KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali menguat pada perdagangan Rabu waktu New York dan mencatat kenaikan sekitar 1 persen. Kenaikan ini menandai penutupan tertinggi dalam sepekan terakhir serta mencerminkan kombinasi antara ketegangan geopolitik, prospek pelonggaran moneter Amerika Serikat, dan data permintaan energi yang solid di pasar domestik AS.
Harga minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan global, ditutup menguat 80 sen atau 1,2 persen menjadi USD66,25 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), yang merupakan acuan Amerika Serikat, naik 82 sen atau 1,3 persen ke USD62,55 per barel.
Kedua kontrak mencatat penutupan tertinggi sejak akhir September dan memperpanjang kenaikan mingguan hingga sekitar 3 persen.
Kenaikan harga minyak ini terjadi di tengah minimnya katalis ekonomi baru akibat penutupan sebagian pemerintahan AS. Para pelaku pasar kini menimbang dua kekuatan utama, yaitu risiko geopolitik yang berpotensi menekan pasokan, dan sinyal penurunan suku bunga yang dapat meningkatkan permintaan global terhadap energi.
Ketegangan Rusia-Ukraina Kembali Menekan Pasokan
Faktor utama yang mendorong reli harga minyak kali ini adalah meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Ukraina. Seorang diplomat senior Rusia menyatakan bahwa upaya untuk mencapai kesepakatan damai dengan Kyiv “hampir habis”. Akibatnya, kekhawatiran munculnya perang terus berlanjut dan memperpanjang sanksi terhadap Moskow.
Kondisi ini penting karena Rusia masih menjadi produsen minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Meskipun di bawah sanksi, Rusia dilaporkan terus meningkatkan produksinya dan hampir mencapai kuota yang ditetapkan OPEC+. Begitu disampaikan Wakil Perdana Menteri Alexander Novak melalui kantor berita Interfax.
Namun, serangan drone Ukraina terhadap kilang minyak Rusia dalam beberapa pekan terakhir menambah risiko terhadap infrastruktur energi negara tersebut.
Dari sisi kebijakan, kelompok OPEC+, yang beranggotakan negara-negara OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, baru-baru ini memutuskan penambahan target produksi yang jauh lebih kecil dari perkiraan, yakni hanya 137.000 barel per hari (bph) untuk November.
Keputusan ini diambil sebagai langkah hati-hati di tengah meningkatnya kekhawatiran akan potensi kelebihan pasokan global, terutama setelah peningkatan produksi dari Amerika Serikat.
Langkah moderat OPEC+ itu dianggap sinyal bahwa kelompok produsen besar masih berupaya menyeimbangkan pasar tanpa mengguncang harga, apalagi di saat ketidakpastian ekonomi global masih tinggi.
Fundamental AS: Permintaan Naik, Persediaan Juga Meningkat
Selain faktor geopolitik, data energi domestik Amerika Serikat memberikan dukungan tambahan bagi reli minyak. Laporan mingguan dari Badan Informasi Energi (EIA) menunjukkan bahwa konsumsi minyak AS naik ke 21,99 juta barel per hari, tertinggi sejak Desember 2022.
Kenaikan konsumsi ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi domestik masih solid meski suku bunga tinggi, sementara sektor transportasi dan industri tetap menjadi penopang utama permintaan.
Meski begitu, EIA juga mencatat peningkatan persediaan minyak mentah sebesar 3,7 juta barel, lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Namun, data tersebut tidak cukup untuk membebani harga, karena pasar menilai lonjakan permintaan jauh lebih signifikan bagi prospek jangka pendek.
Phil Flynn, analis dari Price Futures Group, menegaskan bahwa angka permintaan yang kuat akan membuat pasar tetap solid. Pernyataan ini menandakan keyakinan bahwa konsumsi yang tinggi dapat menyerap surplus stok dalam waktu dekat.
Dalam jangka menengah, arah harga minyak akan bergantung pada dua faktor utama, yaitu perkembangan geopolitik Rusia-Ukraina dan kekuatan permintaan energi global. Jika pembicaraan damai benar-benar gagal dan sanksi terhadap Rusia diperpanjang, pasokan global dapat terganggu dan mendorong harga lebih tinggi lagi.
Sebaliknya, jika The Fed benar-benar mulai melonggarkan kebijakan moneternya, permintaan dari sektor industri dan transportasi bisa meningkat, memperkuat tren kenaikan harga. Namun, kenaikan persediaan yang berkelanjutan dan risiko perlambatan ekonomi global masih menjadi ancaman pembatas reli.
Secara keseluruhan, pasar minyak saat ini berada dalam fase di mana ketegangan geopolitik dan kebijakan moneter berjalan beriringan, membentuk keseimbangan rapuh antara risiko pasokan dan prospek permintaan.
Dengan latar yang demikian, minyak dunia kemungkinan akan tetap volatile, bergerak naik setiap kali ketidakpastian meningkat, dan hanya akan stabil jika diplomasi dan data ekonomi mulai menunjukkan arah yang lebih pasti.(*)