KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan outstanding pembiayaan untuk transaksi beli sekarang bayar nanti atau buy now pay later (BNPL) oleh perusahaan pembiayaan (PP) per Juli 2024 tumbuh 73,55 persen secara year on year (yoy) menjadi Rp7,81 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK mengatakan pertumbuhan angka BNPL dari perusahaan pembiayaan lebih rendah paylater yang disediakan oleh perbankan.
“Angka ini lebih rendah dari paylater pada perbankan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman di Jakarta, Sabtu.
Sementara porsi produk kredit BNPL perbankan sebesar 0,24 persen, namun terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi.
Per Juli 2024 baki debet kredit BNPL tumbuh 36,66 persen yoy menjadi Rp18,01 triliun, dengan total jumlah rekening 17,90 juta. Risiko kredit untuk BNPL perbankan turun ke level 2,24 persen.
Lebih lanjut Agusman menuturkan non performing financing (NPF) gross BNPL perusahaan pembiayaan per Juli 2024 sebesar 2,82 persen, turun dibandingkan Juni 2024 yang sebesar 3,07 persen, dengan jumlah kontrak pembiayaan bermasalah sebanyak 1,5 juta kontrak atau sebesar 1,80 persen dari jumlah kontrak pembiayaan BNPL.
Dalam kaitan ini, lanjut Agusman, belum terdapat informasi apakah mereka yang termasuk dalam 1,5 juta kontrak tersebut memang mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau tidak.
Pengguna paylater atau fintech lending dihimbau agar tetap bijak dalam menggunakan layanan pembiayaan dengan mempertimbangkan kemampuan membayar.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, memaparkan sejumlah data terkait sektor jasa keuangan per Juli 2024. Sebagai contoh, kredit perbankan secara keseluruhan tumbuh sebesar 12,4 persen.
Selain itu, piutang pembiayaan meningkat 10,53 persen dan outstanding pembiayaan naik 23,97 persen. Ia menekankan bahwa data tersebut menunjukkan pertumbuhan dan kinerja sektor jasa keuangan yang tetap stabil.
"Tentu kita berharap hal itu (deflasi dan menurunnya kelas menengah) tidak akan terjadi dampak signifikan,"
Mahendra juga menyatakan bahwa pemerintah, melalui OJK, terus mengambil berbagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif yang mungkin terjadi. Ia berharap agar kinerja dan pertumbuhan sektor jasa keuangan serta perekonomian secara umum dapat tetap terjaga dengan baik.
"Di lain sisi, pemerintah dalam hal ini kami di OJK terus melakukan berbagai langkah untuk terus mengantisipasi kemungkinan dampak-dampak yang kurang baik," tandasnya.
Wanti-wanti OJK
Setelah menjamurnya layanan pinjaman online (pinjol), kini perusahaan pembiayaan dan perbankan berlomba-lomba terjun ke bisnis pay later.
Tidak seperti persyaratan kartu kredit yang berbelit-belit, layanan pay later jauh lebih sederhana. Konsumen hanya perlu mengisi data pribadi secara daring, lalu verifikasi KTP. Siapa pun yang berusia minimal 17 tahun—atau 21 tahun untuk beberapa bank—bisa langsung menggunakan layanan ini.
Pay Later adalah layanan untuk menunda pembayaran (buy now, pay later), dengan fasilitas cicilan atau pelunasan pada tagihan transaksi.
Maraknya bisnis pay later ini memancing perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Aman Santosa, memperingatkan penyedia layanan agar memitigasi risiko dengan serius dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memilih mitra kerja.
"Penyedia layanan harus memastikan pemilihan mitra dilakukan secara komprehensif, serta memantau dan mengevaluasi kinerja secara berkala. Jika terjadi gagal bayar, bank perlu memiliki strategi mitigasi risiko yang baik, seperti membentuk cadangan kerugian terhadap kredit bermasalah," kata Aman dikutip Sabtu 7 September 2024.
OJK juga mengawasi ketat bisnis pay later oleh perusahaan pembiayaan dan perbankan. Pada Mei 2024 lalu, piutang pembiayaan dari layanan BNPL meningkat 33,64 persen secara tahunan (yoy), mencapai Rp6,81 triliun. OJK melaporkan adanya rasio kredit bermasalah (NPF) dari layanan pay later ini.
"Rasio NPF Gross dan Netto BNPL masing-masing sebesar 3,22 persen dan 0,84 persen per Mei 2024. Pembiayaan BNPL di Indonesia memiliki potensi besar, seiring pertumbuhan ekonomi digital. Namun, data spesifik mengenai NPL pay later di perbankan masih belum tersedia," jelasnya.
Lebih lanjut, Aman mengingatkan masyarakat bahwa transaksi pay later tidak bebas biaya. Ada biaya administrasi, bunga, serta denda jika pembayaran tidak sesuai ketentuan. Hal ini berdampak pada riwayat kredit konsumen, yang dapat mempengaruhi persetujuan kredit di masa mendatang.
"Pay later kini tercatat dalam riwayat kredit di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK – OJK Checking). Artinya, riwayat pembayaran cicilan pay later bisa memengaruhi kredit konsumen. OJK terus mengimbau masyarakat untuk berutang secara bijak, hanya untuk kebutuhan yang produktif, dan memastikan kemampuan membayar kembali," tegas Aman. (*)