Logo
>

Pemerintah Ancang-ancang Tarik Utang Baru Rp775,86 Triliun

Ditulis oleh KabarBursa.com
Pemerintah Ancang-ancang Tarik Utang Baru Rp775,86 Triliun

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), berencana menarik utang baru sebesar Rp775,86 triliun untuk mendanai anggaran 2025. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan penarikan utang baru tahun 2024 yang mencapai Rp648,08 triliun.

    Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kemenkeu, Riko Amir, menjelaskan bahwa sebagian besar utang baru tersebut akan berupa surat berharga negara (SBN) yang mencapai Rp642,56 triliun, sementara pinjaman akan berjumlah Rp133,30 triliun, dengan rincian pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,17 triliun dan pinjaman luar negeri Rp128,13 triliun.

    “Pembiayaan anggaran kita sebesar Rp616,18 triliun akan berasal dari utang sebesar Rp775 triliun,” ungkap Riko dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, yang dikutip 29 September 2024.

    Pinjaman pada 2025 mengalami peningkatan dibandingkan 2024 yang mencatat defisit Rp18,36 triliun, dengan kenaikan ini terjadi pada pinjaman domestik dan luar negeri.

    Riko menjelaskan bahwa lonjakan pinjaman biasanya terjadi menjelang akhir periode lima tahunan.

    “Pada tahun-tahun awal, penarikan utang cenderung lambat, namun meningkat pada tahun ketiga hingga kelima,” ujarnya.

    Mengenai sumber utang baru, pemerintah berencana melakukan lelang untuk Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebanyak 24 kali dalam setahun. Lelang tersebut akan dilakukan dua minggu sekali, bergantian antara SUN dan SBSN. Target penarikan akan disesuaikan dengan perkembangan pasar yang akan diumumkan setiap triwulan.

    Selain itu, pemerintah sedang mengembangkan SBN ritel yang diperkirakan akan mencapai 15-20 persen dari total SBN, serta menerbitkan utang dalam valuta asing seperti dolar AS, euro, dan yen.

    Rencana prefunding untuk utang tahun depan akan dilakukan pada Kuartal IV 2024, mengingat kondisi pasar yang baik dan suku bunga yang mulai menurun.

    “Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menarik SBN valas karena pasar dalam kondisi baik,” katanya.

    Untuk pinjaman, pemerintah akan mengajukan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,1 triliun dan pinjaman domestik. Pinjaman luar negeri akan digunakan untuk menutupi defisit APBN dan mendukung kegiatan yang selaras dengan prioritas nasional.

    Riko menekankan pentingnya pengelolaan utang yang terukur dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan likuiditas dan dinamika pasar keuangan global.

    Agustus, Pemerintah Tarik Utang Rp347,6 Triliun

    Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengungkapkan bahwa hingga akhir Agustus 2024, pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp347,6 triliun.

    “Dari total target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), pembiayaan utang yang telah terealisasi hingga 31 Agustus mencapai Rp347,6 triliun, atau sekitar 53,6 persen dari target,” jelas Suahasil dalam Konferensi Pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin 23 September 2024.

    Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa sebagian besar pembiayaan utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), dengan nilai neto mencapai Rp310,4 triliun, yang setara dengan 46,6 persen dari target.

    “Dengan meningkatnya pendanaan APBN, kita berhasil merealisasikan Rp310,4 triliun, dan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kita juga mendapatkan aliran masuk dari pasar SBN,” tambah Suahasil.

    Sementara itu, pembiayaan melalui pinjaman hingga 31 Agustus 2024 tercatat sebesar Rp37,2 triliun, atau 202,8 persen dari target APBN tahun ini. Selain itu, pembiayaan nonutang hingga akhir Agustus telah mencapai Rp55,7 triliun, atau 44,4 persen dari target.

    Suahasil menekankan bahwa pengelolaan utang dilakukan dengan hati-hati, memperhatikan proyeksi defisit APBN dan likuiditas pemerintah, serta mencermati perkembangan di pasar keuangan.

    “Kita terus memantau agar pembiayaan di tahun 2024 dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan proyeksi defisit APBN dan kondisi likuiditas pemerintah,” ujarnya.

    Saat memasuki kuartal keempat, lanjut Suahasil, pemerintah akan terus mencermati dinamika pasar dan bersiap menghadapi pelaksanaan APBN 2025, terutama pada kuartal pertama tahun depan.

    “Ketika nanti kita memasuki kuartal empat, tentu kita terus mencermati dinamika pasar serta menyiapkan kewaspadaan untuk pelaksanaan APBN 2025 terutama di kuota satu 2025,” sambungnya.

    Mewarisi Defisit Fiskal dari Era Jokowi

    Meningkatnya pembiayaan utang ini juga tidak lepas dari warisan defisit fiskal yang terus membesar selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Indef, Eisha Rachbini, menjelaskan bahwa akar dari masalah defisit ini bukan hanya pada ketidakseimbangan antara belanja dan penerimaan, tetapi juga ketergantungan yang terus meningkat terhadap utang sebagai sumber pembiayaan.

    “Defisit APBN yang melebar selama pemerintahan Jokowi disebabkan oleh struktur APBN yang rusak. Ketika belanja negara terus melambung sementara penerimaan stagnan, pemerintah terpaksa menutup celah dengan utang,” jelas Eisha dalam sebuah diskusi virtual.

    Defisit fiskal selama periode 2015-2023 semakin memburuk, terutama pada masa pandemi COVID-19, di mana selisih antara penerimaan dan pengeluaran negara melebar hingga mencapai minus 2,8 persen. Meskipun masih berada di bawah batas maksimum defisit sebesar 3 persen yang ditetapkan dalam UU Keuangan, kedekatan dengan batas tersebut menandakan ruang fiskal yang semakin terbatas. Hal ini membuat pemerintah rentan terhadap guncangan ekonomi di masa depan.

    Rencana pembiayaan utang sebesar Rp775,87 triliun pada 2025 menandai tren peningkatan utang yang terus berlanjut. Lonjakan pembiayaan utang sebesar 40,2 persen dari tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa beban fiskal yang dihadapi pemerintahan Prabowo akan semakin berat, terutama dalam menghadapi program-program pembangunan infrastruktur besar dan berbagai agenda kebijakan yang telah direncanakan.

    Dalam hal ini, penting bagi pemerintahan Prabowo untuk memastikan bahwa penggunaan utang tersebut dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang signifikan, seperti mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat daya saing industri, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, jika utang tidak digunakan secara efektif, risiko membengkaknya beban pembayaran utang di masa depan bisa berdampak pada kemampuan negara untuk membiayai kebutuhan lainnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi