KABARBURSA.COM - Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng menilai keuangan Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dengan bergesernya fondasi penerimaan negara. Menurut dia, pendapatan dari migas yang dulu menjadi penopang utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini hanya menyumbang 4 persen dari total penerimaan negara.
“Migas sekarang hanya tinggal sepeser, hanya 4 persen dari total penerimaan negara, jauh dibandingkan pendapatan negara dari tembakau,” kata Salamudin kepada Kabar Bursa, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Salamudin mempertanyakan relevansi migas sebagai indikator utama dalam merumuskan APBN. Selama ini, menurut dia, produksi dan harga minyak menjadi penentu utama apakah fiskal pemerintah akan membaik atau tidak. Namun, kondisi tersebut kini berubah drastis.
“Produksi minyak domestik hanya 35 persen dari kebutuhan nasional, sebagian besar minyak yang kita bakar di Indonesia berasal dari impor,” ujarnya.
Salamudin menyoroti migas kini menjadi beban besar bagi Indonesia, khususnya dalam neraca transaksi berjalan, defisit perdagangan, dan neraca pendapatan primer. Menurut dia, migas telah menjadi beban utama, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat yang harus membayar pajak tinggi untuk setiap liter BBM yang mereka konsumsi.
Dia pun mengkritik lemahnya kontrol dan pengawasan pemerintah terhadap distribusi migas, yang menurutnya telah memberikan peluang bagi segelintir orang untuk menikmati subsidi secara ilegal. “Ada kesan seolah-olah ini disengaja,” kata Salamudin.
Lebih lanjut, Salamudin mengatakan Pertamina yang seharusnya berperan sebagai pencari minyak dan penjual BBM, kini lebih berfungsi sebagai pedagang BBM impor yang memungut pajak dari konsumen.
“Jadi terkait migas ini, negara dikuras asing dan masyarakat dikuras pajak oleh bangsa sendiri,” katanya.
Salamudin mengusulkan agar APBN ke depan dimulai dengan mendetailkan sumber-sumber penerimaan utama, terutama dari sumber daya alam. Jika penerimaan dari sumber-sumber tersebut cukup untuk memenuhi target pengeluaran, maka pajak bisa ditiadakan. Pasalnya, pajak dinilai mengganggu hal paling pokok dalam ekonomi, yakni mengurangi kemampuan ekonomi untuk tumbuh.
Apalagi, kata Salamudin, sekarang pertumbuhan sebagian besar disumbangkan oleh konsumsi. “Pajak adalah distorsi terhadap pertumbuhan. Pajak konsumsi migas adalah pajak yang paling buruk dalam hal ini,” ujarnya.
Sebagai langkah awal, Salamudin menyarankan pemerintahan baru, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, melakukan audit menyeluruh terhadap sektor migas dan sumber daya alam. “Ini mungkin langkah paling berarti dalam meraih Indonesia Emas 2045,” katanya.
Sumbang Rp117 Triliun PNBP
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sub sektor migas pada tahun 2023 mencapai Rp117 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan PNBP tahun 2022 yang mencapai Rp148,70 triliun. Namun, realisasi PNBP migas pada tahun 2023 tetap melebihi target yang telah ditetapkan, yakni mencapai 113 persen dari target sebesar Rp103,6 triliun.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, mengatakan PNBP migas dipengaruhi oleh tren harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP). Menurut dia, meskipun PNBP migas pada 2023 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, kontribusi PNBP tersebut masih lebih tinggi dan melebihi target yang ditetapkan.
Tutuka menjelaskan harga ICP pada tahun 2022 yang sangat tinggi menyebabkan penerimaan negara lebih besar dibandingkan dengan tahun 2023. Namun, harga ICP pada tahun 2023 tetap lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2021, sehingga PNBP migas mengikuti pola harga ICP ini.
Mengutip laman Kementerian ESDM menunjukkan PNBP sektor ESDM pada tahun 2023 berasal dari berbagai sumber, yakni:
1. PNBP Migas sebesar Rp117,0 triliun, yang menyumbang 39 persen dari total PNBP sektor ESDM.
2. PNBP Minerba sebesar Rp173,0 triliun, atau 58 persen dari total PNBP sektor ESDM.
3. PNBP Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) sebesar Rp3,1 triliun, atau 1 persen dari total PNBP sektor ESDM.
4. PNBP lainnya sebesar Rp7,3 triliun, yang merupakan 2 persen dari total PNBP sektor ESDM.
Meskipun harga komoditas energi pada tahun 2023 berfluktuasi lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif optimistis PNBP sektor ESDM tahun 2024 akan mencapai target sebesar Rp227,3 triliun.
“Kita berupaya untuk meningkatkan, tapi tentu saja tidak memberatkan pelaku-pelaku ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi kita," kata Arifin.
Realisasi APBN 2024
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan mengenai realisasi APBN hingga 31 Maret 2024, berikut adalah ringkasan dan narasi yang lebih mudah dipahami:
Pada kuartal pertama tahun 2024, Pendapatan Negara mencapai Rp620 triliun atau sekitar 22,1 persen dari target yang telah ditetapkan dalam APBN sebesar Rp2.802,3 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, pendapatan negara ini mengalami penurunan sebesar 4,1 persen.
Sumber utama Pendapatan Negara berasal dari penerimaan perpajakan yang mencapai Rp462,9 triliun, meski mengalami penurunan sebesar 8,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penerimaan pajak sendiri menyumbang Rp393,9 triliun, sementara kepabeanan dan cukai sebesar Rp69 triliun. Selain itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tercatat sebesar Rp156,7 triliun, naik 7,0 persen dari tahun sebelumnya.
Di sisi pengeluaran, Belanja Negara hingga 31 Maret 2024 mencapai Rp611,9 triliun atau sekitar 18,4 persen dari total yang dianggarkan sebesar Rp3.325,1 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 18,0 persen dibandingkan dengan tahun 2023. Pengeluaran terbesar berasal dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp427,6 triliun, disusul oleh Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp222,2 triliun, dan Belanja Non-K/L sebesar Rp184,3 triliun. Transfer ke daerah tercatat sebesar Rp184,3 triliun.
Keseimbangan primer, yang merupakan indikator penting dalam mengukur kemampuan negara dalam memenuhi kewajibannya tanpa perlu berutang, tercatat surplus sebesar Rp122,1 triliun. Ini berarti terjadi perbaikan yang signifikan dari posisi defisit pada tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, APBN mencatat surplus sebesar Rp8,1 triliun atau sekitar 0,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan peningkatan yang signifikan dari posisi defisit pada tahun 2023. (*)