Logo
>

Pemerintah Perlu Secepatnya Dorong Sektor Padat Karya

Ditulis oleh KabarBursa.com
Pemerintah Perlu Secepatnya Dorong Sektor Padat Karya

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Next Policy menilai pemerintah mendatang perlu memitigasi runtuhnya industri manufaktur. Alasannya, saat ini kelas menengah jatuh diiringi dengan beralihnya pangsa kerja di sektor formal.

    Berdasarkan studi Next Policy, tercatat jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh anjlok dari 16,8 juta orang pada Maret 2018 menjadi tersisa 13,8 juta orang pada Maret 2023.

    Adapun anjloknya pekerja di sektor formal terjadi lantaran terjadi kejatuhan dalam beberapa tahun terakhir, terutama industri manufaktur yang banyak mengalami disrupsi usaha, penurunan omset dan penerimaan, krisis likuiditas.

    Pada kondisi ini, Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono menilai, pemerintah perlu segera mengambil langkah antisipatif dalam melindungi industri manufaktur. Di sisi lain, dia juga menilai perlu pengembangan industri padat karya secara lebih luas.

    "Menjadi krusial bagi pemerintah untuk secepatnya melindungi industri manufaktur dari kejatuhan dan mendorong pengembangan industri yang akan menciptakan lapangan kerja secara luas seperti industri padat karya, industri kreatif hingga pariwisata," kata Yusuf dalam studinya, dikutip Sabtu, 19 Oktober 2024.

    Dia menilai, reindustrialisasi menjadi kunci yang perlu dilakukan dari pada sekadar gembar-gembor hilirisasi. Pasalnya, hilirisasi tambang merupakan sektor padat kapital yang terbukti minim menyerap angkatan kerja.

    "Kontribusi hilirisasi dalam menyediakan lapangan kerja yang berkualitas bagi kelas menengah adalah terbatas," ungkapnya.

    Dalam satu dekade terakhir, Yusuf menilai, investasi ke industri padat karya melemah, dan sebaliknya investasi ke industri padat modal menguat, terutama pertambangan dan hilirisasi tambang. Dia menyebut, melemahnya industri padat karya seiring dengan dihadapkannya pada persaingan global yang high-cost economy.

    Dengan beban ekonomi biaya tinggi tidak dapat dipindahkan ke konsumen yang memiliki banyak pilihan, Yusuf menilai margin keuntungan industri padat karya tidak mampu membiayai ekonomi biaya tinggi sehingga banyak perusahaan memilih berhenti dan keluar dari industri.

    Sedangkan industri ekstraktif seperti sawit dan batu bara, di mana Indonesia produsen utama dunia, margin keuntungan yang besar mampu membiayai ekonomi biaya tinggi.

    "Tidak heran bila kemudian arah investasi bergeser dari industri manufaktur yang padat karya ke industri ekstraktif yang padat modal," jelasnya.

    Pangsa Kerja Beralih

    Dalam rentang waktu tahun 2018 hingga 2023, studi Next Policy mengungkap rata-rata pangsa pekerja miskin status sebagai karyawan, pegawai, dan buruh sebesar 31,8 persen. Sementara angka untuk kelas rentan miskin 37,6 persen, calon kelas menengah 43,7 persen, kelas menengah 54,7 persen, dan kelas atas 61,0 persen.

    Sementara pada Maret 2018, Next Policy mencatat ada sebanyak 55,8 persen dari pekerja kelas menengah memiliki status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh. Sementara pada Maret 2023, angka tersebut anjlok menjadi 52,8 persen. Yusuf menilai, kejatuhan sektor formal terjadi seiring disrupsi yang marak di industri manufaktur.

    Yusuf menuturkan, sektor formal memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dan jaminan kerja yang lebih baik dibandingkan sektor informal. Menurutnya, kelas menengah memiliki ketergantungan yang tinggi pada sektor formal, terutama perusahaan besar dan menengah, sebagai penyedia lapangan kerja dengan tingkat penghasilan yang tinggi.

    "Kejatuhan sektor formal-modern dalam tahun-tahun terakhir, terutama industri manufaktur yang banyak mengalami disrupsi usaha, penurunan omset dan penerimaan, krisis likuiditas, hingga penutupan usaha secara permanen, telah memukul kelas menengah dengan keras," kata Yusuf dalam studinya pula.

    Studi yang sama mengungkap, jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh anjlok dari 16,8 juta orang pada Maret 2018 menjadi tersisa 13,8 juta orang pada Maret 2023.

    Seiring kejatuhan peran sektor formal dalam menyediakan lapangan kerja ini, Yusuf menyebut penduduk kelas menengah mengalami keruntuhan. Adapun penduduk kelas menengah dengan rentang usia 18-64 tahun turun dari 30,2 juta orang pada Maret 2018 menjadi 26,1 juta orang pada Maret 2023.

    Berdasarkan studinya, Yusuf menuturkan, pada Maret 2018-Maret 2023 jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh, turun signifikan dari 16,8 juta orang menjadi 13,8 juta orang.

    Di waktu yang sama, Yusuf mengungkap jumlah pekerja calon kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh, melonjak drastis dari 24,4 juta orang menjadi 28,6 juta orang.

    Meski demikian, Yusuf menilai turunnya peran sektor formal sebagai penyedia lapangan kerja yang berkualitas bagi kelas menengah tidak selalu dalam bentuk pemutusan hubungan kerja. Adapun jatuhnya peran sektor formal dan runtuhnya kelas menengah terjadi seiring anjloknya daya beli dan konsumsi kelas menengah karena beralihnya pangsa kerja.

    "Jatuhnya daya beli dan konsumsi kelas menengah lebih banyak disebabkan oleh beralihnya pekerja kelas menengah ke pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih rendah, yang pada gilirannya membuat mereka turun kelas ke kelas ekonomi yang lebih rendah," ungkapnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi