KABARBURSA.COM - Pemerintah menanggapi pandangan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perihal asumsi nilai tukar rupiah yang dipatok pada Rp16.100 per dolar Amerika Serikat (USD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, meski pemerintah optimistis dengan landasan ekonomi domestik, fluktuasi nilai tukar tetap menjadi perhatian utama di tengah ketidakpastian ekonomi global.
"Nilai tukar rupiah yang dipatok pada Rp16.100 per USD serta suku bunga surat berharga negara 10 tahun sebesar 7,1 persen merupakan proyeksi yang didasarkan pada kondisi ekonomi saat ini. Namun, kita harus tetap waspada terhadap faktor global yang mempengaruhi nilai tukar ini," kata Sri Mulyani dalam tanggapan pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi DPR RI terhadap RUU APBN 2025 di Rapat Paripurna DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Agustus 2024.
Dalam enam bulan terakhir, rupiah mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Tiga bulan lalu, nilai tukar rupiah terhadap mata uang global mengalami tekanan berat, menyebabkan depresiasi yang cukup dalam. Namun, dalam dua minggu terakhir, rupiah berhasil menguat kembali, mencerminkan kondisi yang sangat dinamis.
Menurut Sri Mulyani, fluktuasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor global, terutama kebijakan ekonomi di negara-negara maju yang memiliki dampak langsung terhadap perekonomian global. "Ini menggambarkan adanya faktor global yang sangat mempengaruhi, terutama dari sisi negara-negara maju yang memiliki dampak kepada seluruh dunia," kata Sri Mulyani.
Meski demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa fondasi ekonomi Indonesia yang kuat, terutama pada outlook neraca pembayaran, menjadi penopang stabilitas rupiah. Ia juga menekankan pentingnya ekspor dan pengelolaan defisit transaksi berjalan (current account deficit) untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
"Landasan ekonomi makro, terutama dari sisi fiskal, memberikan kredibilitas yang mampu menarik arus modal kembali pada saat terjadi ketidakpastian," ujarnya.
Namun, Sri Mulyani juga memperingatkan bahwa kondisi global yang masih sangat dinamis, terutama kebijakan fiskal Amerika Serikat dengan defisit anggaran yang besar, dapat mempengaruhi yield surat berharga negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan demikian, pemerintah akan terus memantau perkembangan global dan domestik untuk memastikan bahwa kebijakan nilai tukar tetap sesuai dengan kondisi perekonomian yang ada.
Pemerintah juga mengapresiasi DPR yang memberikan perhatian serius terhadap asumsi-asumsi makroekonomi dalam RAPBN 2025, termasuk nilai tukar rupiah. "Apresiasi kami kepada DPR yang telah mendukung kebijakan fiskal ini, yang dirancang untuk menjaga stabilitas dan kredibilitas APBN kita," tutup Sri Mulyani.
Dengan berbagai langkah antisipatif ini, pemerintah berupaya menjaga stabilitas rupiah dan memastikan bahwa perekonomian Indonesia tetap berada di jalur yang aman di tengah guncangan global.
Kritik PDIP Soal Pelemahan Rupiah
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melalui juru bicaranya, Adisatrya Suryo Sulisto, sebelumnya menyampaikan mengkritisi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dalam Rapat Paripurna tersebut. Dalam pandangannya, PDIP menyoroti berbagai aspek mulai dari nilai tukar rupiah, kebijakan perpajakan, hingga alokasi belanja negara yang dinilai perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah.
Salah satu kritik utama yang disampaikan oleh PDIP adalah terkait dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang ditetapkan dalam RAPBN 2025. Pemerintah menetapkan nilai tukar pada Rp16.100 per USD, lebih tinggi dari asumsi sebelumnya yang disepakati dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (Kem PPKF) dengan rentang Rp15.300 hingga Rp15.900 per USD.
“Penetapan nilai tukar rupiah yang melemah tersebut tidak sejalan dengan upaya kita selama ini untuk memperkuat nilai tukar rupiah,” kata Adisatrya.
Ia juga menyoroti tren pelonggaran kebijakan moneter global, khususnya oleh The Fed, yang seharusnya mendukung penguatan rupiah.
Kritik terhadap pelemahan nilai tukar rupiah ini disampaikan dalam konteks yang lebih luas terkait dengan dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat. PDIP mempertanyakan bagaimana dampak dari kebijakan tersebut terhadap pendapatan rakyat dan lapangan kerja.
“Pemerintah harus dapat menjelaskan dampak pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inflasi yang terkendali pada pendapatan rakyat,” ujarnya.
Selain nilai tukar, Fraksi PDIP juga mengkritik kebijakan perpajakan yang diusulkan dalam RAPBN 2025. Pemerintah merancang pendapatan negara dari perpajakan dengan tax ratio sebesar 10,2 persen, yang lebih rendah dari target 10,5 persen yang dibahas dalam Kem PPKF. PDIP mempertanyakan mengapa target tax ratio tersebut menurun, sementara sebelumnya telah ada rencana untuk mencapai tax ratio sebesar 23 persen dalam jangka panjang.
“Bagaimana dengan kelanjutan dari rencana untuk mencapai tax ratio 23 persen?” tanya Adisatrya, mempertanyakan komitmen pemerintah dalam meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Fraksi PDIP juga memberikan perhatian pada alokasi belanja negara yang mengalami penurunan signifikan dalam beberapa sektor jika dibandingkan dengan APBN 2024. Beberapa penurunan yang menjadi sorotan termasuk belanja modal yang turun sebesar Rp148 triliun, belanja subsidi yang berkurang Rp4,8 triliun, dan belanja bahan sosial yang turun Rp700 miliar.
“Pemerintah harus dapat memastikan bahwa alokasi belanja negara yang turun tersebut tidak mengurangi kesejahteraan rakyat,” tegas Adisatrya.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga agar masyarakat tetap mendapatkan akses yang mudah terhadap layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan subsidi pupuk.
PDIP juga menyoroti kenaikan belanja lain-lain yang dialokasikan sebesar Rp631,8 triliun, meningkat Rp276,4 triliun dari perkiraan realisasi tahun sebelumnya. Meskipun PDIP memahami bahwa alokasi ini memberikan ruang fiskal baru bagi pemerintahan yang akan datang, mereka mengingatkan bahwa penggunaannya tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa persetujuan DPR.
“Pengalihan belanja lain-lain kepada kementerian, lembaga tertentu, dan program-program tertentu harus menerapkan mekanisme yang menghormati hak budget DPR RI,” kata Adisatrya.(*)