KABARBURSA.COM - Kalau belum sadar, bull market sedang menguasai Wall Street. Di tahun kedua reli pasar ini, Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite masing-masing naik 13 persen, 23 persen, dan 29 persen. Ketiga indeks ini bahkan mencatatkan rekor penutupan tertinggi berkali-kali. Kalau dihitung dalam Rupiah, kenaikan ini setara triliunan rupiah di kapitalisasi pasar.
Investor profesional maupun ritel memanfaatkan berbagai katalis, mulai dari pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI), ketangguhan ekonomi AS, penurunan inflasi, hingga antusiasme terhadap stock split atau memecah saham. Tapi, momen puncaknya terjadi pada November setelah kemenangan Donald Trump di Pemilu.
Dilansir dari The Motley Fool di Jakarta, Senin, 27 Januari 2025, saat Trump menjabat di periode pertama, Dow Jones naik 57 persen, S&P 500 melesat 70 persen, dan Nasdaq Composite melambung 142 persen. Meski hasil masa lalu bukan jaminan masa depan, para investor jelas berharap Trump bisa mengulang performa tersebut di periode kedua. Tapi, meskipun semua indikasinya mendukung, hasil akhirnya bisa jadi jauh dari ekspektasi awal.
Kenapa Wall Street Antusias dengan Kembalinya Trump?
Salah satu alasan utama reli pasar pada November 2024 adalah dihapuskannya ancaman kenaikan pajak perusahaan. Kandidat dari Partai Demokrat, Kamala Harris, sempat mengusulkan kenaikan tarif pajak perusahaan menjadi 33 persen. Sebaliknya, Trump berkomitmen untuk menurunkan tarif pajak marginal tertinggi dari 21 persen—yang sudah menjadi level terendah sejak 1939—menjadi 15 persen khusus untuk perusahaan manufaktur di AS.
Menjaga tarif pajak penghasilan korporasi marginal tertinggi pada level terendah dalam 86 tahun—atau bahkan menurunkannya lebih jauh lagi—diharapkan dapat mendorong banyak perusahaan publik paling berpengaruh di Amerika untuk melakukan pembelian kembali saham mereka.
[caption id="attachment_116076" align="alignnone" width="1065"] Grafik ini menunjukkan kinerja Dow Jones Industrial Average (DJI), S&P 500 (SPX), dan Nasdaq Composite (IXIC) selama masa jabatan pertama Donald Trump sebagai Presiden AS. Dow Jones mencatat kenaikan 57,3 persen, S&P 500 naik 69,59 persen, dan Nasdaq melonjak hingga 142,2 persen. Pertumbuhan tajam ini sebagian besar didorong oleh kebijakan pro-bisnis, termasuk pemotongan pajak korporasi dan deregulasi.[/caption]
Langkah ini diyakini bisa mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk membeli kembali saham mereka (stock buyback). Setelah Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Lapangan Kerja (Tax Cuts and Jobs Act) Trump disahkan pada Desember 2017, aktivitas buyback melonjak drastis. Sebelum aturan ini, rata-rata perusahaan di S&P 500 hanya membeli kembali saham sebesar USD100 miliar hingga USD150 miliar (sekitar Rp1.500 triliun-Rp2.250 triliun) per kuartal. Setelahnya, angka ini meningkat menjadi USD200 miliar hingga USD250 miliar (sekitar Rp3.000 triliun-Rp3.750 triliun) per kuartal.
Buyback ini memperbaiki rasio laba per saham (EPS) dan membuat saham lebih menarik bagi investor. Selain itu, Trump diharapkan melanjutkan kebijakan deregulasi. Dengan meminimalkan pengawasan regulasi, pemerintahannya berpeluang membuka jalan untuk meningkatkan aktivitas merger dan akuisisi. Sederhananya, karpet merah sudah digelar untuk perusahaan besar agar semakin ekspansif.
Trump Bisa Cetak Rekor Baru di Pasar Saham
Selama delapan tahun masa jabatan Presiden Barack Obama, serta gabungan delapan tahun kepemimpinan Trump dan Joe Biden, pasar saham mencatatkan keuntungan positif. Dan dengan katalis-katalis yang ada sekarang, Wall Street optimis tren positif ini bakal berlanjut hingga Trump meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2029.
Tapi ada alasan besar kenapa Trump justru mungkin bakal mencatat sejarah sebagai presiden pertama dalam 20 tahun terakhir yang mengawasi penurunan Dow Jones Industrial Average, S&P 500, dan Nasdaq Composite. Ya, bisa jadi ini adalah kali pertama pasar saham AS berakhir di zona merah sejak periode kedua George W. Bush yang selesai Januari 2009.
Namun, penting buat digarisbawahi, potensi penurunan ini sama sekali tak ada hubungannya sama kebijakan Trump. Sebab, katalis utama yang bisa bikin pasar saham turun drastis sebenarnya sudah menunggu siapa pun yang menang Pilpres 2024 kemarin.
Kekhawatiran terbesar Wall Street selama masa jabatan Trump adalah valuasi pasar saham yang sudah kelewat mahal. Dan, ini bukan hal yang bisa diperbaiki dalam semalam.
Bicara soal valuasi, salah satu alat ukur terbaik di Wall Street adalah rasio harga terhadap laba (P/E) Shiller dari S&P 500, atau sering disebut CAPE Ratio (Cyclically Adjusted P/E Ratio). CAPE Ratio ini beda sama P/E biasa, karena pake data rata-rata laba perusahaan selama 10 tahun terakhir yang disesuaikan dengan inflasi. Cara ini bikin perhitungan lebih stabil karena tak gampang bias sama peristiwa sesaat.
Per 22 Januari 2025, CAPE Ratio S&P 500 ada di angka 38,69. Itu hampir menyentuh level tertinggi dalam reli bull market kali ini dan lebih dari dua kali lipat rata-rata historisnya yang cuma 17,19 sejak Januari 1871.
Meski CAPE Ratio tak bisa dipakai buat menentukan kapan pasar bakal turun, catatan sejarahnya tak pernah salah dalam memprediksi bear market. Selama 154 tahun terakhir, cuma ada enam kali CAPE Ratio tembus angka 30 saat bull market. Setelah lima kejadian sebelumnya, nilai Dow Jones atau S&P 500 anjlok minimal 20 persen, bahkan sering kali lebih parah.(*)