KABARBURSA.COM – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkap adanya perusahaan yang memiliki sertifikat tanah di dalam kawasan hutan. Menurutnya, perusahaan tersebut telah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), meski berada di area yang seharusnya dilindungi.
“Ada suatu perusahaan atau tanah yang sudah disertifikatkan dalam bentuk SHM ataupun SHGU dalam perjalanan ternyata tiba-tiba itu muncul masuk kawasan hutan,” ujar Nusron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.
Meski begitu, Nusron tak membeberkan profil perusahaan yang menyerobot kawasan hutan tersebut. Ia lantas mengungkap kasus lain di mana pemetaan perusahaan menunjukkan adanya penyerobotan kawasan hutan, namun tetap memiliki sertifikat hak atas tanah.
Untuk mencegah masalah ini semakin meluas, politisi Partai Golkar tersebut menegaskan Kementerian ATR/BPN akan bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan guna memastikan penerbitan sertifikat tanah tidak bertentangan dengan batas kawasan hutan.
“Kita menggunakan asas mana yang paling dahulu, kalau ada hutan dulu baru ada SHGU atau SHM, maka akan kita menangkan hutannya,” jelas Nusron.
Sebagai tindak lanjut, ATR/BPN akan membatalkan sertifikat tanah perusahaan yang terbukti menyerobot kawasan hutan. Jika SHM dan SHGU sudah terlanjur diterbitkan di wilayah hutan, Nusron menyebut Kementerian Kehutanan akan menghapus area tersebut dari daftar tanah yang dimiliki perusahaan bersangkutan.
Di samping itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Transmigrasi, mengingat ada sekitar 800 ribu hektare lahan transmigrasi berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang ternyata berada dalam kawasan hutan. “Itu pun tumpang-tindih dengan hutan, kadang-kadang kawasan transmigrasi ini ketika program PTSL ini banyak sekali yang didaftarkan dalam sertifikat sebagai program PTSL,” katanya.
Nusron mengatakan ATR/BPN akan memasukkan unsur kehutanan dan transmigrasi dalam program Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP). Langkah ini dipastikan tidak akan berdampak pada kenaikan anggaran tahun ini.
ILASP sendiri merupakan proyek yang bertujuan mengintegrasikan administrasi pertanahan dengan perencanaan tata ruang. Program ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Tata Ruang bekerja sama dengan World Bank untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) serta Rencana Tata Ruang (RTR) Nasional.
“Sampai dua tahun ini belum, tapi mungkin tahun ketiga, tahun keempat, tahun kelima, mungkin akan nambah biaya. Selanjutnya kita nanti untuk tambahan biayanya akan kita bahas bersama lagi dengan Kementerian Keuangan dan dengan World Bank karena ini adalah dana pinjaman dari World Bank,” kata Nusron.
Lahan Sawit tanpa HGU
[caption id="attachment_113424" align="alignnone" width="675"] Bentangan perkebunan sawit milik PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Foto: Dok. SIMP.[/caption]
Langkah ATR/BPN dalam menangani persoalan lahan yang tumpang-tindih dengan kawasan hutan sejalan dengan upaya DPR dalam menegakkan hukum pertanahan dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor agraria. Salah satu isu yang menjadi perhatian DPR adalah keberadaan jutaan hektare lahan sawit yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) namun belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak lahan.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan DPR tengah menyoroti keberadaan 2,5 juta hektare lahan sawit yang telah mengantongi IUP tetapi belum memiliki HGU. Rifqinizamy mengatakan tanpa status HGU, lahan tersebut tidak dapat dikenakan pajak yang pada akhirnya merugikan negara.
“Jika tidak memiliki HGU, maka kewajiban pajak dan pungutan lainnya belum bisa diterapkan. Ini tentu merugikan negara,” ujarnya dalam rapat bersama Menteri ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 30 Januari 2025.
[caption id="attachment_116778" align="alignnone" width="700"] Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda (kanan) dan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid (kiri) berbicara kepada awak media usai melaksanakan rapat Komisi II DPR RI membahas evaluasi kinerja Kementerian ATR/BPN Tahun 2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Januari 2025. Foto: KabarBursa/Dian Finka.[/caption]
Untuk mengatasi hal tersebut, DPR dan Kementerian ATR/BPN memberikan tenggat waktu hingga 3 Desember 2025 bagi perusahaan yang telah mengajukan permohonan HGU agar segera memperoleh izin tersebut. Sementara itu, bagi perusahaan yang masih memiliki IUP namun belum mengajukan HGU, Komisi II membuka peluang revisi undang-undang agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan negara.
Selain memastikan kepastian hukum lahan sawit, Rifqinizamy juga menegaskan penyelesaian konflik agraria dan pemberantasan mafia tanah tetap menjadi prioritas DPR bersama Kementerian ATR/BPN. “Kami terus mendorong program sertifikasi tanah untuk rakyat, meskipun anggaran terbatas. Targetnya, seluruh tanah di Indonesia dapat terdaftar dan sebagian besar bisa tersertifikasi pada tahun depan,” katanya.(*)