Logo
>

Mitra Ojol Bukan Sapi Perah, Saatnya Tarif Adil dan Transparan

Pengemudi ojol desak transparansi tarif dan pembagian insentif yang adil, kritik sistem kemitraan yang eksploitatif makin menggema ke parlemen.

Ditulis oleh Dian Finka
Mitra Ojol Bukan Sapi Perah, Saatnya Tarif Adil dan Transparan
Ketua Umum Paguyuban Mitra Online Indonesia (PMOI), Ade Armansyah, bersama perwakilan pengemudi ojol menghadiri rapat dengar pendapat di DPR RI, Rabu, 21 Mei 2025. Mereka menyuarakan tuntutan tarif adil dan transparan serta mengecam ketimpangan relasi antara aplikator dan mitra. Foto: KabarBursa/Dian Finka.

KABARBURSA.COM - Ketua Umum Paguyuban Mitra Online Indonesia (PMOI), Ade Armansyah, melontarkan kritik keras terhadap aplikator transportasi online atau ojek online (ojol) yang dinilai tidak pernah melibatkan mitra pengemudi dalam penentuan tarif dan skema insentif.

Ia menyebut hubungan kemitraan yang berjalan selama lebih dari satu dekade tidak adil dan tidak transparan, bahkan menyebut mitra seperti "sapi perah" dalam ekosistem bisnis digital ini.

“Selama ini, tidak pernah ada diskusi antara aplikator dan kami sebagai mitra. Mereka menetapkan harga dan insentif suka-suka, tanpa mempertimbangkan beban operasional yang kami tanggung,” ujar Ade dalam rapat dengar pendapat bersama anggota DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025.

Menurut Ade, istilah seperti "paket hemat" yang diperkenalkan aplikator justru merugikan para pengemudi karena menekan pendapatan. Ia menilai perusahaan hanya fokus pada efisiensi dan keuntungan, tanpa memperhatikan kesejahteraan mitra di lapangan.

Argo Tak Masuk Akal, Mitra Rugi Rp12.000 per 10 Km

Ade membeberkan tarif dasar seperti Rp3.300 per kilometer tidak realistis jika dibandingkan dengan biaya operasional harian yang harus ditanggung pengemudi. Ia mengklaim, per 10 kilometer perjalanan, mitra ojol bisa merugi hingga Rp12.000.

“Kalau mereka bisa untung 20 persen, kenapa kami tidak boleh untung 10 persen? Kami ingin keadilan. Kami juga pelaku ekonomi di lapangan,” tegasnya.

Ia menambahkan, selama ini aplikator tidak pernah menjelaskan variabel perhitungan tarif yang ditetapkan. Tidak ada kejelasan mengenai dasar penentuan insentif maupun argo, sehingga menciptakan ketimpangan antara beban kerja dan pendapatan yang diterima mitra.

Ade juga menyinggung lemahnya implementasi regulasi yang ada. Ia menyebut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2018 yang seharusnya melindungi mitra tidak pernah dijalankan secara tegas oleh aplikator.

“Seandainya regulasi itu ditegakkan dari dua tahun lalu atau bahkan sejak 10 tahun terakhir, mungkin kondisi hari ini tidak akan separah ini. Tapi faktanya, kami tidak pernah diajak bicara,” ucapnya.

Ade menekankan pentingnya membuka ruang dialog yang jujur dan setara antara aplikator dan mitra pengemudi. Tanpa keterbukaan dan keadilan dalam menentukan skema tarif, konflik semacam ini akan terus berulang dan menjadi beban sosial yang lebih besar. “Kami hanya ingin diperhitungkan secara adil. Kami bukan alat untuk memaksimalkan profit sepihak. Ini waktunya untuk bangun sistem kemitraan yang transparan dan berkeadilan,” katanya.

Ekonom Nilai Demo Ojol Ketimpangan Relasi

Ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai daerah turun ke jalan pada Selasa, 20 Mei 2025. Aksi yang digelar serentak di sejumlah titik strategis, termasuk Jakarta, menyuarakan protes terhadap ketimpangan relasi antara aplikator digital dan para mitra pengemudi yang dinilai semakin tidak adil.

Menurut Ekonom Achmad Nur Hidayat, demonstrasi ini bukan sekadar bentuk mogok kerja. Ia menyebut aksi tersebut sebagai sinyal kuat bahwa para pengemudi mulai lelah menghadapi sistem kerja yang dinilai semakin eksploitatif.

"Ini adalah peringatan keras. Ketika ribuan mitra memilih diam dengan mematikan aplikasi, itu artinya negara wajib mendengar," kata Achmad.

Lebih dari 25.000 pengemudi disebut terlibat dalam aksi tersebut. Selama 24 jam penuh, layanan pemesanan penumpang, makanan, hingga pengiriman barang nyaris lumpuh akibat pemadaman aplikasi secara massal.

Salah satu tuntutan utama mereka adalah pemangkasan komisi maksimal menjadi 10 persen. Saat ini, aplikator masih menarik potongan hingga 20 persen dari pendapatan mitra. Achmad menilai sistem kerja algoritma yang timpang dan kebijakan sepihak dari aplikator membuat posisi pengemudi menjadi tidak setara.

"Mitra bekerja tanpa kepastian. Komisi tinggi, insentif menipis, dan tidak ada ruang negosiasi. Ini relasi yang timpang, dan negara tidak boleh tinggal diam," ujarnya.

Dampak ekonomi dari aksi ini pun tidak kecil. Di Jakarta saja, transaksi yang hilang diperkirakan mencapai Rp400 miliar dengan potensi kerugian konsumen sekitar Rp158 miliar. Sementara di sisi lain, para pengemudi merelakan potensi kehilangan pendapatan sekitar Rp2,9 miliar secara kolektif demi menyuarakan keadilan.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.