KABARBURSA.COM – Bank Indonesia (BI) kembali mencatatkan kenaikan signifikan dalam kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) hingga pekan ketiga Maret 2025.
Berdasarkan data terbaru, nilai kepemilikan BI atas SBN domestik tercatat mencapai Rp1.608,27 triliun atau sekitar 25,79 persen dari total SBN yang beredar. Angka ini menunjukkan lonjakan drastis jika dibandingkan posisi akhir 2019 yang hanya mencapai Rp273,21 triliun atau 9,93 persen.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menyebutkan bahwa pembelian SBN oleh BI selama tahun 2025, hingga 18 Maret, telah mencapai Rp70,74 triliun. Dalam rinciannya, pembelian SBN dilakukan melalui pasar sekunder sebesar Rp47,31 triliun, dan pembelian perdana dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebesar Rp23,43 triliun.
“Langkah ini diklaim sebagai bagian dari kebijakan operasi moneter pro-market dan mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah serta pengendalian inflasi,” kata Awalil kepada KabarBursa.com di Jakarta melalui telepon, Minggu 23 Maret 2025.
Meski demikian, Awalil menggarisbawahi bahwa tren pembelian ini mengindikasikan ketergantungan pemerintah yang semakin tinggi terhadap BI dalam membiayai defisit anggaran. Skenario ini menimbulkan kekhawatiran terhadap independensi moneter BI, serta risiko sistemik terhadap keuangan negara, apabila tidak diikuti dengan strategi pengurangan kepemilikan SBN dalam jangka panjang.
Awalil juga menjelaskan bahwa sejak pandemi 2020, BI terlibat aktif dalam pembiayaan fiskal, termasuk pembelian SBN di pasar primer yang sebelumnya dilarang sebelum ada regulasi terkait kondisi darurat pandemi. Melalui Undang-Undang P2SK (UU No. 4 Tahun 2023), peran BI kembali diperkuat untuk membeli SBN secara langsung dalam situasi krisis, meskipun hanya untuk tenor jangka panjang.
Namun, menurut Awalil, kenyataan di pasar menunjukkan bahwa porsi kepemilikan BI terhadap SBN makin membesar seiring meningkatnya kebutuhan pembiayaan pemerintah. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa instrumen moneter yang digunakan BI juga berubah drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Pada September 2023, Bank Indonesia mulai memperkenalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen operasi moneter utama. SRBI merupakan surat utang jangka pendek BI, berjangka waktu 6, 9, dan 12 bulan. Saat ini, porsi SRBI dalam operasi moneter mencapai sekitar 90 persen, menggantikan instrumen lama seperti Term Deposit atau Sertifikat Bank Indonesia.
SRBI sendiri memiliki underlying berupa SBN yang dimiliki BI, dan sekitar 25 persen kepemilikannya dibeli oleh investor asing. Dengan rata-rata imbal hasil SRBI yang lebih tinggi dibanding SPN dan SBN lainnya, Awalil menilai BI sebenarnya sedang “berutang dengan bunga lebih tinggi dibanding pendapatan yang diperoleh dari SBN.” Dengan demikian, posisi SRBI yang dibeli asing turut tercatat sebagai utang luar negeri oleh BI.
“Ini ibarat BI berutang kepada pasar untuk membiayai pembelian SBN yang diterbitkan pemerintah. Artinya, risiko piutang BI makin besar karena sebagian besar dananya digunakan untuk membiayai defisit fiskal melalui mekanisme yang semula dianggap temporer saat pandemi,” ujar Awalil.
Lebih jauh, ia menilai bahwa peran BI dalam menyerap SBN secara aktif membuat pasar sekunder menjadi kurang kompetitif. Harga obligasi pemerintah seolah “dijaga” oleh aksi beli BI, yang memunculkan distorsi harga dan menurunkan insentif bagi perbankan dan investor untuk masuk pasar dengan mekanisme harga wajar.
Industri Keuangan Secara Keseluruhan
Dampaknya, intervensi besar BI juga mempengaruhi industri keuangan secara keseluruhan. Perbankan, misalnya, menjadi lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit karena likuiditas pasar yang terserap oleh dominasi SRBI dan penempatan dana pada instrumen BI. Hal ini bisa berdampak langsung pada lambatnya pertumbuhan kredit ke sektor riil dan menekan upaya pemulihan ekonomi dari sisi domestik.
Awalil menyarankan agar kepemilikan SBN oleh BI mulai dikurangi secara perlahan. Salah satu cara paling realistis adalah dengan tidak mengganti SBN yang telah jatuh tempo dengan pembelian baru. Strategi ini, meskipun bertahap, bisa membantu mengurangi eksposur risiko moneter akibat pembiayaan fiskal yang terlalu dominan melalui BI.
Dengan struktur utang yang semakin kompleks dan meningkatnya eksposur terhadap surat utang pemerintah, langkah ke depan perlu mengedepankan sinergi yang lebih transparan antara BI dan Kementerian Keuangan. Tujuannya, menjaga kredibilitas moneter dan stabilitas pasar keuangan agar tidak terganggu oleh peran ganda otoritas moneter yang terlalu dalam pada pembiayaan fiskal.
“Tanpa langkah mitigasi dan disiplin fiskal yang ketat, potensi gangguan terhadap stabilitas ekonomi nasional bisa makin tinggi,” tutup Awalil.
Peluang Investasi Menjanjikan
Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi mengatakan, masyarakat memiliki peluang investasi yang menjanjikan di Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi.
Menurutnya, peluang ini datang ketika pemerintah mencari dana segar untuk menutupi pembiayaan yang telah ditata oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kementerian Keuangan terus melakukan lelang-lelang obligasi untuk menutupi anggaran yang sudah ditentukan,” ujar dia dalam acara webinar dengan Kabar Bursa bertajuk “Berburu Cuan dari SBN Ritel” pada Jumat, 31 Januari 2025.
Ibrahim menilai, SBN merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk membeli obligasi. Menurutnya berinvestasi di obligasi sama dengan membantu pemerintah membangun Indonesia.
Obligasi yang diterbitkan pemerintah, kata dia, menyasar berbagai kalangan mulai dari kelas bawah dan atas. Menurutnya, hal ini bisa membuat masyarakat berlatih dalam berinvestasi.
Ibrahim juga menjelaskan manfaat dari berinvestasi di instrumen ini. Dalam kondisi geopolitik saat ini, kata dia, salah satu investasi yang dijamin Undang-Undang adalah obligasi.
“Pemerintah tidak akan terjadi gagal bayar pada saat setelah jatuh tempo. Dana pokok dan bunga itu bisa diambil sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan,” jelasnya.
Kendati demikian, Ibrahim menyarankan pemerintah bersama perusahaan-perusahan terkait untuk rutin mengedukasi investasi obligasi. Langkah ini harus dilakukan agar kalangan masyarakat tertarik melakukan transaksi obligasi.
“Kemungkinan besar bukan lagi orang-orang kelas atas yang melakukan pembelian, tetapi kelas menengah ke bawah pun juga mungkin akan tertarik,” pungkasnya.(*)