KABARBURSA.COM – Ada kabar menarin dari Morgan Stanley Capital International (MSCI). Lembaga penyusun indeks global yang menjadi acuan bagi triliunan dolar dana investasi di seluruh dunia ini kabarnya tengah menggodok perubahan besar yang berpotensi mengguncang bobot saham-saham Indonesia di dalam indeks mereka.
Dalam pengumuman resminya, pada Senin, 27 Oktober 2025, MSCI menyebut sedang melakukan konsultasi publik terkait metode baru perhitungan free float khusus untuk emiten-emiten Indonesia.
Langkah ini jarang terjadi, karena perubahan tersebut hanya ditujukan pada satu negara saja, yaitu Indonesia. Apalagi, aspek yang disasar sangat sensitif dalam komposisi indeks, persentase saham beredar bebas di publik atau free float.
Selama ini, perhitungan free float MSCI untuk saham-saham Indonesia sepenuhnya mengandalkan data dari laporan resmi perusahaan dan pengungkapan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam laporan tersebut, emiten wajib mencantumkan pemegang saham dengan kepemilikan di atas 5 persen.
Sayangnya, sejauh ini kepemilikan di bawah angka itu sering kali tidak tercermin secara rinci. Akibatnya, banyak saham yang secara teknis terlihat memiliki porsi publik besar, padahal sebagian kepemilikan sebenarnya berada di tangan pihak terafiliasi, korporasi, atau kelompok investor yang tidak aktif memperdagangkan saham di pasar.
Nah, inilah celah yang ingin diperbaiki oleh MSCI melalui kerja sama dengan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Lembaga penyimpan dan pencatat efek nasional ini memiliki data jauh lebih granular mengenai struktur kepemilikan saham di bawah 5 persen.
Seperti ini Aturan Main Hitungan MSCI Lewat KSEI
Rencana MSCI ini berpusat pada penggunaan Monthly Holding Composition Report yang diterbitkan oleh KSEI, sebagai referensi tambahan dalam menghitung free float saham Indonesia. Laporan tersebut memberikan klasifikasi pemegang saham ke dalam beberapa kategori, seperti individu, institusi, korporasi, dana, dan lainnya.
Dengan begitu, memungkinkan penghitungan yang lebih akurat terhadap siapa sebenarnya pemegang saham publik aktif. Dalam usulan metodologi baru, MSCI akan menggunakan angka terendah dari dua perhitungan, yaitu free float berdasarkan data yang dilaporkan oleh perusahaan (filings, laporan tahunan, atau pengumuman resmi), dan free float hasil estimasi dari data KSEI.
Dalam estimasi KSEI tersebut, MSCI berencana menganggap seluruh saham yang dikategorikan sebagai “Scrip shares”, atau saham fisik yang belum tercatat di sistem elektronik, serta kepemilikan yang berada di bawah klasifikasi “Corporates” dan “Others” (baik domestik maupun asing), sebagai non–free float.
Dengan kata lain, MSCI sedang berupaya membersihkan porsi saham yang dianggap “tidak benar-benar beredar” di pasar aktif, dan hasilnya bisa sangat signifikan.
CUAN, ICBP, KLBF, INDF, Berpotensi Keluar dari MSCI?
Beberapa analis memperkirakan bahwa jika metode baru ini diterapkan, sejumlah saham besar berisiko kehilangan bobot dalam indeks MSCI Indonesia, bahkan bisa tersingkir dari konstituen utama.
Nama-nama seperti CUAN, ICBP, KLBF, dan INDF disebut sebagai kandidat paling rentan karena struktur kepemilikan mereka memiliki porsi besar dari korporasi dan afiliasi yang tercatat di kategori “Others”.
Ini artinya, jika metodologi baru benar-benar diimplementasikan, akan terjadi potensi outflow dari dana pasif global yang selama ini mengikuti indeks MSCI.
Menariknya, MSCI juga telah menyiapkan mekanisme phasing-in untuk menghindari guncangan besar di pasar. Untuk saham-saham yang sudah masuk dalam indeks IMI (Investable Market Index), perubahan akan berlaku secara resmi pada review Mei 2026.
Sementara, bagi saham-saham non-IMI atau calon konstituen baru, aturan ini akan diterapkan segera. Dengan cara ini, MSCI berupaya mencegah terjadinya reverse turnover, yakni keluarnya dana besar-besaran secara tiba-tiba akibat perubahan metodologi.
Selain itu, mereka juga berencana mengadopsi metode pembulatan (rounding) baru untuk penentuan free float. Jika porsi free float lebih dari 25 persen, nilainya akan dibulatkan ke angka terdekat kelipatan 2,5 persen.
Sedangkan untuk free float antara 5–25 persen, pembulatan akan menggunakan kelipatan 0,5 persen. Aturan baru ini akan mulai berlaku pada May 2026 review dan turut mempengaruhi hasil akhir bobot saham di indeks.
Konsultasi ini sendiri terbuka hingga 31 Desember 2025, dengan hasil akhir akan diumumkan pada atau sebelum 30 Januari 2026. Artinya, pasar masih memiliki waktu dua bulan untuk menyampaikan pendapat, memberikan masukan, atau bahkan melobi agar metodologi tidak terlalu menekan bobot saham domestik.
Namun, sinyal dari MSCI cukup jelas, bahwa mereka ingin meningkatkan akurasi dan transparansi dalam perhitungan porsi saham publik Indonesia, yang selama ini dianggap terlalu bergantung pada data self-reporting dari emiten.
Dari sisi KSEI, langkah ini menjadi bentuk pengakuan internasional terhadap kredibilitas data kepemilikan mereka. Laporan bulanan KSEI telah lama digunakan oleh pelaku pasar domestik untuk memantau perubahan posisi pemegang saham besar dan asing, namun baru kali ini diusulkan menjadi komponen resmi dalam metodologi global seperti MSCI.
Jika wacana ini benar-benar terealisasi, Indonesia akan menjadi negara pertama di kawasan Asia yang perhitungan free float-nya mengacu langsung pada data kustodian nasional, bukan hanya laporan korporat.
Secara keseluruhan, perubahan ini dapat membawa dua dampak besar. Pertama, dari sisi kredibilitas pasar, aturan baru akan memperkuat transparansi dan memberikan cerminan yang lebih realistis terhadap likuiditas saham di Indonesia.
Namun di sisi lain, dari perspektif investasi jangka pendek, efeknya bisa negatif karena sebagian besar emiten besar memiliki kepemilikan yang terkonsentrasi pada kelompok usaha dan institusi lokal.
Dengan demikian, proporsi free float yang sebenarnya bisa turun drastis, memaksa dana indeks global untuk memangkas porsi mereka. Dalam jangka panjang, langkah ini bisa memacu perusahaan untuk memperbesar porsi publik demi menjaga daya tarik di mata investor global.
Saat ini, keputusan akhir masih menunggu masukan pasar. Tetapi jika MSCI benar-benar menerapkan metodologi berbasis data KSEI ini, maka struktur kepemilikan dan bobot saham Indonesia di indeks global akan mengalami pergeseran besar. Ini menjadi babak baru yang dapat mengubah peta investasi asing di Bursa Efek Indonesia, mulai pertengahan 2026.(*)