KABARBURSA.COM – Otoritas Jasa Keuangan atau OJK meluruskan persepsi keliru tentang Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan SLIK tidak berfungsi sebagai "daftar hitam" bagi calon debitur, melainkan sebagai alat untuk memperkecil asimetri informasi antara lembaga keuangan dan pemohon kredit.
Menurut Mahendra, SLIK bertujuan memperlancar proses kredit dengan memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai kelayakan calon debitur. Namun, ia menegaskan data dalam SLIK bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan pemberian kredit atau pembiayaan, termasuk untuk sektor perumahan.
"Penggunaan SLIK dalam proses pemberian kredit atau pembiayaan perumahan merupakan salah satu informasi yang digunakan dalam analisis kelayakan calon debitur dan bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan," jelas Mahendra dalam konferensi pers virtual, Selasa, 14 Januari 2025.
Mahendra juga menepis anggapan bahwa debitur dengan riwayat kredit bermasalah otomatis ditolak oleh lembaga keuangan. Ia menekankan peraturan OJK tidak melarang pemberian kredit kepada debitur yang pernah mengalami kredit macet.
"Per November 2024, tercatat 2,35 juta rekening kredit baru yang diberikan kepada debitur yang sebelumnya memiliki riwayat kredit non-lancar," katanya.
Untuk mengakomodasi pertanyaan atau keluhan masyarakat perihal ini, OJK menyediakan layanan pengaduan yang dapat diakses melalui kontak 157.
Kredit Macet Didominasi Gen Z dan Milenial
[caption id="attachment_70043" align="alignnone" width="2560"] Indonesia masih memerlukan layanan peer-to-peer (P2P) lending, meski banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang terjerat pinjaman online (pinjol) atau istilah barunya, pinjaman daring (pindar). (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya mengungkapkan generasi Z dan milenial menjadi penyumbang terbesar kasus kredit macet di sektor pinjaman daring (pindar). Kelompok usia 19 hingga 34 tahun ini tercatat berkontribusi hampir 40 persen terhadap total kredit bermasalah.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya OJK, Agusman, menjelaskan angka TWP90—pembiayaan yang telah menunggak lebih dari 90 hari sejak jatuh tempo—di kalangan Gen Z dan milenial mencapai 37,17 persen. Data ini menjadi indikator bahwa kedua kelompok usia tersebut memegang peran signifikan dalam isu kredit bermasalah di industri pindar.
“Tingkat TWP90 untuk kelompok usia 19-34 tahun adalah 37,17 persen,” jelas Agusman dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK pada Agustus 2024, Jumat, 6 September 2024, lalu.
Sebagai upaya mitigasi risiko, OJK menginstruksikan penyedia layanan pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending untuk menampilkan peringatan yang jelas di laman utama situs dan aplikasi mereka. Peringatan tersebut berbunyi, “Hati-hati transaksi ini berisiko tinggi, Anda bisa mengalami kerugian atau kehilangan uang jika tidak membayar utang. Pertimbangkan secara bijak sebelum bertransaksi.”
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran calon pengguna terhadap risiko yang mungkin terjadi dalam penggunaan layanan pinjol.
Per Juli 2024, nilai total pinjaman online yang masih berjalan tercatat tumbuh 23,97 persen secara tahunan menjadi Rp69,39 triliun. Meskipun demikian, angka ini menunjukkan sedikit perlambatan dibandingkan pertumbuhan bulan Juni yang mencapai 26,73 persen secara tahunan.
Agusman juga melaporkan adanya penurunan tingkat TWP90—rasio pembiayaan yang menunggak lebih dari 90 hari. Pada Juli, angkanya berada di 2,53 persen, turun dari 2,79 persen yang tercatat pada Juni 2024.
Rasio Kredit Macet Paylater
Pada Juli 2024, angka kredit bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) gross untuk layanan Buy Now Pay Later (BNPL) tercatat sebesar 2,82 persen. Meski angka ini masih tergolong tinggi, ada penurunan dibandingkan Juni 2024 yang mencapai 3,07 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Agusman, menjelaskan bahwa dari total angka tersebut, terdapat 1,5 juta kontrak pembiayaan yang bermasalah, atau sekitar 1,80 persen dari total kontrak BNPL.
“Jumlah kontrak pembiayaan bermasalah mencapai 1,5 juta kontrak, yang merupakan 1,80 persen dari keseluruhan kontrak BNPL,” ungkap Agusman dalam keterangan tertulis, Sabtu, 7 September 2024.
Meskipun demikian, belum ada data yang menghubungkan kontrak bermasalah ini dengan pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Namun, tingginya jumlah kontrak bermasalah mengindikasikan adanya potensi kesulitan dalam melunasi berbagai bentuk utang, termasuk KPR.
“Belum ada informasi spesifik mengenai apakah individu dengan kontrak bermasalah juga mengajukan KPR atau tidak,” kata Agusman.
Dia menghimbau kepada pengguna layanan paylater dan fintech lending untuk lebih bijak dalam mengelola pembiayaan dan mempertimbangkan kemampuan finansial sebelum mengambil pinjaman atau pembiayaan tambahan.
“Pengguna layanan paylater atau fintech lending diimbau agar selalu bijak dalam menggunakan layanan pembiayaan dengan mempertimbangkan kemampuan membayar,” pungkasnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.