Logo
>

Pajak E-Commerce Baru Disorot, UMKM Lokal Terancam

Penerapan PPh 22 di marketplace menuai kritik karena dianggap hanya menyasar UMKM lokal, sementara perusahaan digital global tetap tak tersentuh pajak.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Pajak E-Commerce Baru Disorot, UMKM Lokal Terancam
Ilustrasi tentang Rencana penerapan PPh Pasal 22 untuk transaksi e-commerce. Foto dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Rencana penerapan PPh Pasal 22 untuk transaksi e-commerce yang akan dikenakan kepada pedagang di marketplace menuai kritik dari pakar kebijakan publik.

    Meski pemerintah berdalih ini bukan pajak baru, namun muncul kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut hanya menargetkan pelaku usaha lokal dan meninggalkan potensi besar dari perusahaan digital global.

    Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menuturkan, langkah pemerintah menarik pajak dari marketplace seperti Tokopedia dan Shopee memang berupaya menutup celah shadow economy domestik. 

    Namun, ia menilai pendekatan ini terlalu parsial karena tidak menyasar perusahaan global yang selama ini mendominasi ekonomi digital Indonesia.

    “Kita harus jujur melihat kenyataan: revenue digital Indonesia lebih banyak disedot oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, dan Netflix,” ujar Achmad dalam keterangannya, Minggu, 29 Juni 2025. 

    Ia menambahkan, PPN PMSE yang selama ini dikenakan hanya menyasar konsumsi, bukan laba besar yang ditarik ke luar negeri tanpa kontribusi fiskal memadai.

    Achmad menyayangkan bahwa pedagang kecil dan menengah di marketplace lokal justru menjadi fokus utama pemungutan pajak, padahal perputaran uang terbesar justru berada di tangan pemain global. 

    “Di sinilah letak ketimpangan fiskal kita. Pemerintah seperti hanya fokus pada yang paling mudah dijangkau, bukan yang paling besar memberikan kontribusi nilai ekonomi,” jelasnya.

    Dalam konteks ini, Achmad menilai Indonesia bisa belajar dari kebijakan Digital Services Tax (DST) yang diterapkan Kanada. Negara tersebut memberlakukan pajak 3 persen untuk pendapatan digital perusahaan global dengan ambang batas tertentu, bahkan berlaku secara retroaktif.

    “Kebijakan Kanada menunjukkan bahwa keberanian fiskal dan kedaulatan negara dapat ditegakkan meskipun risikonya tinggi, termasuk kemungkinan retaliasi dari Amerika Serikat,” terang Achmad.

    Sebaliknya, Indonesia saat ini dinilai masih ragu mengambil langkah serupa. Pemerintah lebih memilih menunggu konsensus multilateral dari OECD, sambil mengatur pajak di sektor domestik. Namun, bagi Achmad, ini langkah yang terlalu berhati-hati. 

    “Kalau terus menunggu, potensi penerimaan negara akan terus bocor. Kita harus menyiapkan DST nasional, tidak cukup hanya bergantung pada kesepakatan global,” pungkasnya.

    Ia menjelaskan bahwa pajak bukan sekadar alat fiskal, tapi instrumen distribusi keadilan. Bila hanya pelaku usaha lokal yang dikenai pajak secara ketat, maka kepercayaan terhadap sistem perpajakan bisa tergerus. 

    “Ibarat pedagang kaki lima yang wajib bayar retribusi, sementara mal besar bebas berdiri di tanah negara tanpa bayar sewa. Ini bukan hanya tidak adil, tapi bisa menurunkan semangat pelaku lokal,” katanya.

    Achmad menilai kebijakan pajak digital seharusnya diarahkan pada semua pelaku ekonomi digital, baik lokal maupun global. Menurutnya, dominasi perusahaan seperti Google dan Meta dalam bisnis iklan, serta Apple dan Amazon di sektor aplikasi dan cloud computing, harus dikompensasi dengan pajak atas keuntungan, bukan sekadar PPN.

    “Tugas negara adalah menjaga level playing field. Jangan sampai UMKM lokal merasa dizalimi karena negara terlalu lunak terhadap pemain besar dari luar negeri,” ujarnya.

    Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk menyiapkan regulasi perpajakan digital yang lebih komprehensif. Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah skema pajak layanan digital seperti DST versi Kanada, yang menyasar keuntungan langsung dari aktivitas digital di negara tujuan.

    Namun, Achmad juga mengingatkan bahwa keberanian fiskal harus dibarengi dengan diplomasi yang cerdas. 

    "Kita harus siap dengan risiko geopolitik jika menerapkan DST unilateral. Tapi, lebih baik berani ambil posisi daripada terus menjadi pasar yang diperah tanpa mendapatkan apa-apa,” tegasnya.

    Ia mengapresiasi langkah pemerintah menertibkan ekonomi digital melalui PPh 22, tetapi memperingatkan bahwa tanpa keberanian menindak pelaku global, kebijakan ini hanya akan memperluas kesenjangan. 

    “Pajak digital harus adil. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa siapa pun yang mendapat untung dari Indonesia, juga harus memberi kontribusi pada Indonesia,” tutupnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.