Logo
>

OJK: Ekonomi RI Dihadang Risiko, Pertumbuhan Melambat

OJK memperingatkan perlambatan ekonomi RI pada 2026, ditandai turunnya permintaan, melemahnya daya saing, dan penurunan belanja pemerintah.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
OJK: Ekonomi RI Dihadang Risiko, Pertumbuhan Melambat
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi nasional. Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia masih dibayangi sejumlah tantangan ke depan.

Mahendra mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi 2026 dari Bank Dunia dan OECD yang mematok angka di kisaran 4,7 persen, mencerminkan adanya perlambatan.

"Tantangan ekonomi Indonesia juga tidak ringan, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia, OECD, dan tentu Kementerian Keuangan berada di kisaran 4,7 persen hingga 5,8 persen. Menunjukkan adanya moderasi dalam aktivitas ekonomi," ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta pada Rabu, 16 Juli 2025.

Mahendra menjelaskan, hingga pertengahan tahun ini, industri dalam negeri masih menghadapi tekanan dari sisi pasokan, sementara permintaan melemah.

Ia menyoroti penurunan kelas menengah dan menyusutnya lapangan pekerjaan formal sebagai penyebab utama.

Namun, di tengah tantangan domestik, Mahendra mengakui sektor eksternal Indonesia masih mencatatkan kinerja positif dengan surplus perdagangan. Meskipun begitu, ia mengingatkan bahwa daya saing Indonesia belum menunjukkan perbaikan.

"Daya saing Indonesia tetap menjadi perhatian utama untuk bisa dipertahankan," katanya.

Menurut Mahendra, sektor jasa keuangan memegang peranan vital dalam menopang perekonomian nasional. Ia menyampaikan bahwa hingga akhir 2024, total aset industri jasa keuangan mencapai Rp 14.550 triliun, sementara nilai kapitalisasi pasar modal berada di angka Rp 12.097 triliun.

"Ini menunjukkan bahwa sektor jasa keuangan memiliki kekuatan struktural yang besar untuk menopang ketahanan ekonomi khususnya dalam menghadapi tekanan global," tutup Mahendra.

Sinyal Peringatan Mulai Terlihat

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan I 2025 mencapai 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).

Pertumbuhan ini terutama didorong oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencatat lonjakan tertinggi sebesar 10,52 persen. Namun demikian, di tengah capaian positif tersebut, ekonomi justru mengalami kontraksi 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter), memunculkan kekhawatiran akan daya tahan ekonomi menjelang kuartal kedua.

Direktur Neraca Produksi BPS, Puji Agus Kurniawan, mengungkapkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku selama periode Januari–Maret 2025 tercatat sebesar Rp5.665,9 triliun. Sementara itu, berdasarkan harga konstan 2010, nilainya mencapai Rp3.264,5 triliun.

Ia menjelaskan bahwa kontraksi secara kuartalan terutama disebabkan oleh lambatnya penyerapan belanja pemerintah.

“Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” ujarnya dalam keterangan resmi BPS, Senin, 5 Mei 2025.

Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian menjadi motor utama pertumbuhan. Selain itu, jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan juga mencatatkan kinerja yang kuat. Sebaliknya, sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan tajam sebesar 7,42 persen secara kuartalan, di tengah gejolak harga komoditas global yang belum stabil.

Dari perspektif pengeluaran, pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang mencapai 6,78 persen yoy menjadi penopang utama. Sementara itu, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,89 persen.

Meski masih menjadi komponen terbesar dalam struktur PDB dengan porsi 54,53 persen, tingkat pertumbuhan konsumsi dinilai belum cukup untuk meredam tekanan yang datang dari dalam maupun luar negeri.

Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, menambahkan bahwa tekanan terjadi hampir di semua komponen pengeluaran, termasuk ekspor dan impor.

“Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” ujarnya.

Secara wilayah, Pulau Jawa tetap menjadi pusat aktivitas ekonomi nasional dengan kontribusi sebesar 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen.

Di sisi lain, Sulawesi mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni 6,40 persen. Namun ketimpangan masih terjadi, terutama di kawasan timur seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen.

Tren yang tercermin pada kuartal pertama tahun ini menjadi semacam peringatan dini. Meskipun angka tahunan masih menunjukkan pertumbuhan, tekanan ekonomi dalam jangka pendek dapat membesar apabila respons fiskal dan struktural tidak segera diperkuat.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.