KABARBURSA.COM - Awal 2025 bukan periode yang mudah bagi pasar modal China. Saham-saham dan yuan terus mengalami penurunan di tengah data ekonomi yang lemah serta ketidakpastian geopolitik menjelang pelantikan Donald Trump untuk periode keduanya sebagai presiden.
Dilansir dari Financial Times di Jakarta, Senin, 6 Januari 2025, Indeks CSI 300—yang menjadi barometer saham unggulan di daratan China—turun 0,2 persen pada perdagangan Senin, sehingga akumulasi penurunannya mencapai 4,1 persen hanya dalam tiga hari pertama perdagangan tahun ini. Ini menjadikannya performa terburuk di antara indeks saham utama di Asia. Saham-saham berkapitalisasi kecil yang tergabung dalam CSI 2000 bahkan anjlok 6,6 persen sejak awal tahun.
Di Hong Kong, Hang Seng Index juga ikut terseret, turun 0,4 persen dan sudah melemah 1,2 persen sepanjang tahun ini.
Penurunan tersebut terjadi di tengah pertemuan antara bursa saham China dengan investor internasional serta upaya bank sentral untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar yuan. Di samping itu, ancaman kenaikan tarif besar-besaran dari Presiden AS Donald Trump masih terus membayangi.
[caption id="attachment_111056" align="alignnone" width="1179"] Indeks Komposit Bursa Efek Shanghai di awal 2025 kembali melemah ke level 3.208 poin dan mencatat penurunan 0,11 persen. Pergerakan ini terjadi setelah fase fluktuatif sepanjang akhir 2024, seiring tekanan dari sentimen global dan kekhawatiran kebijakan ekonomi. Sumber: Trading Economics.[/caption]
“Semua orang bertanya-tanya apa kejutan yang dibawa Trump versi 2.0 kali ini,” kata Kepala strategi ekuitas dan derivatif Asia-Pasifik di BNP Paribas, Jason Lui.
“Wajar kalau investor ingin mengambil untung lebih dulu,” imbuhnya.
Pada Senin, 6 Januari 2025, nilai tukar yuan menyentuh level terendah dalam 15 bulan di posisi 7,33 yuan per dolar AS, meskipun Bank Rakyat China (PBoC) mempertahankan batasan nilai tukar harian yuan. Tekanan jual terhadap yuan biasanya berkorelasi dengan tekanan penurunan harga saham, jelas para analis.
[caption id="attachment_111058" align="alignnone" width="1096"] Indeks utama di Asia tergelincir di awal pekan, antara lain HK50 yang melemah 0,36 persen ke 20.040 poin dan Indeks Kota Shanghai turun 0,11 persen ke 3.208 poin. Sementara itu, CSI300 juga tergerus 0,16 persen. Data ini mencerminkan sentimen negatif di pasar global. Sumber: Trading Economics.[/caption]
Analis strategi di CICC, Kevin Liu, mengatakan tekanan pelemahan saham China disebabkan oleh data manufaktur yang lemah, indeks dolar yang menyentuh level tertinggi dua tahun, serta bayang-bayang kembalinya Trump ke Gedung Putih.
Dalam upaya menenangkan pasar, bursa saham Shanghai dan Shenzhen menggelar pertemuan akhir pekan dengan investor asing untuk menghimpun opini dan saran perihal pergerakan saham baru-baru ini. Mereka meyakinkan bahwa ekonomi China masih ditopang oleh fondasi yang kokoh dan daya tahan yang kuat.
Bank sentral China juga tengah mempertahankan nilai tukar tengah yuan di posisi 7,19 yuan per dolar AS, meskipun ada tekanan jual yang signifikan. Surat kabar resmi milik bank sentral, Financial News, menyatakan mereka akan menjaga risiko pelemahan nilai tukar yang berlebihan dan mempertahankan stabilitas yuan.
Mereka juga menegaskan pengalaman menghadapi berbagai siklus apresiasi dan depresiasi mata uang selama ini menunjukkan bahwa bank sentral memiliki instrumen yang cukup untuk menjaga stabilitas kurs.
Sementara itu, rasa pesimistis di pasar terlihat dari meningkatnya pembelian obligasi pemerintah berjangka panjang. Kekhawatiran terhadap lemahnya konsumsi domestik membuat investor bertaruh bahwa PBoC akan kembali melonggarkan kebijakan moneter.
Hasil imbal obligasi pemerintah China bertenor 10 tahun turun 0,015 poin persentase menjadi 1,61 persen pada Senin, 6 Januari 2025, setelah menyentuh rekor terendah di bawah 1,6 persen pekan lalu. Perlu diingat, harga obligasi bergerak berlawanan dengan imbal hasilnya.
Minta Fund Manager Hold Dulu
[caption id="attachment_106564" align="alignnone" width="1199"] Seorang pejalan kaki melewati Bursa Efek Shanghai di Area Baru Pudong. Foto: Wang Gang/untuk China Daily[/caption]
Pasar saham China mengawali tahun dengan drama. Bursa saham di Shanghai dan Shenzhen kabarnya memanggil beberapa manajer reksa dana besar, meminta mereka menahan diri agar tidak jualan saham besar-besaran. Tujuannya supaya pasar tetap stabil, apalagi ini momen krusial buat ekonomi terbesar kedua di dunia yang lagi diuji ketahanannya.
Panggilan dari bursa ini dilaporkan terjadi pada 31 Desember, serta 2 dan 3 Januari. Setidaknya empat manajer reksa dana besar mendapat instruksi tersirat, yakni membeli lebih banyak saham dan jual secukupnya saja. Intinya, mereka harus memastikan pembelian lebih banyak daripada penjualan setiap harinya.
Langkah ini muncul bertepatan ketika pasar saham China memulai 2025 dengan catatan merah. Sentimen investor anjlok gara-gara ancaman Presiden AS terpilih Donald Trump yang siap mengeluarkan jurus tarif tinggi untuk barang ekspor China. Alih-alih optimisme tahun baru, pasar malah diselimuti kekhawatiran kalau ekonomi yang sudah lesu ini akan makin terpuruk.
Sumber tersebut menjelaskan, meskipun reksa dana masih diperbolehkan menjual saham, jika nilai penjualan melebihi pembelian, mereka harus segera menambah posisi untuk menyeimbangkan portofolio. “Arahan seperti ini cenderung menjadi kebiasaan rutin,” kata sumber itu, dikutip dari Reuters.
Namun demikian, sumber-sumber ini tidak dihubungi langsung oleh bursa, melainkan mengetahui diskusi tersebut dari jaringan informasi internal mereka. Karena isu ini sensitif, mereka meminta anonimitas. Sementara itu, bursa saham Shanghai dan Shenzhen belum merespons permintaan komentar dari Reuters.(*)