KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing masuk (capital inflow) ke pasar keuangan dalam negeri sebesar Rp690 miliar pada periode 15 hingga 18 Juli 2024. Sebagian besar aliran modal asing masuk melalui pasar saham.
Bila dirinci aliran modal asing masuk melalui pasar saham sebesar Rp680 miliar dan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp400 miliar. Namun pada saat yang sama aliran modal asing keluar melalui Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp380 miliar.
“Berdasarkan data transaksi 15–18 Juli 2024, nonresiden tercatat beli neto Rp0,69 triliun terdiri dari beli neto Rp0,67 triliun di Saham dan beli neto Rp0,40 triliun di SRBI, serta jual neto Rp0,38 triliun di SBN,” ucap Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resmi, dikutip Minggu, 21 Juli 2024.
Secara kumulatif dari 1 Januari hingga 18 Juli 2024 transaksi yang terjadi adalah jual neto Rp31,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,98 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp162,15 triliun di SRBI.
Level yield surat utang Amerika Serikat atau US Treasury Note tenor 10 tahun naik ke level 4,202 persen pada Kamis, 18 Juli 2024. Nilai premi risiko investasi (credit default swap) Indonesia 5 tahun naik menjadi 74,04 basis poin pada Kamis, 18 Juli 2024 dibandingkan posisi pada Jumat, 12 Juli 2024 yang sebesar 69,58 basis poin. Sementara itu, data kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI menunjukkan posisi nilai tukar rupiah adalah Rp16.199 per dolar AS pada Jumat, 19 Juli 2024.
“BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” tegas Erwin.
SRBI Lebih Baik
Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI gacor di mata investor, bahkan aliran modal asing naik hingga Rp108 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama di bulan lalu.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, mengungkapkan bahwa per 15 Juli 2024 SRBI berhasil menarik dana hingga Rp775,4 triliun, bersama dengan instrumen lain seperti Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) yang memperoleh USD1,82 miliar, dan Suku Valas Bank Indonesia (SUVBI) yang mencapai USD267 juta.
Perry Warjiyo menekankan bahwa penerbitan SRBI telah berperan penting dalam mendukung aliran modal asing ke dalam negeri dan stabilitas nilai tukar rupiah. Data menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan posisi per 14 Juni 2024, di mana SRBI tercatat sebesar Rp666,53 triliun, SVBI sebesar USD2,3 miliar, dan SUVBI sebesar USD395 juta.
Aliran modal asing yang masuk ke instrumen-instrumen ini juga semakin meningkat, dengan kepemilikan non-residen mencapai Rp220,35 triliun atau 28,42 persen dari total outstanding SRBI per 15 Juli 2024. Sebagai perbandingan, pada bulan sebelumnya, kepemilikan asing baru mencapai Rp179,86 triliun atau 26,98 persen dari total outstanding.
Perry Warjiyo menegaskan bahwa ke depan, BI akan terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro-market dari sisi volume maupun daya tarik imbal hasil, didukung oleh kondisi fundamental ekonomi domestik yang kuat. Hal ini bertujuan untuk mendorong berlanjutnya aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan domestik.
SRBI Diburu Asing
Animo investor pada instrumen bank sentral dengan bunga diskonto tinggi, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), kian meningkat. Kalangan pemodal dari berbagai sektor berbondong-bondong menyerbu instrumen ini.
Tidak hanya pemodal asing, pemilik dan pengelola dana domestik juga makin antusias memburu SRBI. Minat yang makin terpusat pada instrumen tenor pendek ini memicu keketatan likuiditas di perbankan, menyebabkan beberapa bank menurunkan target kreditnya.
Investor dari sektor perbankan bukan satu-satunya yang menimbun SRBI. Pengelola dana di industri nonbank seperti asuransi, dana pensiun, dan reksa dana juga meningkatkan minat mereka. Data Bank Indonesia menunjukkan industri nonbank memborong SRBI sebesar Rp34,4 triliun selama Juni, naik tajam dibanding Mei yang hanya sebesar Rp1,3 triliun.
Investor asing menurunkan pembelian instrumen tenor pendek ini menjadi Rp40,3 triliun dari bulan sebelumnya sebesar Rp77 triliun. Investor asing saat ini menguasai 27 persen dari total SRBI yang beredar, sementara perbankan domestik memiliki 64 persen dan investor nonbank domestik sebanyak 6 persen.
Menurut Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan, arus masuk asing yang lebih rendah dan pembelian SRBI oleh investor domestik yang lebih tinggi bisa memicu efek crowding out yang lebih serius. SRBI, yang awalnya dirancang untuk menarik modal asing dan meningkatkan suplai valas di dalam negeri guna membantu penguatan rupiah, justru menguras likuiditas dalam negeri yang seharusnya bisa disalurkan ke obligasi pemerintah atau pasar saham.
Sejak diterbitkan pada September tahun lalu, BI telah menjual sedikitnya Rp721,06 triliun SRBI hingga akhir Juni. Imbal hasil SRBI yang jauh lebih tinggi dari bunga acuan BI rate dan yield obligasi negara (SBN) tenor terpanjang menarik hampir semua dana di pasar. Implikasinya, likuiditas semakin seret di pasar saham, obligasi, dan deposito perbankan.
Dana dari pemodal domestik lebih banyak tersedot ke instrumen bercuan tinggi ini. Data menunjukkan, posisi bank-bank komersial di SRBI dan SBN bergerak ke arah berlawanan, mengisyaratkan adanya transfer likuiditas dari SBN ke SRBI. Investor asing juga banyak menyerbu SRBI saat ini. Asing membukukan posisi net buy di SRBI sebesar Rp139,9 triliun sejak awal tahun hingga 4 Juli, sementara posisi asing di obligasi negara dan saham masih net sell masing-masing sebesar Rp32,58 triliun dan Rp9,06 triliun.
Para bankir menegaskan situasi keketatan likuiditas saat ini, terutama karena SRBI yang menyedot dana asing. Direktur Utama Bank BNI Royke Tumilaar menyebutkan bahwa SRBI menjadi tujuan utama bagi net inflow sebesar USD4,1 miliar year-to-date, sementara investor asing mencatat outflow dari pasar obligasi dan saham total USD2,1 miliar.
Arus modal asing yang tertarik masuk menstabilkan rupiah. Namun, likuiditas rupiah terserap besar melalui instrumen operasi pasar terbuka yang saat ini mencapai Rp890 triliun, atau tiga kali lipat dari posisi pra pandemi, dengan SRBI menyumbang 70 persen dari total operasi pasar terbuka. “Kesimpulannya, likuiditas agak ketat,” kata Royke. (*)