KABARBURSA.COM – Bursa saham Asia mencatat pergerakan beragam pada perdagangan Senin, 26 Mei 2025.
Saham-saham di China dan Hong Kong ditutup melemah, sementara pasar Jepang justru menguat tajam, di tengah sentimen global yang digerakkan oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang menunda rencana penerapan tarif 50 persen atas barang-barang asal Uni Eropa.
Di China, indeks Shanghai Composite melemah 0,1 persen dan indeks blue-chip CSI 300 turun 0,6 persen. Pelemahan ini dipicu kekhawatiran akan perang harga di sektor otomotif serta tekanan pada saham pemasok Apple akibat kemungkinan tarif baru dari AS.
Sementara itu, indeks Nikkei 225 di Jepang justru melesat 1 persen, penguatan harian tertajam dalam dua pekan terakhir, usai Trump memberikan restu terhadap akuisisi U.S. Steel oleh Nippon Steel.
Di pasar obligasi Jepang, imbal hasil juga menguat menyusul pekan sebelumnya yang diwarnai lonjakan yield obligasi tenor sangat panjang. Obligasi super-long ini menjadi fokus investor menjelang rilis data inflasi Jepang pekan ini, yang dapat menjadi indikator arah kebijakan Bank of Japan ke depan.
Pasar Global Menguat, Euro Naik Usai Trump Tunda Tarif Baru
Kabar penundaan tarif AS terhadap produk Uni Eropa turut memberi angin segar ke pasar global. Indeks MSCI untuk saham dunia naik 0,2 persen, sementara indeks saham pan-Eropa STOXX 600 melonjak 0,9 persen, kembali ke level sebelum Trump mengancam tarif tinggi secara tiba-tiba pada Jumat lalu.
Namun pada Minggu, 25 Mei 2025, Trump mengumumkan penundaan jadwal penerapan tarif dari 1 Juni menjadi 9 Juli. Penundaan ini dilakukan setelah Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan butuh lebih banyak waktu untuk merampungkan kesepakatan dagang.
Manuver Trump menjadi pengingat bagi pelaku pasar bahwa arah kebijakan bisa berubah drastis dalam waktu singkat. Banyak analis mencatat bahwa arus dana kini mulai berpindah dari AS ke Asia dan Eropa, sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi resesi ekonomi di AS.
“Pernyataan Trump pada Jumat lalu kembali menegaskan betapa inkonsistennya arah kebijakan pemerintah AS,” tulis Commerzbank dalam laporannya.
SEB Research menambahkan, kombinasi premi risiko yang meningkat pada aset AS, rotasi global portofolio, dan fokus domestik pemerintahan Trump telah menciptakan situasi “koktail beracun” bagi pasar keuangan AS.
Dolar Melemah, Euro Menguat
Di pasar mata uang, indeks dolar AS (DXY) melemah 0,1 persen terhadap sekeranjang mata uang utama. Euro naik 0,23 persen ke USD1,1380—level tertingginya sejak April. Poundsterling juga menguat tipis ke USD1,3567.
“Pasar masih didominasi oleh narasi ‘jual dolar’,” ujar Christopher Wong, analis mata uang di OCBC Bank. Ia menilai bahwa ketidakpastian kebijakan tarif dan meredupnya daya saing AS akan terus menekan nilai dolar dalam jangka menengah.
Kekhawatiran terhadap tingginya utang negara maju kembali mencuat. Hal ini dipicu oleh keputusan Moody’s yang memangkas peringkat kredit Amerika Serikat, serta lemahnya hasil lelang obligasi di AS dan Jepang pekan lalu. Pelaku pasar juga mencermati data inflasi dari Jerman, Jepang, dan laporan harga barang dan jasa dari AS yang dijadwalkan rilis minggu ini.
Harga Minyak dan Emas Turun
Dari pasar komoditas, harga minyak mentah Brent dan WTI masing-masing turun 23 sen menjadi USD64,54 dan USD61,28 per barel. Harga emas juga terkoreksi dari level tertinggi dua pekan, dan kini berada di kisaran USD3.339 per ons. (*)