KABARBURSA.COM - Kebijakan pengaturan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dijalankan melalui pembatasan pembelian dinilai tidak akan pernah mencapai hasil yang optimal dan bahkan berpotensi menimbulkan berbagai masalah turunan dalam pelaksanaannya.
"Biaya yang ditimbulkan dari kebijakan pembatasan subsidi BBM berisiko jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang bisa diraih. Jika tidak dikelola dengan baik, biaya ekonomi dan sosial dari kebijakan ini bisa saja tidak terkendali," ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro di Jakarta, Rabu 14 Agustus 2024.
Komaidi menegaskan bahwa potensi biaya sosial dari kebijakan pembatasan BBM subsidi pada tahun 2024 dapat meningkat, terutama karena akan bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia. Keterbatasan akses BBM di tengah pesta demokrasi tersebut bisa memicu masalah baik di tingkat vertikal maupun horisontal.
Komaidi juga menyatakan bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak era pemerintahan Presiden SBY, kebijakan semacam ini telah diinisiasi dan diimplementasikan, namun terbukti tidak efektif.
ReforMiner, sebagai lembaga riset ekonomi energi, mencatat bahwa pada kebijakan pembatasan BBM sebelumnya, telah dilakukan pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) agar subsidi BBM bisa lebih tepat sasaran.
RFID tersebut berfungsi untuk membaca jumlah BBM yang dikonsumsi oleh kendaraan dan dipasang di SPBU, sementara di kendaraan dipasang alat yang disinkronkan dengan RFID.
Berdasarkan data, dilaporkan bahwa ratusan ribu kendaraan telah dipasang RFID, namun pemerintah akhirnya membatalkan kebijakan tersebut, papar Komaidi.
Ia berpendapat bahwa pengelolaan subsidi BBM akan lebih optimal jika subsidi diberikan melalui mekanisme subsidi langsung, yaitu subsidi langsung kepada individu penerima manfaat, bukan melalui subsidi harga seperti yang diberlakukan saat ini.
Dari aspek regulasi, lanjut Komaidi, kebijakan pembatasan BBM subsidi sulit dilaksanakan jika revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 belum diselesaikan oleh pemerintah. Badan usaha pelaksana penugasan (Pertamina) tidak memiliki rujukan dan payung hukum untuk melaksanakan kebijakan ini jika revisi Perpres belum diselesaikan.
Di sisi lain, potensi penghematan anggaran subsidi BBM dari kebijakan pembatasan ini sebenarnya belum dapat diukur, terutama jika objek atau kelompok target pembatasan belum ditetapkan secara tegas oleh pemerintah.
Melihat kuota BBM subsidi dan BBM JBT (jenis tertentu) pada tahun 2024 dan 2025 yang tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, secara fiskal, dapat dikatakan bahwa pemerintah tampaknya tidak berencana untuk melakukan pembatasan BBM, ujar Komaidi. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan pembatasan pembelian BBM bersubsidi yang direncanakan efektif mulai 17 Agustus 2024. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar subsidi BBM lebih tepat sasaran dan mampu menghemat keuangan negara.
Kebijakan Dinilai Tak Tepat Sasaran
Penerapan kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah dinilai tidak tepat sasaran. Anggaran subsidi ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ketidakoptimalan dalam pengelolaan kebijakan ini menjadi perhatian khusus mengingat eskalasi konflik di Timur Tengah antara Iran dan Israel yang belum menunjukkan tanda-tanda reda.
Indonesia sebagai negara importir minyak dunia terpengaruh secara langsung.
Menurut pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, ketika harga minyak dunia melampaui USD100 per barel dan distribusi minyak bumi terhambat akibat perang, Indonesia akan merasakan dampaknya.
“Devisa yang digunakan untuk mengimpor minyak akan semakin meningkat. Jika subsidi BBM tidak diperbaharui, maka anggaran subsidi bisa mencapai Rp300 triliun,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Selasa, 23 April 2024.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan subsidi BBM yang tepat sasaran, Fahmy mengatakan bahwa pemerintah harus serius dalam mengelola hal tersebut.
“Langkah pertama adalah membatasi subsidi BBM agar tepat sasaran. Pemerintah dan Pertamina selama ini menggunakan mekanisme MyPertamina yang tidak efektif. Seharusnya diterapkan mekanisme yang sederhana di setiap SPBU,” ungkapnya.
Fahmy menyarankan pemerintah untuk mengatur subsidi BBM hanya untuk sepeda motor dan angkutan barang dan orang karena lebih mudah diterapkan di seluruh SPBU.
“Kalau sebelumnya sulit untuk mengontrol dengan kriteria tertentu, namun untuk sepeda motor dan angkutan barang lebih mudah diatur di setiap SPBU,” paparnya.
Selain itu, jika harga minyak dunia tetap naik, pemerintah perlu menaikkan harga BBM subsidi.
“Kenaikan harga BBM subsidi akan menyebabkan inflasi. Hal ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang kemungkinan akan menurun,” jelasnya.
“Jika harga minyak dunia tetap tinggi, beban APBN akan semakin berat terutama dalam subsidi dan penggunaan devisa untuk impor,” tambah Fahmy.(*)