Logo
>

Nikel Dunia Kelebihan Pasokan: Sinyal Waspada Emiten Tambang?

Surplus nikel global berlanjut hingga 2026, dipicu lonjakan produksi Indonesia. Meski prospek jangka panjang cerah, harga nikel masih berisiko tertekan akibat pasokan berlebih.

Ditulis oleh Yunila Wati
Nikel Dunia Kelebihan Pasokan: Sinyal Waspada Emiten Tambang?
Ilustrasi nikel Indonesia. Foto: Shutterstock.

KABARBURSA.COM - Prospek pasar nikel global untuk 2026 diperkirakan masih akan berada dalam kondisi surplus. Kerlebihan pasokan ini memperpanjang tren selama tiga tahun berturut-turut. 

Berdasarkan proyeksi terbaru dari Sumitomo Metal Mining (SMM), salah satu perusahaan peleburan nikel terbesar di Jepang, surplus tahun depan diperkirakan mencapai 256.000 metrik ton. Angka itu hanya sedikit lebih rendah dibanding estimasi 263.000 ton pada 2025. 

Fakta ini menandakan bahwa pasar nikel masih akan menghadapi tekanan dari sisi harga, terutama karena suplai yang terus bertambah jauh lebih cepat dibanding permintaan.

SMM menyebutkan bahwa Indonesia menjadi kontributor utama terhadap surplus ini, lewat pertumbuhan agresif produksi nickel pig iron (NPI) dan produk olahan lainnya. Produksi NPI Indonesia diperkirakan melonjak 4,1 persen menjadi 1,76 juta ton pada 2026, setelah sebelumnya sempat meningkat lebih dari 10 persen pada 2025. 

Pertumbuhan ini mencerminkan keberhasilan program hilirisasi pemerintah yang mendorong ekspansi smelter dan peningkatan kapasitas produksi di berbagai sentra industri nikel seperti Sulawesi dan Maluku Utara. 

Namun, di sisi lain, lonjakan pasokan ini justru berpotensi menciptakan over-supply global, yang bisa menekan harga nikel dunia dalam jangka pendek hingga menengah.

Komsumsi Nikel Diperkirakan Melambat, Harga Tetap Tertekan

Permintaan nikel global menurut SMM masih akan tumbuh, namun dengan laju yang lebih lambat dibanding peningkatan pasokan. Pada 2026, konsumsi nikel global diproyeksikan naik 2,4 persen year-on-year menjadi 3,52 juta ton, terutama ditopang oleh industri stainless steel yang tetap menjadi pengguna terbesar logam ini. 

Di sisi lain, pasokan global diperkirakan meningkat 2,0 persen menjadi 3,78 juta ton, sehingga menghasilkan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Surplus inilah yang membuat harga nikel berisiko tetap tertahan di level rendah, bahkan ketika fundamental jangka panjang komoditas ini masih menjanjikan.

Faktor lain yang membebani prospek nikel adalah melambatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV). Meski nikel merupakan komponen penting dalam pembuatan baterai lithium-ion berbasis NCM (nickel-cobalt-manganese), permintaan dari sektor ini mengalami perlambatan akibat meningkatnya dominasi baterai lithium iron phosphate (LFP) yang lebih murah dan tidak menggunakan nikel maupun kobalt. 

Data International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa pada 2023, dua pertiga dari penjualan EV di China menggunakan baterai LFP. Kondisi ini menjelaskan mengapa SMM memperkirakan permintaan nikel untuk baterai global hanya naik sekitar 10.000 ton menjadi 470.000 ton pada 2026, jauh lebih kecil dibanding ekspansi produksi dari sisi pasokan.

Prospek Cerah: China Batasi Penggunaan Baterai LFP

Meski demikian, SMM tetap melihat prospek jangka panjang nikel akan kembali cerah. Alasannya, China mulai membatasi ekspor teknologi baterai LFP, yang bisa mendorong kebangkitan kembali penggunaan nikel dalam baterai EV konvensional berkapasitas tinggi. 

Jika tren ini terjadi, maka permintaan jangka panjang untuk nikel berpotensi pulih, terutama setelah pasar melewati fase penyesuaian terhadap kelebihan pasokan.

Bagi Indonesia, posisi sebagai produsen nikel terbesar di dunia, memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, ekspansi industri smelter domestik memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global dan memberi kontribusi besar terhadap neraca perdagangan. 

Namun di sisi lain, produksi berlebihan bisa membuat harga jual nikel Indonesia tertekan, hingga menggerus margin profitabilitas bagi perusahaan tambang dan pengolah nikel di dalam negeri.

Perhatikan INCO hingga NCKL

Dalam konteks emiten di Bursa Efek Indonesia, kondisi ini menuntut investor untuk lebih selektif. Emiten seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) masih menjadi perhatian utama karena skala operasional besar dan keterlibatan langsung dalam ekspor maupun hilirisasi nikel. 

Namun, keduanya juga berpotensi menghadapi tekanan laba akibat penurunan harga nikel global. INCO, misalnya, memiliki ketergantungan tinggi terhadap harga nikel dunia, sehingga surplus global bisa menekan margin, meski fundamental keuangannya relatif solid. 

Sementara ANTM yang memiliki diversifikasi bisnis di emas, bauksit, dan logam dasar lainnya, mungkin lebih terlindungi, tetapi tetap sensitif terhadap fluktuasi nikel.

Selain itu, emiten hilir seperti Harita Nickel atau Trimegah Bangun Persada (NCKL) dan Merdeka Battery Materials (MBMA) patut diperhatikan karena menjadi bagian dari rantai pasok bahan baku baterai dan memiliki proyek pemurnian serta produksi high pressure acid leach (HPAL). 

Meski sektor hilir bisa menjadi penyeimbang dalam jangka panjang, tekanan harga jangka pendek tetap berisiko menurunkan profit margin dan menunda ekspansi beberapa proyek baru.

Secara keseluruhan, pasar nikel global tengah berada di fase koreksi structural, di mana produksi yang tumbuh cepat tidak diimbangi dengan pertumbuhan permintaan yang setara. 

Untuk Indonesia, situasi ini menunjukkan keberhasilan dari sisi volume produksi, tetapi juga menantang dari sisi profitabilitas dan daya saing harga. 

Dalam kondisi surplus ini, investor disarankan lebih berhati-hati terhadap saham-saham nikel, karena kenaikan harga jangka pendek lebih mungkin didorong oleh spekulasi teknikal dibanding oleh perbaikan fundamental.

Prospek jangka menengah masih bergantung pada kebijakan China dan pergeseran tren baterai global. 

Namun hingga 2026, pasar nikel Indonesia dan dunia masih akan bergulat dengan harga rendah akibat kelebihan pasokan, menjadikan saham-saham nikel lebih cocok sebagai instrumen trading jangka pendek, bukan investasi jangka panjang berbasis nilai.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79