KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan pada Kamis waktu setempat, 23 Januari 2025 atau Jumat dinihari WIB, 24 Januari 2025 setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerukan kepada Arab Saudi dan OPEC untuk menurunkan harga minyak selama pidatonya di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
Pernyataan Trump tersebut menambah tekanan pada pasar yang sudah dipenuhi kekhawatiran akan dampak kebijakan tarif perdagangan dan pertumbuhan permintaan energi global.
Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi acuan internasional, ditutup melemah sebesar 71 sen, atau 0,9 peraen, menjadi USD78,29 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat turun lebih dalam sebesar 82 sen, atau 1,09 persen, hingga mencapai USD74,62 per barel.
Penurunan tajam ini terjadi meskipun data menunjukkan stok minyak mentah Amerika Serikat berada di level terendah sejak Maret 2022.
Seruan Trump untuk menekan harga minyak disambut beragam oleh berbagai pihak. Konsumen dan pelaku bisnis yang sangat bergantung pada minyak sebagai bahan bakar dan input produksi, tentu menyambut baik kabar ini.
Namun, di sisi lain, industri minyak domestik AS dan para pemasok global seperti Rusia dan Timur Tengah cenderung merespons dengan sikap hati-hati. Menurunnya harga minyak dikhawatirkan dapat mengganggu ekonomi dari proyek-proyek baru di sektor energi yang membutuhkan investasi besar, demikian pendapat Clay Seigle dari Center for Strategic and International Studies.
Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya Trump yang lebih luas dalam menegaskan kekuatan ekonomi Amerika di kancah global. Sang presiden tidak hanya menargetkan negara-negara penghasil minyak, tetapi juga melontarkan ancaman tarif baru terhadap beberapa mitra dagang utama.
Trump menyatakan akan menambahkan tarif jika Rusia tidak segera menyetujui kesepakatan untuk mengakhiri perang di Ukraina. Tidak berhenti di situ, ia juga mengancam Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko dengan tarif tinggi. Sementara China berisiko menghadapi bea masuk tambahan sebesar 10 persen atas ekspor tertentu, termasuk fentanyl.
Selain upaya diplomatik dan kebijakan tarif, Trump juga mengumumkan keadaan darurat energi nasional. Langkah ini memungkinkan pemerintahannya melonggarkan peraturan lingkungan terkait pembangunan infrastruktur energi, seperti jaringan pipa dan transmisi.
Hal ini dilakukan demi meningkatkan pasokan energi domestik. Kebijakan ini dipandang sebagai cara untuk memperkuat dominasi energi AS di pasar global, meskipun konsekuensinya bisa membuat pasar minyak dunia semakin volatile.
Priyanka Sachdeva, analis dari Phillip Nova, menambahkan bahwa ketidakpastian tentang arah kebijakan tarif Trump dapat menekan permintaan minyak global lebih jauh. Sementara itu, analis OANDA Kelvin Wong memperkirakan pergerakan harga minyak akan tetap tidak menentu dalam jangka pendek, terutama jika pasokan domestik AS terus meningkat tanpa adanya kejelasan lebih lanjut mengenai kebijakan perdagangan Trump.
Dalam perkembangan lain, laporan Badan Informasi Energi (EIA) AS menunjukkan bahwa meskipun aktivitas penyulingan minyak Amerika menurun, persediaan minyak mentah dan sulingan menunjukkan penarikan lebih kecil dari yang diantisipasi, sementara stok bensin justru mengalami kenaikan. Data ini semakin menambah tekanan pada pasar yang berjuang menyeimbangkan dinamika antara pasokan dan permintaan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan kebijakan ekonomi yang tidak pasti.
Dalam situasi ini, pasar energi tampaknya terus bergerak dalam pusaran ketidakpastian yang diwarnai oleh berbagai kebijakan agresif dari Presiden Trump. Sementara konsumen mungkin menikmati dampak jangka pendek berupa harga minyak yang lebih rendah, sektor energi secara keseluruhan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan stabilitasnya di tengah iklim politik yang penuh perubahan.
Kebijakan Trump sepertinya membawa pengaruh buruk pada berbagai sektor. Sudah beberapa Minggu ini harga minyak dunia longsor, meskipun Amerika tidak memiliki banyak stok.
Pada perdagangan Rabu, 22 Januari 2025, harga minyak dunia mencatatkan level terendah dalam satu minggu terakhir.
Minyak mentah Brent, yang menjadi patokan internasional, ditutup pada harga USD79 per barel, turun 29 sen atau 0,4 persen. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi acuan utama Amerika Serikat, melemah sebesar 39 sen atau 0,5 perseb, dan berakhir di USD75,44 per barel.
Kedua jenis minyak mentah tersebut mengalami penurunan selama beberapa hari berturut-turut, dengan Brent melemah lima hari secara beruntun untuk pertama kalinya sejak September. Harga WTI juga mencatatkan penurunan empat sesi berturut-turut, yang terakhir kali terjadi pada November lalu.(*)