KABARBURSA.COM - Perdagangan saham di kawasan Asia berakhir dengan hasil beragam pada Rabu, 2 Juli 2025, di tengah meningkatnya kewaspadaan investor menjelang batas waktu kebijakan tarif Amerika Serikat serta spekulasi mengenai pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve.
Pelaku pasar kini menghadapi kombinasi tekanan geopolitik, kebijakan fiskal AS, dan rilis data ekonomi penting yang berpotensi mengubah arah pasar dalam waktu dekat.
Presiden AS Donald Trump kembali menegaskan tidak akan memperpanjang batas waktu 9 Juli yang telah ditetapkan bagi negara-negara untuk menyelesaikan kesepakatan dagang dengan Amerika.
Dalam komentarnya, Trump menyebut dirinya ragu kesepakatan dengan Jepang bisa dicapai dalam waktu dekat, meskipun ia menyampaikan optimisme soal India. Pernyataan ini memperkuat kekhawatiran pasar bahwa tensi dagang bisa kembali memanas.
“Negosiasi semacam ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu seminggu, dan saya kira itu mulai disadari oleh pasar dan oleh AS sendiri,” kata Kepala Tim Multi-Asset di Allspring Global Investments Matthias Scheiber.
Ia menambahkan, jika tenggat ini berujung pada kenaikan tarif, lonjakan volatilitas di pasar hampir tak bisa dihindari.
Dari sisi makroekonomi, data terbaru dari AS menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja tetap kuat. Jumlah lowongan pekerjaan di bulan Mei meningkat, menunjukkan permintaan tenaga kerja masih terjaga.
Namun perhatian utama investor kini tertuju pada laporan penggajian non-pertanian (non-farm payrolls) yang akan dirilis Kamis ini. Data tersebut dipandang sebagai kunci arah kebijakan suku bunga The Fed dalam beberapa bulan ke depan.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell sendiri belum mengisyaratkan sikap agresif. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa bank sentral memilih untuk “menunggu dan melihat” sejauh mana dampak dari kebijakan tarif terhadap inflasi sebelum mengambil keputusan soal suku bunga.
Namun, para analis menilai tekanan akan meningkat jika data ekonomi berikutnya menunjukkan pelemahan signifikan.
"Setiap kejutan negatif dalam data ekonomi bisa membuka jalan bagi sikap yang lebih dovish dari FOMC dan memberi tekanan tambahan pada dolar AS," ujar analis Commonwealth Bank of Australia Carol Kong.
Dari sisi fiskal, RUU pemotongan pajak dan belanja besar-besaran yang diusung oleh Trump resmi lolos dari Senat dan kini menuju ke DPR untuk mendapatkan persetujuan akhir. RUU ini, yang diperkirakan akan menambah USD 3,3 triliun ke utang nasional, telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri di pasar keuangan. Meski begitu, respons pasar obligasi tetap stabil.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat di kisaran 4,249 persen, tidak jauh berbeda dari hari sebelumnya, setelah sempat menyentuh level terendah dua bulan pada Selasa.
Aninda Mitra, Kepala Strategi Makro Asia di BNY Investment Institute, menilai bahwa RUU tersebut hanya akan menambah tekanan jangka menengah terhadap fiskal AS.
“Ketidakpastian tetap tinggi, dan kami tidak memperkirakan imbal hasil jangka panjang akan turun tajam dalam enam hingga 12 bulan ke depan,” jelasnya.
Bursa Saham Asia Campur Aduk, Mata Uang Regional Melemah
Di lantai bursa, investor Asia merespons berita global dengan pendekatan yang beragam. Bursa Jepang tertekan dengan indeks Nikkei 225 turun 0,56 persen ke 39.762 dan Topix melemah 0,21 persen ke 2.826.
Di China, indeks Shanghai Composite sedikit terkoreksi 0,09 persen, sementara Shenzhen Component melemah lebih dalam sebesar 0,61 persen. Indeks CSI300 justru berhasil mencatat kenaikan tipis 0,02 persen.
Sementara itu, Hang Seng Hong Kong menguat 0,62 persen ke 24.221, diikuti oleh indeks Taiex Taiwan yang naik 0,11 persen.
Bursa Australia juga mencatat performa positif, dengan ASX200 menguat 0,66 persen ke 8.597. Namun Kospi Korea Selatan masih belum mampu keluar dari tekanan, ditutup melemah 0,47 persen ke 3.075.
Dari pasar mata uang, mayoritas mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Yen Jepang turun 0,33 persen menjadi 143,89 per dolar, sementara dolar Singapura dan dolar Australia masing-masing turun 0,09 persen dan 0,30 persen.
Rupiah juga ikut melemah 0,29 persen ke 16.246 per dolar AS, sementara rupee India dan yuan China masing-masing turun 0,20 persen dan 0,01 persen.
Ringgit Malaysia tercatat mengalami pelemahan paling tajam, anjlok 0,61 persen ke 4,2238 per dolar. Hanya baht Thailand yang berhasil menguat tipis 0,01 persen.
Dengan latar belakang kebijakan fiskal dan perdagangan AS yang agresif, serta ketidakpastian soal arah suku bunga, investor Asia memilih posisi bertahan.
Fokus kini sepenuhnya tertuju pada data penggajian AS dan arah kebijakan tarif, yang akan sangat menentukan sentimen pasar dalam beberapa hari ke depan.(*)