KABARBURSA.COM - Pasar saham Asia ditutup melemah tajam pada Selasa, 14 Oktober 2025, setelah gelombang kekhawatiran kembali melanda investor akibat meningkatnya tensi antara Amerika Serikat dan China.
Mimpi akan tercapainya kesepakatan dagang tampak semakin jauh dari kenyataan, seiring dengan retorika keras yang kembali dilontarkan oleh kedua belah pihak menjelang pertemuan tingkat tinggi akhir bulan ini.
Akibatnya, pasar Asia diliputi ketidakpastian. Indeks Nikkei 225 di Jepang anjlok 2,58 persen ke level 46.847, dengan tekanan besar datang dari saham-saham eksportir yang terpukul akibat penguatan yen.
Indeks Topix juga turun 1,99 persen ke 3.133, menambah catatan merah di bursa Tokyo. Para pelaku pasar di Jepang memilih mengambil sikap defensif, mengingat fluktuasi yen sering kali mempersempit margin keuntungan perusahaan ekspor besar seperti Toyota, Sony, dan Panasonic.
Di China, sentimen investor tak kalah suram. Shanghai Composite ditutup melemah 0,62 persen ke 3.865, sementara Shenzhen Component jatuh lebih dalam, terkoreksi 2,54 persen ke 12.895. Indeks CSI300 yang berisi saham-saham unggulan China juga turun 1,20 persen ke 4.539.
Tekanan jual meluas di sektor teknologi dan manufaktur setelah juru bicara Kementerian Perdagangan Tiongkok menegaskan bahwa AS tidak bisa “bernegosiasi sambil mengancam.” Pernyataan itu menegaskan sikap keras Beijing, yang membuat pasar semakin skeptis terhadap peluang kompromi dagang dalam waktu dekat.
Di Hong Kong, Hang Seng ikut terseret turun 1,73 persen ke 25.441, dipengaruhi aksi jual di sektor properti dan teknologi. Para analis mencatat, arus keluar dana asing terus meningkat karena investor global mengalihkan portofolio mereka ke aset yang lebih aman, seperti yen dan emas.
Sentimen risk-off ini juga terasa di Korea Selatan, di mana indeks Kospi melemah 0,63 persen ke 3.561, dipicu pelemahan pada saham chipmaker besar seperti Samsung Electronics dan SK Hynix.
Taiwan tak luput dari tekanan, dengan indeks Taiex turun 0,48 persen ke 26.793, seiring kehati-hatian investor terhadap prospek ekspor semikonduktor.
Sementara itu, bursa Australia justru menjadi satu-satunya pasar besar di kawasan yang berhasil bertahan di zona hijau. Indeks ASX200 naik tipis 0,19 persen ke 8.899, terbantu oleh kenaikan saham-saham tambang seperti BHP dan Rio Tinto yang mendapatkan dorongan dari reli harga emas global.
Komentar Menkeu AS Picu Kekhawatiran Pasar
Kekhawatiran pasar semakin diperparah oleh komentar terbaru Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang menuduh China berupaya “merusak ekonomi global” dalam wawancaranya dengan Financial Times.
Pernyataan ini muncul hanya beberapa hari setelah ia menenangkan pasar dengan pernyataan bahwa Presiden Donald Trump akan segera bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Korea Selatan pada akhir Oktober. Pergeseran sikap ini membuat investor bingung, memicu volatilitas tajam di bursa.
Para analis dari Lucerne Asset Management di Singapura menyebut situasi ini sebagai “eskalasi untuk de-eskalasi”, yaitu sebuah strategi politik klasik menjelang KTT, di mana kedua pihak meningkatkan ketegangan untuk kemudian mencapai konsesi minimal.
Namun, bagi pasar keuangan, strategi seperti ini membawa ketidakpastian besar. Marc Velan, Kepala Investasi Lucerne, menegaskan bahwa baik Washington maupun Beijing “tidak sanggup menanggung perang dagang” di tengah tekanan ekonomi dan pemilu sela di AS.
Dari sisi makroekonomi, para pelaku pasar kini menaruh perhatian pada langkah The Federal Reserve. Peluang penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam rapat FOMC pada 29 Oktober semakin besar, dengan probabilitas mencapai 96,7 persen menurut CME FedWatch.
Ekspektasi pelonggaran moneter ini seharusnya memberi napas bagi pasar, namun kenyataannya, kekhawatiran geopolitik justru lebih dominan menekan sentimen.
Mata Uang Asia Kompak Melemah terhadap Dolar AS
Sementara itu, di pasar valuta asing, sebagian besar mata uang Asia melemah terhadap dolar AS. Yen Jepang menjadi satu-satunya pengecualian, menguat 0,16 persen ke 152,04 per dolar AS karena meningkatnya permintaan aset safe haven.
Dolar Singapura (SGD) turun 0,16 persen ke 1,3007, sementara dolar Australia (AUD) melemah tajam 0,75 persen ke 0,6466 akibat penurunan harga komoditas. Rupiah juga tidak luput dari tekanan, turun 0,18 persen ke 16.603 per dolar AS, mencerminkan keluarnya dana asing dari aset berisiko.
Yuan Tiongkok ikut tertekan, melemah 0,14 persen ke 7,1408 per dolar AS, karena investor khawatir eskalasi perang dagang dapat memperlambat pemulihan ekonomi domestik. Rupee India, ringgit Malaysia, dan baht Thailand juga melemah, masing-masing 0,13 persen, 0,07 persen, dan 0,37 persen terhadap dolar AS.
Kombinasi pelemahan saham dan depresiasi mata uang menandakan meningkatnya aversi risiko (risk aversion) di pasar Asia. Para investor kini lebih memilih menunggu kejelasan hasil negosiasi AS–Tiongkok dan arah kebijakan The Fed sebelum kembali mengambil posisi agresif.
Secara keseluruhan, perdagangan hari ini mencerminkan pasar Asia yang sedang kehilangan arah, di satu sisi menanti kabar baik dari meja perundingan, di sisi lain dihantui oleh ketidakpastian geopolitik dan fluktuasi kebijakan.
Dan hingga kabar pertemuan Trump–Xi benar-benar terwujud, tampaknya pasar masih harus bersiap menghadapi gejolak berikutnya. Sebab, setiap kali Washington berkicau, pasar Asia kembali berguncang.(*)