Logo
>

OJK Beri Sinyal AI dalam Perbankan Memiliki Risiko

Ditulis oleh Syahrianto
OJK Beri Sinyal AI dalam Perbankan Memiliki Risiko

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Penggunaan Artificial Intelligence (AI) semakin meluas di berbagai sektor, termasuk perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengatur industri mengingatkan perbankan untuk berhati-hati dalam mengadopsi AI dalam operasional mereka.

    Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa ada berbagai risiko penyalahgunaan AI yang dapat merugikan konsumen bank. Meski AI juga memiliki manfaat dalam membantu proses bisnis bank, potensi risiko seperti bias algoritma, deepfakes, dan kemampuan AI membuat keputusan sendiri harus diwaspadai.

    Dian menekankan pentingnya perbankan memahami mekanisme kerja AI agar dapat memanfaatkannya secara optimal, sambil tetap mengantisipasi kemungkinan risiko yang muncul.

    Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perbankan telah menggunakan AI di beberapa area seperti otomatisasi pekerjaan untuk chatbot/voice assistant, pemrosesan dokumen, pemantauan transaksi, pendeteksian penipuan dan pencucian uang, serta mesin keputusan untuk membantu proses penilaian kredit.

    Pemanfaatan AI ini juga membawa dampak positif pada operasional bisnis bank, terutama dalam meningkatkan efisiensi melalui otomatisasi pekerjaan.

    Dian menjelaskan bahwa penerapan AI di Indonesia masih beragam karena perbedaan model bisnis, penggunaan teknologi, sumber daya manusia, finansial, dan struktur organisasi di antara bank. Untuk memastikan bahwa penggunaan AI dilakukan dengan bertanggung jawab, adil, transparan, dan sesuai dengan nilai-nilai etika, OJK sedang menyusun panduan tata kelola AI untuk perbankan.

    Selain itu, Dian menegaskan bahwa OJK telah menerbitkan POJK No. 11/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum dan POJK No. 21/2023 tentang Layanan Digital oleh Bank Umum. Aturan tersebut mengharuskan bank untuk mengadopsi Teknologi Informasi (TI) dalam pelayanan Layanan Digital secara bertanggung jawab.

    “Kepentingan nasabah atau konsumen harus diperhatikan dengan seksama,” ujarnya.

    Sebelumnya, laporan terbaru dari Citi Global Perspectives & Solutions (Citi GPS) yang bertajuk “AI in Finance: Bot, Bank & Beyond”, menyebutkan total profit perbankan dunia bisa meningkat sebesar USD170 miliar atau Rp2.775,25 triliun (kurs Rp16.325) atau tumbuh 9 persen pada tahun 2028.

    Alhasil, total laba perbankan global diprediksi mencapai USD2 triliun pada tahun 2028, dari perkiraan USD1,8 triliun jika tidak menggunakan AI.

    Laporan tersebut juga menganalisis penerapan AI di sektor keuangan yang dapat mengubah industri jasa keuangan dan perekonomian secara keseluruhan secara signifikan. Meskipun teknologi bukan satu-satunya faktor yang mendorong profitabilitas, namun merupakan faktor penting. Dalam era data yang berkembang pesat saat ini, teknologi tetap menjadi pembeda strategis utama dalam mendorong profit.

    Hasil riset menunjukkan bahwa sebanyak 93 persen lembaga keuangan yang disurvei mengatakan AI telah meningkatkan profitabilitas mereka selama lima tahun ke depan. AI dapat meningkatkan produktivitas bank dengan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, menyederhanakan operasi, dan memungkinkan karyawan untuk fokus pada aktivitas yang memberikan nilai tambah lebih tinggi.

    AI jadi Rebutan Pengusaha

    Saat ini, sejumlah perusahaan besar sedang berlomba-lomba melakukan investasi besar-besaran pada infrastruktur kecerdasan buatan (AI). Mereka percaya bahwa investasi ini memiliki potensi besar untuk menghasilkan keuntungan yang luar biasa.

    Namun, hingga kini, banyak perusahaan belum merasakan keuntungan signifikan dari investasi dalam ekosistem AI, yang menunjukkan adanya kesenjangan nilai bagi pengguna akhir. Analis dari Sequoia Capital, David Cahn, menyatakan bahwa perusahaan AI perlu menghasilkan sekitar USD600 miliar (Rp9.751,08 triliun) per tahun untuk menutupi biaya infrastruktur mereka, termasuk pusat data.

    Sebagai contoh, Nvidia mendapatkan pendapatan sebesar USD47,5 miliar (Rp771,96 triliun) dari penjualan perangkat keras pusat data tahun lalu, yang sebagian besar digunakan untuk GPU komputasi dalam aplikasi AI dan komputasi tingkat tinggi (HPC).

    Perusahaan besar seperti AWS, Google, Meta, dan Microsoft juga melakukan investasi besar dalam infrastruktur AI mereka pada tahun 2023, termasuk untuk aplikasi seperti ChatGPT dari OpenAI. Namun, pertanyaan muncul apakah investasi besar ini akan menghasilkan pendapatan yang diharapkan.

    David Cahn mengkhawatirkan bahwa jika investasi besar dalam infrastruktur AI tidak menghasilkan pendapatan yang memadai, hal ini bisa menandakan adanya potensi gelembung finansial. Perhitungan yang digunakan oleh David Cahn cukup sederhana, yaitu dengan menggandakan perkiraan pendapatan bulanan atau triwulanan Nvidia untuk menutupi total biaya pusat data AI. Setengah dari biaya ini dialokasikan untuk GPU, sementara sisanya mencakup energi, bangunan, dan generator cadangan.

    Cahn kemudian menggandakan jumlah ini lagi untuk memperhitungkan margin bruto 50 persen bagi pengguna akhir, seperti startup atau bisnis yang membeli komputasi AI dari penyedia seperti AWS atau Microsoft Azure. Penyedia layanan cloud seperti Microsoft berinvestasi besar dalam stok GPU, dan Nvidia melaporkan bahwa separuh pendapatannya dari pusat data berasal dari penyedia cloud besar, dengan Microsoft kemungkinan berkontribusi sekitar 22 persen dari pendapatan Nvidia pada kuartal IV/2024.

    Dengan diperkenalkannya prosesor B100/B200 yang menawarkan kinerja lebih baik dengan biaya tambahan hanya 25 persen, permintaan GPU Nvidia diperkirakan akan meningkat, menciptakan kekurangan pasokan.

    OpenAI, yang menggunakan infrastruktur Azure milik Microsoft, mengalami peningkatan pendapatan signifikan dari USD1,6 miliar (Rp26 triliun) pada akhir 2023 menjadi USD3,4 miliar (Rp55,26 triliun) pada 2024. Ini menegaskan dominasi OpenAI di pasar, melampaui startup lain yang masih berjuang mencapai pendapatan USD100 juta (Rp1,6 triliun).

    Namun, Cahn mencatat bahwa meskipun investasi dalam AI meningkat, proyeksi pendapatan perusahaan teknologi besar belum memenuhi harapan. Google, Microsoft, Apple, dan Meta masing-masing menghasilkan USD10 miliar (Rp162,52 triliun) per tahun dari AI, sementara perusahaan lain seperti Oracle, ByteDance, Alibaba, Tencent, X, dan Tesla masing-masing menghasilkan USD5 miliar (Rp81,26 miliar). Ini menciptakan kesenjangan sebesar USD500 miliar (Rp8.125,9 triliun).

    Cahn menyatakan bahwa industri AI menghadapi tantangan signifikan. Berbeda dengan infrastruktur fisik, komputasi GPU untuk AI dapat mengalami komoditisasi dengan masuknya pemain baru seperti AMD, Intel, dan prosesor kustom dari Google, Meta, dan Microsoft, yang mengakibatkan persaingan harga yang intens.

    “Investasi spekulatif sering kali menghasilkan kerugian besar, dan prosesor baru dengan cepat menurunkan nilai prosesor lama,” kata Cahn.

    Meskipun AI memiliki potensi transformatif dan Nvidia memainkan peran penting, Cahn percaya bahwa tantangan ke depan akan panjang dan berat karena bisnis dan startup masih harus menemukan aplikasi yang menghasilkan uang.

    Ia menekankan pentingnya menurunkan ekspektasi terhadap keuntungan cepat dari AI, mengakui sifat spekulatif dari investasi saat ini, dan perlunya inovasi serta penciptaan nilai yang berkelanjutan. Jika tidak, gelembung ekonomi senilai ratusan miliar dolar dapat meledak, berpotensi memicu krisis ekonomi global, meskipun ini masih bersifat spekulatif.

    AI memainkan peran penting dalam mempercepat transisi energi global menuju sumber energi yang lebih bersih dan efisien. Dari pengoptimalan produksi energi terbarukan hingga manajemen jaringan listrik yang lebih cerdas, AI memberikan berbagai solusi inovatif untuk menghadapi tantangan energi masa depan. Berikut adalah beberapa cara AI berkontribusi dalam transisi energi:

    AI dapat memprediksi cuaca dengan akurasi tinggi, membantu memaksimalkan produksi energi dari sumber terbarukan seperti matahari dan angin. Misalnya, algoritma pembelajaran mesin dapat memprediksi intensitas sinar matahari atau kecepatan angin, sehingga pembangkit listrik dapat mengatur operasinya secara optimal.

    Dengan fluktuasi produksi energi terbarukan, penyimpanan energi menjadi krusial. AI dapat mengelola penyimpanan energi dengan lebih efisien, menentukan kapan harus menyimpan atau melepaskan energi berdasarkan permintaan dan pasokan.

    AI memungkinkan pengelolaan jaringan listrik yang lebih cerdas dan responsif. Sistem AI dapat mendeteksi dan merespons gangguan atau beban berlebih dalam jaringan, memastikan distribusi listrik yang stabil dan efisien. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.