KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan kembali menggelar Bulan Fintech Nasional (BFN) 2024 dengan menggandeng sejumlah asosiasi, yaitu Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), Fintech Indonesia dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan IAKD OJK Djoko Kurnijanto, menyebutkan bahwa acara Bulan Fintech Nasional ini akan berlangsung selama satu bulan penuh, dimulai dari 11 November hingga 12 Desember 2024, dengan puncak kegiatan digelar pada 12-13 November melalui Indonesia Fintech Summit and Expo (IFSE) 2024.
Djoko menjelaskan bahwa IFSE 2024 merupakan kali keenam acara ini digelar sejak pertama kali diadakan pada 2019. Seperti tahun-tahun sebelumnya, IFSE akan mencakup dua agenda utama, yaitu Summit dan Expo
“IFSE 2024 ini merupakan IFSE yang ke-6, setelah sebelumnya pertama kali diselenggarakan di tahun 2019. Dan di tahun ini, sebagaimana juga di tahun-tahun sebelumnya, itu ada dua kegiatan utama di IFSE, yaitu kegiatan Summit itu sendiri dan kegiatan Expo,” kata Djoko dalam konferensi pers Pre-event Media Gathering Bulan Fintech Nasional, Senin 4 November 2024.
Dia mengatakan, bulan Fintech Nasional tahun ini mengusung tema "Technology Convergence, Shaping the Future of Finance and Beyond," yang dianggap sangat relevan mengingat peran penting teknologi dalam kehidupan sehari-hari, terutama di sektor keuangan.
"Teknologi inilah yang kemudian akan menggambarkan bagaimana future finance ke depan,” ujarnya.
Ia pun menambahkan bahwa teknologi saat ini menjadi penghubung bagi berbagai sektor keuangan, termasuk perbankan, asuransi, pasar modal, serta pendanaan bersama (B2PL), yang semuanya memanfaatkan teknologi untuk menciptakan inovasi dan kolaborasi lebih baik di masa depan.
“Makanya kenapa kami menggunakan topik Technology Convergence, karena memang disitulah titik temunya dari beberapa sektor di keuangan. Jadi apakah itu perbankan, asuransi, pasar modal, di B2PL, apakah juga di sektor-sektor pendukung lainnya, di sektor keuangan, semuanya menggunakan teknologi," kata dia.
Selain itu, Djoko menuturkan, penyelenggaraan BFN dan IFSE 2024 merupakan wujud kolaborasi dan komitmen antar pemangku kepentingan termasuk dari otoritas, asosiasi dan industri dalam mewujudkan industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer to peer (P2P) lending yang sehat dan kuat.
“Pesannya pasti adalah bagaimana kita bisa menciptakan suatu industri fintech ini dengan lebih sehat dan lebih bermanfaat untuk ekonomi digital Indonesia,” tuturnya.
Menurut dia, selain untuk meningkatkan literasi keuangan digital, kolaborasi dan kemitraan juga menjadi modal penting dalam mengembangkan industri fintech P2P lending yang lebih tangguh ke depan.
Penyelenggaraan BFN mendapat dukungan dari asosiasi terkait seperti Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI).
“Ayo kita bersama-sama untuk bisa mengembangkan ekonomi digital untuk menjadi lebih baik lagi melalui serangkaian kolaborasi dan kemitraan,” ujarnya.
Melalui BFN, diharapkan masyarakat luas dan para pemangku kepentingan dapat memperoleh pemahaman dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang layanan dan produk industri fintech P2P lending beserta risikonya sehingga dapat mengelola keuangan demi peningkatan kesejahteraannya dan menghindari pinjaman online ilegal atau tak memiliki izin dari OJK.
Adapun BFN 2024 didukung oleh kolaborasi antara asosiasi industri dan regulator, yang didedikasikan untuk meningkatkan pendidikan dan literasi dalam fintech sambil menginspirasi adopsi teknologi keuangan yang inovatif.
Utang Paylater Masyarakat Naik Dua Kali
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa pembiayaan melalui layanan buy now pay later (BNPL) atau paylater mengalami peningkatan yang signifikan hingga September 2024.
Data terbaru menunjukkan bahwa nilai outstanding pembiayaan BNPL yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan pembiayaan telah mencapai Rp8,24 triliun. Angka ini mencatat pertumbuhan sebesar 103,40 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Agustus 2024 yang mencapai 89,20 persen.
Namun, pertumbuhan yang cepat ini juga diiringi oleh peningkatan rasio pembiayaan bermasalah, atau non-performing financing (NPF) gross, yang naik dari 2,52 persen di bulan Agustus menjadi 2,60 persen pada September. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun permintaan terhadap layanan paylater meningkat, ada risiko yang mengintai terkait kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka.
Sektor perbankan juga tidak ketinggalan dalam mencatat lonjakan penyaluran paylater. Outstanding kredit BNPL di perbankan nasional mencapai Rp19,81 triliun pada September, tumbuh 46,42 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini pun lebih tinggi dibandingkan dengan angka Agustus yang tercatat sebesar 40,68 persen.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa pertumbuhan pesat pembiayaan BNPL perlu dicermati oleh para pemangku kepentingan. Menurutnya, lonjakan pembiayaan ini terjadi di tengah tanda-tanda pelemahan daya beli masyarakat, yang tercermin dari deflasi bulanan yang berlangsung dari Mei hingga September 2024.
“Saya melihat bahwa dorongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetap tinggi, meskipun kondisi ekonomi tidak sepenuhnya baik,” ungkap Huda, Sabtu, 2 November 2024.
Huda juga mengingatkan bahwa meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) telah memaksa banyak orang untuk mencari alternatif pendanaan, termasuk paylater.
Keterjangkauan dan kemudahan dalam proses pendaftaran dan pengajuan paylater menjadi salah satu alasan mengapa layanan ini semakin diminati masyarakat.
“Proses pengajuan kartu kredit yang lebih rumit dan ketidakpastian dalam penerimaannya membuat banyak orang lebih memilih paylater,” jelasnya.
Di balik kemudahan akses ini, terdapat potensi risiko pembiayaan bermasalah yang perlu diwaspadai. Huda menjelaskan bahwa proses penyaringan debitur untuk layanan paylater cenderung lebih lemah, sehingga memunculkan kekhawatiran mengenai kemampuan bayar debitur. Banyak dari pembiayaan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, dan saat cicilan utang melebihi pendapatan, debitur berisiko mengalami kesulitan dalam pembayaran.
“Ketika kewajiban cicilan melebihi pendapatan, tidak jarang kita melihat pembayaran cicilan menjadi terhambat,” kata Huda.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam menawarkan dan memanfaatkan layanan paylater, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Dengan laju pertumbuhan pembiayaan BNPL yang terus meningkat, OJK dan pihak terkait perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat untuk mengurangi risiko pembiayaan bermasalah. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan melindungi konsumen dari jeratan utang yang tidak terkelola dengan baik.
Seiring dengan dinamika yang terjadi, konsumen juga diharapkan lebih bijak dalam menggunakan layanan paylater. Memahami batasan kemampuan finansial dan memilih opsi pembiayaan yang tepat menjadi kunci untuk menghindari masalah di masa depan. Dengan demikian, meskipun paylater menawarkan kemudahan dan aksesibilitas, tanggung jawab dalam mengelola keuangan tetap harus diutamakan.
Dengan latar belakang ini, perkembangan lebih lanjut dari industri pembiayaan, khususnya yang terkait dengan BNPL, akan menjadi perhatian penting untuk berbagai pemangku kepentingan. Penelitian lebih mendalam mengenai dampak sosial dan ekonomi dari pertumbuhan ini juga diperlukan untuk menciptakan kerangka regulasi yang lebih baik dalam mendukung ekosistem keuangan yang sehat.
Ke depan, semua pihak diharapkan dapat berkolaborasi untuk menciptakan solusi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi juga menjaga kesehatan sektor keuangan. (*)