KABARBURSA.COM – Laporan terbaru dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) memperkirakan bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di negara itu akan tetap memiliki stok yang cukup hingga akhir 2026. Proyeksi ini menjadi sinyal bahwa, setidaknya dalam jangka pendek, batu bara masih memegang peran penting dalam sistem kelistrikan AS.
Menurut perkiraan EIA, pada akhir Juni 2025, pembangkit listrik di AS menyimpan sekitar 124 juta ton batu bara di lokasi masing-masing. Jumlah itu cukup untuk mempertahankan operasional selama sekitar 93 hari, dengan asumsi konsumsi harian sebesar 1,3 juta ton.
Ukuran efisiensi dan keamanan pasokan batu bara di PLTU umumnya dihitung lewat metrik days of burn, yakni berapa hari suatu pembangkit bisa beroperasi dengan stok yang tersedia. EIA memperkirakan hingga akhir 2026, angka ini akan berada di kisaran 90 hingga 120 hari.
“Level ini sekitar satu bulan lebih tinggi dibanding rata-rata stok batu bara yang dimiliki pembangkit pada periode 2019 hingga 2022,” tulis EIA dalam proyeksinya, dikutip dari Reuters, Kamis, 24 Juli 2025. Artinya, PLTU kini jauh lebih siap menghadapi lonjakan permintaan maupun gangguan pasokan jangka pendek.
Peran Batu Bara dalam Listrik AS Masih Fluktuatif
Meskipun banyak negara berusaha meninggalkan energi fosil, laporan EIA menunjukkan bahwa penggunaan batu bara di AS belum benar-benar ditinggalkan. Dalam jangka pendek, porsi pembangkit listrik dari batu bara justru akan naik dari 16 persen pada 2024 menjadi 17 persen pada 2025, sebelum kemudian turun kembali ke 15 persen pada 2026.
Kenaikan ini diperkirakan terjadi karena sejumlah faktor, mulai dari naiknya harga gas alam, ketidakpastian proyek energi terbarukan, hingga kebutuhan menjaga kestabilan beban dasar (base load) kelistrikan di musim ekstrem.
Meski tren global mengarah pada dekarbonisasi, batu bara tetap menjadi sumber daya penyangga sistem energi Amerika dalam jangka pendek, baik sebagai cadangan energi maupun sebagai solusi ketika pembangkit hijau belum siap menjawab permintaan tinggi.
Situasi ini juga menjadi cerminan bagi banyak negara berkembang yang menghadapi dilema serupa, yakni menjaga pasokan energi tetap stabil sambil mendorong transisi ke sumber energi yang lebih bersih.(*)