KABARBURSA.COM - Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein menilai, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mampu menjadi penyidik tunggal dalam memproses financial crime yang terjadi pada industri jasa keuangan.
Sebagaimana diketahui, OJK diberi kewenangan sebagai penyidik tunggal dalam mendindak finansial crime pada industri keuangan. Adapun ketetapan itu termakrub dalam Pasal 49 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Pada akhir tahun 2023, diketahui pasal tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun gugatan itu merevisi kewenagan OJK sebagai penyidik tunggal atas kasus financial crime yang terjadi di sektor jasa keuangan dengan alasan pasal tersebut mengabaikan sistem peradilan pidana terpadu.
“Sayang OJK, sekali lagi saya mohon maaf, tidak siap menjadi penyidik walaupun Undang-Undang P2SK sejak Januari tahun lalu sudah menetapkan dia (OJK sebagai) penyidik Tunggal. Digugat oleh orang di MK, berubah, di tambah jadi Kepolisian,” kata Yunus dalam salah satu acara webinar bertajuk ‘Hati-Hati Modus Financial Crime di Sektor Keuangan’, Selasa, 13 Agustus 2024.
Yunus sendiri sempat menegaskan kesiapan OJK sebagai penyidik tunggal kepada Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara. Saat itu, kata dia, Mirza mengaku lembaganya belum siap menjadi penyidik tunggal.
“Waktu itu (kata Mirza), ‘Oh belum siap, Pak. Karena harus Pendidikan, harus sertifikasi.’ Dan sampai sekarang, OJK tidak terlalu siap untuk menjadi penyidik,” jelasnya.
Saat ini, kata Yunus, di OJK sendiri memiliki dua penyidik, yakni internal dan penyidik dari pihak Kepolisian. Dengan sumber daya yang ada, dia berharap koordinasi kedua lembaga tersebut bisa berjalan dengan baik dalam menindak kasus financial crime di industri jasa keuangan.
“Penyidik begitu banyak, tolong dikoordinasikan dengan baik. Perlu (memperkuat) pencegahan-pencagahan dari orang-orang yang bisa melarikan diri, menghindari kewajiban-kewajibannya (hukum) ini,” tegasnya.
Lebih jauh, Yunus menekankan, financial crime merugikan banyak pihak. Tidak hanya masyarakat, tetapi juga industri jasa keuangan secara keseluruhan dan reputasi otoritas terkait.
“Kalau masyarakat rugi, industri namanya kurang baik. Kalau industri kurang baik, otoritas namanya, reputasinya, bisa terganggu juga,” tutupnya.
Keterlibatan Polri
Ketua Komisi Kejaksaan, Pujiyono Suwandi, menyampaikan rasa syukur karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak lagi memegang mandat penuh sebagai penyidik tunggal dalam kasus kejahatan keuangan di industri jasa keuangan. Ia menekankan bahwa kesiapan penyidik adalah hal penting yang harus diperhatikan, terutama karena pendidikan dan sertifikasi menjadi standar yang menentukan kelayakan seorang penyidik dalam menjalankan tugasnya.
"Kita sebenarnya bersyukur meskipun dulu desainnya Undang-Undang PPSK itu adalah OJK itu selain menjadi otoritas tunggal juga menjadi penyidik tunggal di sektor jasa keuangan. Tapi kita bersyukur karena memang belum ada kesiapan itu maka penyidik polisi itu bisa punya kewenangan untuk masuk di jasa keuangan,” kata Pujiyono.
Meski demikian, Pujiyono mencatat bahwa hingga saat ini, proses penyidikan di sektor jasa keuangan masih didominasi oleh penyidik internal OJK. Keterlibatan Polisi dalam sektor ini belum terlalu mendalam, yang menunjukkan adanya kebutuhan untuk memperkuat kolaborasi antara OJK dan pihak kepolisian.
"Kalau mau ya segera saja tingkatkan kapasitas, belajar dengan lebih akselerasi yang lebih cepat, terus kemudian jangan sungkan-sungkan koordinasi dengan penyidik kepolisian itu diintensifkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pujiyono menegaskan bahwa penyidikan di OJK memerlukan spesialisasi khusus. Saat ini, Indonesia masih kekurangan penyidik yang memiliki spesialisasi tersebut, yang tercermin dari jumlah penyidik yang telah tersertifikasi. Hal ini menunjukkan pentingnya upaya untuk meningkatkan jumlah dan kualitas penyidik yang memiliki spesialisasi di sektor keuangan.
Pujiyono juga berharap agar OJK tidak hanya mampu mengawal proses penyidikan hingga tahap P21 di pengadilan, tetapi juga mampu memastikan adanya pemulihan aset yang hilang atau dicuri, yang sering kali menjadi permasalahan yang belum terselesaikan secara memadai. Pemulihan aset menjadi aspek penting dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan keuangan, karena kerugian yang dialami oleh nasabah sering kali jauh lebih besar dibandingkan dengan aset yang berhasil disita oleh penyidik.
“Jadi aset recovery-nya juga perlu diperhatikan. Dan kita kan punya PR juga di asset recovery dalam kejahatan tindak pidana apapun. Pasti antara kerugian negara, kerugian yang diterima oleh publik, masyarakat termasuk, itu dibanding aset yang kemudian bisa disita aset yang disita itu lebih kecil (angkanya),” tutupnya.
Pujiyono menggarisbawahi bahwa masalah pemulihan aset ini tidak hanya relevan untuk kejahatan di sektor jasa keuangan, tetapi juga untuk kejahatan-kejahatan lainnya. Ia menekankan pentingnya kerjasama lintas lembaga dalam menangani masalah ini, agar penyelesaian kasus kejahatan keuangan dapat lebih efektif dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang dirugikan. (*)