Logo
>

Pajak Rumah Tapak, Solusi yang Bisa Jadi Krisis Baru

Usulan pajak tinggi rumah tapak dinilai bisa picu krisis hunian dan tekanan sosial, bukan solusi modernisasi permukiman.

Ditulis oleh Dian Finka
Pajak Rumah Tapak, Solusi yang Bisa Jadi Krisis Baru
Ilustrasi: DPR kritik wacana pajak tinggi rumah tapak. Dinilai membebani masyarakat dan memperkeruh stabilitas sosial permukiman. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah agar pemerintah mengenakan pajak tinggi bagi rumah tapak di kota besar memicu reaksi keras dari parlemen. Alih-alih dianggap sebagai solusi atas problem permukiman kota, kebijakan ini dinilai berpotensi menciptakan krisis sosial baru yang menyasar kelas menengah dan keluarga muda.

Anggota Komisi V DPR RI Irine Yusiana Roba Putri menyatakan bahwa langkah menaikkan pajak rumah tapak demi mendorong migrasi ke hunian vertikal seperti rumah susun atau apartemen, justru akan menjadi beban baru bagi masyarakat. Kebijakan ini dikhawatirkan malah memperlambat pemulihan sektor properti yang sedang tertatih-tatih pasca-pandemi.

“Pajak tinggi justru menciptakan biaya tinggi bagi pembeli. Akhirnya, penjualan rumah tapak anjlok. Ini memperberat bisnis properti secara keseluruhan,” ujar Irine dalam keterangan tertulis, Senin, 16 Juni 2025.

Irine menekankan rumah tapak masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat urban, khususnya keluarga muda yang membutuhkan ruang dan privasi lebih besar. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa mempersulit akses terhadap hunian layak dan memicu tekanan sosial dalam keluarga.

“Kalau banyak yang tidak bisa beli rumah, bisa timbul masalah-masalah psikologis keluarga. Ini bukan hanya soal tempat tinggal, tapi menyangkut stabilitas sosial,” tegas legislator PDIP dari Dapil Maluku Utara itu.
Ia menyatakan memahami semangat Wamen PKP dalam mengadopsi gaya hidup urban ala negara maju. Namun Irine menilai gagasan tersebut tidak relevan dengan realitas di lapangan. Infrastruktur kota belum mendukung peralihan besar-besaran ke hunian vertikal, sementara fasilitas dasar di kawasan rusun masih tertinggal jauh.

“Mungkin niatnya supaya Indonesia modern seperti negara-negara maju. Tapi harus realistis, kita ini infrastrukturnya belum siap. Fasilitas layanan pendukung di kawasan rusun masih banyak yang minim,” jelasnya.

Lebih jauh, Irine menyoroti bahwa gaya hidup di apartemen dan rusun cenderung tertutup dan individual. Hal ini, menurutnya, belum tentu cocok bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan kultur komunal dan aktivitas sosial warga.

“Perubahan kultur ini tidak bisa dipaksakan. Kalau lewat pajak tinggi, justru menimbulkan efek domino yang bisa memperkeruh situasi,” ucap Irine.

Dorong Insentif, Bukan Disinsentif

Irine menolak pendekatan represif dalam kebijakan perumahan. Menurutnya, alih-alih menaikkan pajak, pemerintah semestinya memberikan insentif bagi pengembangan hunian vertikal, sambil tetap menjaga keberlangsungan pasar rumah tapak.

“Kalau pajaknya mahal, tentu saja masyarakat akan menunda pembelian rumah tapak. Pengembang bisa merugi besar, bahkan terancam gulung tikar. Ini bukan kebijakan berkelanjutan,” ujarnya.

Irine menggarisbawahi kebijakan fiskal di sektor properti semestinya diarahkan untuk memperluas pasar, bukan mempersempit ruang gerak pelaku usaha dan konsumen. Industri properti merupakan salah satu pilar penting dalam struktur pertumbuhan ekonomi nasional sehingga kestabilannya tidak boleh dikorbankan demi ambisi perubahan pola hunian secara instan. Pemerintah, menurutnya, perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang sebelum menerapkan kebijakan yang drastis.

Ia juga mendorong agar Kementerian PKP tidak gegabah dalam menyusun kebijakan sensitif semacam ini. Menurut Irine, kajian yang menyeluruh dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan—mulai dari pengembang, Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, hingga masyarakat—wajib dilakukan sebelum keputusan diluncurkan. Kajian itu dibutuhkan untuk memetakan dampak fiskal, menilai beban baru yang mungkin muncul, dan mengevaluasi kesiapan masyarakat menghadapi perubahan.

Irine pun mengingatkan kenaikan pajak harus didasarkan pada analisis berbasis data, termasuk menghitung seberapa besar kenaikannya, siapa saja yang akan terdampak, dan apa strategi mitigasi yang disiapkan pemerintah.

Ia juga menolak gagasan perubahan gaya hidup ke arah hunian vertikal bisa dipaksakan hanya dengan insentif fiskal. Menurutnya, perubahan sosial semacam itu sebaiknya terjadi secara bertahap dan alamiah, disertai peta jalan kebijakan yang terintegrasi dan memperhatikan aspek budaya masyarakat. Strategi disinsentif semata justru bisa menjadi kontraproduktif dan memperkeruh situasi.

Irine menegaskan pentingnya konsistensi arah kebijakan. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak membuat keputusan yang bersifat tambal sulam dan hanya mengejar target jangka pendek tanpa memikirkan dampak strukturalnya.

“Hunian adalah kebutuhan dasar. Pemerintah harus serius menyusun kebijakan perumahan yang berkelanjutan. Jangan hanya coba-coba,” katanya.

Irine menegaskan, solusi jangka panjang harus mengedepankan pembangunan hunian layak yang terjangkau, sekaligus memperkuat infrastruktur pendukung bagi hunian vertikal. “Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan tambahan beban, tapi insentif dan kepastian kebijakan agar sektor perumahan tumbuh sehat dan berkelanjutan,” katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.