KABARBURSA.COM - Perdagangan di pasar saham Asia berlangsung dengan arah yang beragam pada Rabu, 9 Juli 2025, seiring pelaku pasar mencerna sinyal-sinyal yang terus berubah dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait tarif dagang.
Kebijakan yang kerap berbalik arah ini membuat investor memilih bersikap hati-hati, terutama menjelang tenggat 1 Agustus yang ditetapkan AS sebagai batas akhir kesepakatan dagang dengan sejumlah negara mitra di kawasan Asia.
Jepang dan Korea Selatan termasuk negara yang paling terdampak, mengingat keduanya berada di garis depan perundingan. Pada awal pekan ini, Trump sempat menyampaikan bahwa pihaknya "tegas, tapi tidak 100 persen tegas", yang oleh pelaku pasar dibaca sebagai ruang negosiasi.
Namun sehari berselang, nada itu berubah drastis. Presiden Trump menyatakan tidak akan ada perpanjangan waktu, menegaskan bahwa tenggat 1 Agustus bersifat final.
“Penundaan penerapan tarif hanya memperpanjang masalah dan menunjukkan bahwa tekanan tarif masih digunakan sebagai taktik negosiasi,” ujar Kyle Rodda, analis senior di Capital.com, dalam sebuah catatan kepada kliennya.
Sejak pengumuman "Hari Pembebasan Tarif" pada 2 April lalu, baru dua negara, Inggris dan Vietnam, yang berhasil mencapai kesepakatan dengan Washington. Sementara itu, kesepakatan antara AS dan Tiongkok baru sebatas kerangka umum yang belum menjawab pertanyaan penting di lapangan.
Harga Tembaga dan Produk Farmasi Jadi Sorotan
Di pasar komoditas, reaksi langsung muncul dari harga tembaga. Di bursa berjangka AS, harga tembaga melonjak lebih dari 10 persen menyusul ancaman tarif dari Trump. Logam ini krusial bagi sektor kendaraan listrik, jaringan energi, dan industri militer.
Namun, di bursa London dan Shanghai, harga justru menurun. Para pelaku pasar memperkirakan tidak akan cukup waktu untuk mempercepat pengiriman sebelum kebijakan diberlakukan, sehingga pelemahan harga di dua bursa tersebut tak terhindarkan.
Tak hanya logam, Trump juga melempar sinyal potensi tarif setinggi 200 persen terhadap produk farmasi impor, meski ia menyebut realisasi kebijakan itu bisa ditunda hingga satu tahun. Isyarat ini semakin memperlebar ketidakpastian arah kebijakan perdagangan AS.
Kinerja Saham Bervariasi: Kospi Naik, Shanghai Composite Turun
Di tengah dinamika tersebut, kinerja indeks saham Asia pun mencerminkan sentimen campuran. Di Jepang, indeks Nikkei 225 dan Topix kompak menguat masing-masing 0,33 persen dan 0,41 persen.
Kospi Korea Selatan naik 0,60 persen, sementara Taiex Taiwan memimpin kenaikan dengan lonjakan 0,74 persen ke posisi 22.527. Sinyal optimisme di pasar domestik tampaknya masih cukup kuat di negara-negara ini.
Sebaliknya, pasar Tiongkok masih tertekan. Shanghai Composite turun 0,13 persen, indeks Shenzhen melemah 0,06 persen, dan CSI300 terkoreksi 0,18 persen.
Hang Seng Hong Kong bahkan jatuh lebih dalam, turun 1,06 persen ke level 23.892. Tekanan terhadap saham teknologi dan kekhawatiran geopolitik menjadi faktor utama pelemahan.
Australia juga tak luput dari koreksi, dengan indeks ASX200 turun 0,61 persen, mencerminkan tekanan di sektor energi dan tambang yang mulai merespons kebijakan tembaga AS.
Yen Jepang Melemah, Disusul Rupiah dan Ringgit
Dari sisi mata uang, tekanan terhadap mata uang Asia kembali menguat. Yen Jepang melemah 0,08 persen ke 146,7 per dolar AS. Dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan baht Thailand juga ikut terkoreksi.
Rupiah Indonesia turun 0,32 persen ke 16.257 per dolar AS, seiring penguatan greenback dan kekhawatiran pasar terhadap arus modal keluar.
Sementara kebijakan tarif Trump terus menjadi bahan spekulasi, investor di kawasan Asia masih mengandalkan langkah hati-hati.
Dengan negosiasi perdagangan yang belum menemui kepastian dan arah kebijakan Washington yang bisa berubah sewaktu-waktu, pasar Asia kini hanya bisa menunggu, dan bersiap untuk segala kemungkinan.(*)