisis Ketergantungan Indonesia pada Teknologi Asing dalam Sektor Energi dan Dampaknya pada Keamanan Nasional, teori ini menyoroti bagaimana negara berkembang seperti Indonesia sering kali hanya menjadi pengguna teknologi tanpa memiliki kontrol penuh atas rantai pasoknya. Ketergantungan ini menciptakan risiko besarbsaat negara maju seperti Amerika Serikat mulai menata ulang industrinya dan membatasi ekspor teknologi strategis.

Dalam konteks semikonduktor, Indonesia selama ini lebih banyak berperan sebagai pengimpor dan pengguna, bukan produsen. Bahkan, satu-satunya emiten di Bursa Efek Indonesia yang berbisnis di semikonduktor, PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN), masih sebatas melakukan perakitan, bukan manufaktur chip dari nol seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC).

Jika Meta sukses mengembangkan chip sendiri, dua skenario bisa terjadi bagi Indonesia:

  1. Peluang bagi PTSN untuk masuk ke rantai pasok global. Jika Meta butuh lebih banyak rekanan manufaktur untuk memproduksi chip dalam jumlah besar, PTSN bisa mencoba menjalin kerja sama.
  2. Ancaman bagi ketergantungan impor Indonesia. Jika produsen besar seperti Meta dan perusahaan teknologi lain semakin mandiri dalam membuat chip, maka harga chip global bisa lebih tidak stabil. Ini bisa berdampak pada industri teknologi di Indonesia yang selama ini mengandalkan pasokan dari luar negeri.


Emiten yang Harus Mulai Bergerak di Semikonduktor


Saat ini, PTSN adalah satu-satunya pemain di BEI yang terlibat dalam industri perakitan semikonduktor. Namun, dengan meningkatnya kebutuhan chip AI, perusahaan teknologi besar di Indonesia juga harus mulai masuk ke sektor ini.

Beberapa emiten yang bisa mempertimbangkan investasi di semikonduktor:

  1. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) – Sebagai pemain utama di industri digital Indonesia, Telkom bisa memanfaatkan anak usahanya di sektor cloud computing dan AI untuk mulai mengembangkan in-house chip seperti yang dilakukan Meta.
  2. PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (ISAT) – Dengan berkembangnya layanan 5G dan AI berbasis cloud, Indosat bisa menjalin kerja sama dengan perakit semikonduktor seperti PTSN untuk pengembangan chip khusus jaringan.
  3. PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) – Konglomerasi ini memiliki investasi di berbagai sektor teknologi dan bisa masuk ke industri semikonduktor melalui anak usahanya.


Selain itu, Indonesia juga bisa belajar dari strategi India dan Vietnam yang sukses menarik investasi dari raksasa teknologi global dengan memberikan insentif pajak dan pembangunan ekosistem industri semikonduktor.

Jika pemerintah ingin Indonesia masuk ke industri semikonduktor secara lebih serius, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Memberikan insentif bagi industri chip, seperti pembebasan pajak bagi perusahaan yang mau investasi di pabrik semikonduktor.
  2. Mendorong riset dan pengembangan chip AI di universitas agar SDM lokal bisa lebih kompetitif.
  3. Menjalin kerja sama dengan pemain global seperti TSMC, Samsung, atau Intel, agar ada transfer teknologi yang nyata ke Indonesia.


Langkah Meta dalam membuat chip sendiri bisa jadi titik balik dalam industri AI global, tapi bagi Indonesia, ini juga peringatan bahwa industri semikonduktor adalah sektor yang harus segera digarap dengan serius. Jika tidak, kita hanya akan terus menjadi negara pengguna teknologi tanpa kontrol atas pasokannya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).