KABARBURSA.COM - Bank Sentral China diperkirakan akan melaksanakan pemangkasan suku bunga terbesar dalam satu dekade pada tahun depan, dengan para pembuat kebijakan semakin intensif mengupayakan langkah-langkah untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan menanggulangi deflasi, menurut sejumlah bank Wall Street.
Goldman Sachs dan Morgan Stanley termasuk di antara lembaga yang memperkirakan pemotongan suku bunga kebijakan utama Bank Rakyat China (PBOC) sebesar 40 basis poin pada 2025. Jika terealisasi, ini akan menjadi pengurangan terbesar dalam satu tahun kalender sejak 2015, yang akan menurunkan suku bunga repo terbalik tujuh hari menjadi 1,1 persen. Sementara itu, perkiraan median dalam survei terbaru Bloomberg menunjukkan pemotongan lebih kecil, sekitar 30 basis poin.
Meskipun pemotongan suku bunga tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan langkah-langkah yang biasa diambil oleh bank sentral di negara-negara ekonomi utama lainnya, PBOC tetap harus berhati-hati. Pengurangan suku bunga lebih lanjut berisiko menekan margin bunga bersih bank yang sudah berada di titik terendah historis, memberi mereka sedikit ruang untuk menanggulangi potensi kerugian di tengah pelemahan sektor properti yang terus berlangsung. Namun, mayoritas analis berpendapat bahwa kebijakan moneter semata tidak cukup untuk menggerakkan perekonomian di saat permintaan kredit sedang lesu.
Meskipun demikian, Pan Gongsheng, kepala bank sentral China, telah memberikan sinyal bahwa ia siap melakukan perannya dalam upaya yang lebih luas untuk menghidupkan kembali perekonomian yang sedang menghadapi tantangan besar dalam hal pertumbuhan. China saat ini tengah mengalami deflasi terpanjang dalam sejarah abad ini, yang telah membuat biaya pinjaman riil tetap tinggi meski PBOC melakukan pemangkasan suku bunga. Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih juga dapat memicu perang dagang kedua yang berpotensi memperburuk situasi ekonomi.
Menurut Hui Shan, Kepala Ekonom China di Goldman Sachs, "Stimulus fiskal perlu memainkan peran yang lebih besar dalam meningkatkan permintaan tahun depan, meskipun pemangkasan suku bunga juga akan tetap diperlukan." Ia menambahkan, "Untuk mengatasi hambatan besar pada pertumbuhan akibat lemahnya permintaan domestik dan potensi kenaikan tarif AS, kami berpendapat bahwa pelonggaran makro yang signifikan, termasuk kebijakan moneter yang lebih longgar, akan sangat dibutuhkan."
Para ekonom kini mendesak pemerintah China untuk meningkatkan pinjaman, pengeluaran, dan mengambil langkah-langkah tambahan untuk menstabilkan kemerosotan sektor properti yang berkepanjangan.
Proyeksi pemangkasan suku bunga ini menunjukkan bahwa China kemungkinan besar akan tetap berada dalam lingkungan suku bunga rendah untuk waktu yang cukup lama, sebuah tren yang belakangan ini menjadi perhatian di pasar obligasi. Imbal hasil utang pemerintah 10 tahun China bahkan jatuh di bawah 2 persen untuk pertama kalinya dalam sejarah pada pekan ini, sementara imbal hasil utang 30 tahun China juga turun lebih rendah daripada Jepang.
Setujui Paket Fiskal
Para pedagang obligasi China saat ini sedang harap-harap cemas menanti legislator menyetujui paket fiskal senilai triliunan yuan. Rencananya, paket fiskal ini akan menjadi pembahasan dalam pertemuan legislatif penting yang berlangsung pekan ini.
Pemerintah China, baik pusat maupun daerah, sudah mengeluarkan obligasi dalam jumlah besar sepanjang tahun ini. Mengutip perhitungan Bloomber, Jumat, 8 November 2024, antara Januari hingga Oktober 2024 rata-rata penerbitan utang mencapai sekitar 1,8 triliun yuan per bulan.
Jika ditambah lagi 1,1 triliun yuan untuk sisa tahun ini yang sudah dalam proses, maka total penerbitan obligasi tambahan yang diharapkan pada November dan Desember mencapai sekitar 2,5 triliun yuan.
Tapi, sepertinya hal ini tidak akan terjadi, karena pasar bond tidak terbiasa mengeluarkan obligasi lebih besar dari 2 triliun yuan. Jika dipaksakan, dapat menimbulkan volatilitas di pasar dan berisiko menyebabkan lonjakan imbal hasil atau yield jangka panjang yang pada akhirnya akan membuat pasar kewalahan ketika pasokan obligasi jauh lebih banyak dari permintaan.
“Jika penerbitan utang mencapai lebih dari 3 triliun yuan, pasar kemungkinan akan mengalami aksi jual yang signifikan. Tapi, rasanya stimulus fiskal yang lebih besar ini tidak akan diumumkan secepatnya, karena saat ini belum ada kepastian terkait kebijakan AS di bawah kepemimpinan (Donald) Trump,” kata analis dari Socete Generale Kiyong Seong, dikutip hari ini.
Di balik kekhawatiran tentang potensi lonjakan penerbitan utang, ada optimisme yang tumbuh bahwa kebijakan fiskal China akan semakin agresif setelah pertemuan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) yang akan berlangsung hingga hari Jumat.
Stimulus fiskal yang lebih kuat diharapkan dapat memberikan dukungan untuk pertumbuhan ekonomi China, terutama dalam menghadapi tantangan dari kebijakan perdagangan luar negeri, termasuk potensi tarif yang dapat dikenakan oleh pemerintahan Trump.(*)