KABARBURSA.COM - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengungkap berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industri multifinance pada 2024.
Ketua Umum APPI, Suwandi Wiratno, mengungkapkan bahwa industri ini sempat mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 15 persen pada 2023. Namun, ia menyebut bahwa perlambatan sudah terasa sejak kuartal IV-2023.
"Berbagai alasan menjadi penyebabnya. Mungkin karena pemilu pada awal 2024. Setelah pemilu, ada alasan lain, yaitu pilkada akhir tahun," ujarnya dalam acara Non Bank Financial Forum 2024 di Kempinski Hotel, Jakarta Pusat, Senin 29 Juli 2024 lalu.
Suwandi menambahkan, perlambatan ini diiringi dengan peningkatan Non Performing Financing (NPF) di industri. NPF naik tajam dari rata-rata 2,2 persen-2,3 persen menjadi 2,82 persen pada April 2024, dan sedikit turun menjadi 2,77 persen pada Mei 2024.
Penyebab lain dari menurunnya kinerja perusahaan pembiayaan dan meningkatnya NPF adalah daya beli masyarakat yang melemah dan tabungan kelas menengah ke bawah yang minim. Selain itu, volume penjualan kendaraan roda empat juga menurun. Target penjualan sekitar 1 juta unit mungkin akan ditutup di angka 850 ribu tahun ini.
Meski demikian, Suwandi tetap optimistis bahwa industri pembiayaan bisa meraih pertumbuhan dobel digit. Menurutnya, perlambatan ini hanya sementara, dan perusahaan pembiayaan diyakini akan mendapatkan potensi debitur yang lebih berkualitas ke depannya.
"Kami bisa tetap bertumbuh di sekitar 9 persen-10 persen dan berharap 12 persen. Saya yakin perusahaan pembiayaan akan tetap tumbuh, termasuk dalam pemerintahan yang baru," katanya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan pembiayaan kendaraan masih memiliki peluang tumbuh di kisaran 9 persen-11 persen hingga akhir 2024. OJK mencatat piutang pembiayaan perusahaan multifinance sebesar Rp 490,69 triliun pada Mei 2024, yang tumbuh 11,21 persen Year on Year (YoY). Pertumbuhan ini lebih kuat dibandingkan pencapaian April 2024, dengan pertumbuhan 10,82 persen YoY dan nilai piutang Rp 486,35 triliun.
Agar diketahui, beberapa hal yangmempengaruhi NPF yaitu Perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga, atau ketidakstabilan politik dapat meningkatkan NPF karena kemampuan nasabah untuk membayar utang akan menurun. Perusahaan dengan portofolio pembiayaan yang berkualitas rendah, seperti pembiayaan ke sektor yang berisiko tinggi, cenderung memiliki NPF yang lebih tinggi. Efisiensi dan efektivitas praktik penagihan dapat mempengaruhi tingkat NPF. Perubahan regulasi perbankan dapat berdampak pada tingkat NPF, misalnya perubahan persyaratan kredit atau kebijakan restrukturisasi utang.
Tantangan Multifinance
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengidentifikasi sejumlah tantangan dalam pengembangan bisnis perusahaan pembiayaan pada 2024. Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, menyoroti ketergantungan tinggi perusahaan pembiayaan pada pinjaman perbankan, dengan proporsi mencapai 91,19 persen dari total pendanaan per Desember 2023.
"Industri perusahaan pembiayaan perlu mengoptimalkan pemanfaatan asetnya dalam penyaluran pembiayaan, yang terlihat dari indikator Financing to Asset Ratio (FAR)," ungkap Agusman dalam peluncuran Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayan 2024-2028 di Jakarta Maret lalu.
FAR industri pembiayaan konsisten di atas 80 persen selama periode 2017-2023, namun distribusi FAR masih belum merata, dengan 50 persen perusahaan memiliki FAR di bawah 80 persen.
Agusman menambahkan, ada peluang bisnis yang bisa dioptimalkan, seperti pembiayaan ramah lingkungan (sustainable finance) dan pembiayaan syariah.
Meski menghadapi tantangan, Agusman tetap optimis dengan pertumbuhan industri pada 2024, didukung kinerja yang baik. Outstanding pembiayaan di Desember 2023 tumbuh 13,23 persen yoy, mencapai Rp470,86 triliun, dengan kualitas risiko pembiayaan yang terjaga di NPF 2,44 persen.
Sebagian besar pembiayaan industri masih didominasi oleh pembiayaan multiguna atau konsumtif, mencapai 52 persen per Desember 2023. Sementara itu, pembiayaan untuk UMKM pada periode yang sama sebesar 35,26 persen.
Agusman juga menyatakan bahwa suksesnya pesta demokrasi 2024 akan meningkatkan kepercayaan pelaku bisnis, termasuk dalam industri pembiayaan, yang optimis terhadap perekonomian nasional.
Menurut data yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Maret 2024, piutang multifinance pada Januari 2024 mengalami sedikit perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya. Piutang multifinance naik 14,57 persen yoy menjadi Rp 420,6 triliun pada Januari 2023, namun peningkatan ini sedikit melambat pada Januari 2024.
Rasio pembiayaan bermasalah (nonperforming financing/NPF) gross meningkat dari 2,4 persen pada Januari 2023 menjadi 2,5 persen di Januari 2024. NPF net juga mengalami kenaikan dari 0,66 persen menjadi 0,69 persen. Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan gearing ratio dari 2,03 kali menjadi 2,24 kali.
Sementara itu, pertumbuhan penyaluran dana oleh fintech peer to peer (P2P) lending mengalami pelambatan signifikan. Pada Januari 2024, P2P lending mencatat pembiayaan sebesar Rp 60,42 triliun, naik 18,4 persen yoy. Namun, pertumbuhan ini jauh lebih rendah dibandingkan peningkatan 63,47 persen yoy yang tercatat pada bulan yang sama tahun sebelumnya, dengan nilai pembiayaan mencapai Rp 51,03 triliun.
Seiring dengan multifinance, risiko pembiayaan di sektor P2P lending juga meningkat. Tingkat wanprestasi 90 (TWP90) naik dari 2,75 persen menjadi 2,95 persen.
Pembiayaan modal ventura mengalami koreksi tahunan, turun dari Rp 17,93 triliun menjadi Rp 16,4 triliun. Sedangkan, penyaluran pinjaman lembaga keuangan mikro (LKM) mengalami peningkatan tipis dari Rp 1 triliun menjadi Rp 1,01 triliun. (*)