KABARBURSA.COM – Harga batu bara memang belum jatuh, tapi pasar domestik sudah mulai goyah. Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menyebut industri batu bara Indonesia tengah berada di persimpangan pelik—antara tekanan harga global, persaingan dagang dari India-China, dan kerumitan infrastruktur dalam negeri.
Menurutnya, diskusi soal transisi energi tak bisa dilepaskan dari kenyataan di lapangan. Jangan-jangan kita terlalu sibuk mengejar mimpi nol emisi, padahal pondasi energinya sendiri masih bolong. “Saya ingin mengajak kita semua melihat potret besar arah pembicaraan kita mengenai kegiatan energi—baik realitas saat ini maupun transisi energi,” ujar Singgih dalam forum media, Kamis, 29 Mei 2025.
Singgih turut menyoroti kontraksi pada Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang turun ke level 46,7. Angka ini dianggap sebagai sinyal bahwa sektor manufaktur sedang menghadapi tekanan cukup serius.
Ia juga membandingkan situasi Indonesia dengan negara lain, seperti India, yang mengambil langkah taktis dengan menurunkan harga batu baranya demi menjaga daya saing di tengah lesunya permintaan global. Menurut Singgih, langkah India tersebut dapat dimaklumi, mengingat kompetisi harga saat ini makin sengit.
Ironisnya, ketika harga batu bara Indonesia sempat menyentuh angka USD240 per ton—yang secara teoritis bisa melesat hingga USD400—negara-negara pembeli utama seperti India dan China tetap bergeming dan hanya bersedia membayar di level USD240. Situasi ini, menurutnya, menempatkan Indonesia dalam posisi tawar yang lemah sehingga tak punya banyak pilihan selain bersikap realistis menghadapi tekanan dua pasar besar tersebut.
“Kita tidak punya banyak pilihan karena mereka adalah pasar besar bagi kita,” tegasnya.
Singgih menjelaskan bahwa pendekatan terhadap energi nasional sudah harus berubah. Jika dulu orientasi utama adalah pendapatan (revenue), kini harus bergeser ke arah transisi energi yang berkelanjutan.
“Kalau kita mau melihat satu potret saja dalam konteks kegiatan energi, kita harus memahami konsep yang berkembang. Dulu, mungkin sumber utama kita adalah revenue. Kini, kita mulai bergerak ke arah konsep transisi,” jelasnya.
Namun demikian, transisi ini menurutnya tidak bisa dilepaskan dari struktur infrastruktur yang selama ini sudah terbentuk. Dengan kata lain, transisi energi harus berangkat dari realitas dan kemampuan aktual, bukan sekadar target ideal.
“Kalau kita bicara transisi energi, kita juga harus memahami bagaimana infrastruktur energi saat ini dibangun,” katanya.
Cadangan 43,9 Tahun, tapi Perlu Dikritisi
Singgih mengkritisi data neraca cadangan batu bara yang dirilis Kementerian ESDM, di mana cadangan batu bara nasional diperkirakan cukup hingga 43,9 tahun ke depan. Menurutnya, perhitungan itu tidak cukup akurat karena tidak memperhitungkan kualitas batu bara yang tersedia—sebuah parameter penting yang menentukan permintaan pasar.
“Angka tersebut berasal dari pembagian total sumber daya dengan tingkat produksi—tanpa membedakan kualitas batu bara (low rank, medium, high rank). Ini menjadi masalah karena permintaan pasar sangat tergantung pada jenis batu baranya,” ungkap Singgih.
Kondisi ini bisa menjebak Indonesia dalam dilema: antara memenuhi kebutuhan pasar ekspor yang spesifik terhadap jenis batu bara tertentu, dan memenuhi permintaan domestik seperti dari PLN.
Singgih mengungkapkan belum lama ini dirinya menjadi narasumber dalam forum Dewan Energi Nasional (DEN), dan mendapati bahwa PLN kesulitan memperoleh batu bara dengan kualitas medium—jenis yang kini banyak dibutuhkan pembangkit listrik nasional.
“Untungnya, kondisi pasar sekarang membuat jenis medium mulai ditawarkan ke PLN karena pasar ekspor tidak menyerap,” kata dia.
Kondisi ini menjadi cerminan bahwa perencanaan produksi batu bara nasional harus segera dikoreksi, khususnya soal rasio jenis batu bara yang diproduksi. Jika tidak, maka Indonesia bisa mengalami kekurangan batu bara untuk kebutuhan domestik dan kehilangan pasar ekspor sekaligus.
“Kita tidak bisa terus mengatakan cadangan kita cukup 43,9 tahun. Risiko terbesar adalah ketika batu bara untuk kebutuhan domestik tidak tersedia dan ekspor juga tidak laku,” katanya.(*)