Logo
>

Pebisnis Disarankan “Pelihara” Haters di Media Sosial, Maksudnya?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Pebisnis Disarankan “Pelihara” Haters di Media Sosial, Maksudnya?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Founder Asian Tiger, Mardigu Wowiek Prasantyo menekankan pentingnya penguasaan platform media sosial, terutama TikTok, Instagram, dan YouTube, dalam menjalankan bisnis di era digital.

    Menurut dia, banyak pelaku usaha masih memanfaatkan media sosial sebatas sebagai pengguna pasif, seperti hanya menjadi penonton atau scroller, padahal platform tersebut adalah ladang pasar yang sangat potensial.

    “Pengetahuan pebisnis kita di ranah media sosial masih minim. Mereka memanfaatkan TikTok masih sebagai scroller. Padahal media sosial itu market,” kata Mardigu kepada Kabar Bursa, Sabtu, 14 Oktober 2024.

    Dia menjelaskan bahwa branding melalui media sosial saat ini tidak lagi sekadar menonjolkan merek dagang, terutama untuk generasi milenial dan Gen Z.

    Menurut Mardigu, generasi milenial dan Gen Z lebih memprioritaskan 3R, yakni Review, Rating, dan Recommendation, ketimbang popularitas sebuah merek.

    Oleh karena itu, Mardigu mengajak para pelaku usaha untuk memanfaatkan media sosial dengan menciptakan ulasan dan rekomendasi yang positif, serta memaksimalkan potensi engagement.

    “Jadi soft branding. Anak sekarang itu Gen Z. Mereka tidak terlalu mementingkan brand atau merk dagang. Mereka sekarang kalau ingin membeli sesuatu akan lihat dulu berapa review-nya, berapa orang sih? Enggak perlu merknya apa,” ujarnya.

    Bahkan, Mardigu berpendapat, keberadaan haters memiliki peran penting dalam meningkatkan visibilitas produk di media sosial.

    Menurutnya, kehadiran haters justru dapat meningkatkan interaksi dan perbincangan seputar produk, sehingga algoritma media sosial akan lebih sering menampilkan produk tersebut.

    Diungkapkannya, dirinya sendiri memiliki divisi khusus yang menangani dan memelihara para haters, karena mereka juga berperan dalam membangun popularitas suatu produk.

    “Jadi kalau enggak ada haters, kita pancing supaya ada haters. Ternyata haters itu penting. Di kelompok saya ada satu orang mengurusi haters. Harus dibiarkan, harus banyak. Lu enggak boleh terlalu suci. enggak laku produk lu,” ucap Mardigu.

    Lanjutnya menjelaskan, jika suatu produk mendapat serangan dari haters, hal tersebut menunjukkan bahwa produk tersebut mulai diperhitungkan. Menurutnya, para hater sering kali merupakan kompetitor yang merasa terancam.

    “Eh produk lu kalau nakal, ada haters, ada yang menyerang. Berarti produk lu dipertimbangkan. Karena pasti yang hate itu kan kompetitor,” jelasnya.

    Mardigu menekankan, keberadaan hater yang banyak justru seharusnya dipelihara, karena di media sosial jumlah pujian atau hinaan tidak menjadi perhatian utama. Yang penting adalah tingkat engagement atau interaksi.

    Media sosial tidak mempedulikan berapa banyak orang yang memuji atau menghina, melainkan lebih fokus pada jumlah interaksi seperti komentar. Jika komentar memuji dan menghina mencapai jutaan, algoritma akan langsung bekerja dan menaikkan visibilitas.

    “Misal ada 500 orang yang menjelek-jelekkan lu. tiba-tiba totalnya ada 2 juta komentar. Langsung jadi algoritma. Bener enggak? Jadi jangan angan main aman,” sarannya.

    “Strategi yang terlalu aman justru tidak menarik perhatian algoritma,” sambug Mardigu.

    Sebagai contoh, jika komentar terhadap seorang tokoh hanya berisi pujian tanpa adanya perbedaan pendapat, algoritma tidak akan bereaksi. Namun, jika ada variasi seperti pujian dan hinaan, interaksi tersebut justru akan meningkatkan rating dan eksposur di media sosial.

    “Kalau main aman satu sisi, algoritma enggak mutar. Algoritma gak ngebaca,” pungkasnya.

    Perbankan Harus Terapkan Sistem Pinjaman Berbasis Proyek

    Di kesempatan yang sama, Mardigu menyinggung soal penyaluran kredit perbankan ke sektor UKM yang semakin menurun. Menurut dia, sistem perbankan di Indonesia kurang mendukung pengembangan UKM.

    Mardigu menyarankan ke depannya pemerintah harus bisa menciptakan perubahan aturan perbankan agar lebih berpihak pada UKM.

    Salah satu langkah yang disarankan adalah mengganti sistem aset-based loan (pinjaman berbasis aset) dengan project-based loan (pinjaman berbasis proyek).

    “Karena kita lihat, mudah-mudahan ke depannya pemerintah bisa merubah sistem perbankan agar lebih mendukung UKM. Sistem aset-based loan kalau bisa diganti dengan project-based loan,” kata Mardigu.

    Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan mendapatkan kontrak proyek senilai Rp10 miliar, yaitu pengerjaan pengelasan pagar untuk PLN, bank seharusnya bisa memberikan pinjaman berdasarkan nilai proyek tersebut, bukan hanya berdasarkan aset yang dimiliki perusahaan.

    “Jadi misalnya dapet kontrak Rp10 miliar untuk pengelasan pagar PLN. Belum modal kerja 25 persen. Kalau sekarang atau kemarin ditanya ada jaminan enggak? Kan ada kontrak nih. Nah kontrak itu harusnya udah bisa jadi project, loan berbasis project. Jangan selalu aset,” ujarnya.

    Dia mengungkapkan, sistem seperti ini sudah diterapkan di Singapura, sehingga memungkinkan perusahaan untuk lebih mudah mendapatkan modal kerja tanpa harus menyediakan jaminan aset.

    “Di Singapura itu bisa aset-based loan, bisa project-based loan,” jelas.

    Dampaknya, lanjut Mardigu, banyak orang di Indonesia mendirikan perusahaan di Singapura karena mendapatkan kemudahan mendapatkan pinjaman berbasis proyek.

    Katanya, meski proyek dijalankan di Indonesia, namun pembayaran pajak dan keuntungan lebih banyak mengalir ke Singapura. Hal ini merugikan Indonesia karena negara kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan.

    “(Misalnya), saya bikin perusahaan di Singapura. Saya akusisi perusahaan itu 100 persen. Saya pinjam duit di Singapura, jadi yang dapat pajak Singapura. Indonesia enggak dapet apa-apa,” terang Mardigu.

    Menurutnya, selama ini banyak pengusaha Indonesia memanfaatkan pinjaman di luar negeri, seperti dari Singapura atau Amerika Serikat (AS) untuk mendanai proyek-proyek di dalam negeri.

    “Nah itu yang terjadi di selama ini. Jadi project itu tetap jalan. Tapi kita ambil pinjaman dari Amerika Serikat atau Singapura,” pungkasnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.